keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Melihat workshop
Setelah perjalanan singkat, Gus Zidan menepati janjinya. Ia mengajak Aza ke sebuah workshop kerajinan tangan, khususnya menganyam keranjang dari bambu.
Tempat itu cukup ramai, dan suasananya dipenuhi dengan suara-suara santri yang sibuk bekerja di meja masing-masing meskipun sudah malam, tempat itu masih beroprasi, karena memang workshop buka setiap hari pagi jam 8 - 4 sore dan akan buka lagi setelah sholat isya' sampai jam 10 malam.
Beberapa orang langsung menyambut kedatangan Gus Zidan dengan penuh hormat.
“Assalamu'alaikum, Gus!” sapa mereka serempak, penuh takzim.
Gus Zidan membalas salam mereka dengan senyum ramah. Sebagian besar dari mereka adalah santri-santri yang sudah lulus dari pesantren Abah Yai, dan kini bekerja di workshop itu sebagai perajin sebagai mata pencaharian mereka, ada sebagian juga yang memang direkrut oleh Gus Abi menjadi karyawan nya di perusahaan milik Gus Zidan.
Mereka sangat menghormati Gus Zidan, mengingat posisinya sebagai salah satu penerus Abah Yai.
Setelah berbincang sebentar dengan salah seorang pengurus, Gus Zidan meminta izin untuk mengajak Aza berkeliling melihat proses pembuatan anyaman.
"Silahkan Gus. Di temani atau Gus Zidan mau keliling sendiri?" tanyanya dengan takdim.
"Biar kami keliling sendiri saja." jawab Gus Zidan dengan santai, "Kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian."
"Baik, Gus."
Setelah meminta ijin, Gus Zidan pun mengajak Aza keliling lokasi workshop. Selain mereka, juga banyak pengunjung lain yang memang sengaja ingin melihat proses pembuatan anyaman. Workshop memang dibuka untuk umum.
“Nah, ini yang aku bilang tadi siang,” kata Gus Zidan sambil menoleh ke arah Aza. “Aku ingin kamu lihat prosesnya, siapa tahu kamu jadi tertarik dan bisa cepat menyelesaikan tugasmu.”
Aza memutar bola matanya malas, jelas-jelas tidak tertarik dengan ide itu. “Aku kan cuma disuruh bikin keranjang, bukan jadi ahli anyaman,” balasnya setengah bergurau, tapi Gus Zidan hanya terkekeh kecil menanggapinya.
Mereka pun mulai berjalan melewati beberapa meja kerja yang dipenuhi dengan bilah-bilah bambu yang sudah dipotong dan dipersiapkan. Beberapa santri tampak terampil menggerakkan tangan mereka, merangkai bilah-bilah bambu menjadi pola anyaman yang rumit.
“Kamu harus belajar dari mereka,” ujar Gus Zidan sambil menunjuk salah satu santri yang sedang fokus menganyam keranjang dengan sangat cepat. “Kelihatannya gampang, tapi butuh ketelitian dan kesabaran.”
Aza memperhatikan dengan mata setengah tertarik, setengah malas. “Iya, iya, aku tahu... tapi kenapa aku?” keluhnya pelan. “Seumur-umur aku nggak pernah bikin keranjang dari bambu. Ini kan cuma hukuman.”
Gus Zidan tersenyum tipis mendengar keluhan Aza. “Mungkin hukuman ini bisa jadi pengalaman yang baik untukmu. Siapa tahu setelah ini kamu bisa mengubah persepsi tentang kerajinan tangan,” katanya bijak.
Aza hanya mengangkat bahunya. Dalam hatinya, ia masih merasa skeptis. "Buat apa aku susah-susah menganyam keranjang? Kan bisa beli! Ini kan dijual juga." pikirnya saat melihat beberapa keranjang yang sudah siap jual, bahkan sudah dibandrol dengan harga yang berbeda-beda.
Namun, Gus Zidan tetap sabar mengajaknya berkeliling. Ia memperkenalkan Aza pada beberapa perajin yang lebih berpengalaman, berharap bisa sedikit membangkitkan ketertarikan Aza. Salah satu perajin bahkan sempat mengajak Aza untuk mencoba menganyam beberapa bilah bambu, tapi Aza hanya tersenyum canggung, menolak dengan halus.
“Aku baru pertama kali lihat bambu seperti ini dipegang, apalagi disulap jadi keranjang,” katanya, setengah jujur. "Jadi sepertinya lain waktu saja ya."
Setelah berkeliling cukup lama, Gus Zidan akhirnya mengajak Aza duduk di salah satu sudut yang sepi. “Oke, sekarang kamu udah lihat bagaimana prosesnya. Gimana, mau mulai besok?” tanyanya sambil tersenyum penuh harap.
Aza menatapnya lama, kemudian menghela napas. “Yaudah deh, aku coba... tapi jangan berharap aku bakal jago, ya!” jawabnya, meskipun dalam hati masih sedikit ragu apakah ia bisa menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu.
Gus Zidan tertawa kecil. “Nggak apa-apa, yang penting kamu coba dulu. Kalau butuh bantuan, kamu bisa tanya sama santri-santri di sini,” katanya sambil menepuk bahu Aza.
Aza hanya tersenyum tipis. Meskipun ini bukan hal yang ia sukai, tapi ia menghargai usaha Gus Zidan untuk membantunya. Malam itu, setidaknya ia mendapatkan pelajaran bahwa ada lebih banyak hal yang bisa ia pelajari di luar apa yang selama ini ia bayangkan.
...Apapun itu, hargai prosesnya maka kamu akan mendapatkan hasilnya bahkan bisa lebih dari yang kamu bayangkan sebelumnya...
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....