NovelToon NovelToon
Cerita Dua Mata

Cerita Dua Mata

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Identitas Tersembunyi / Kaya Raya / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: R M Affandi

Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling menemukan hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan,dan ada dilema yang harus diputuskan.

Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.

Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.

Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.

Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter Ketujuh Buku Itu

Dua hari berlalu semenjak kepergian Vika ke kota Padang, ia kembali menghubungiku lewat pesan. Ia mengatakan kalau dirinya akan berangkat ke singapura. Papanya akan menjalani operasi di Negeri Singa itu. Aku membalas pesan darinya, namun pesanku tak pernah terkirim. Kucoba untuk menelponnya, tapi nomornya tak dapat dihubungi dan tak pernah aktif lagi sejak saat itu. Sepertinya takdir memang sengaja membawa Vika pergi dari kehidupanku. “Mungkin ini lebih baik, dan aku bisa lebih fokus menjalani hubunganku denga Rani,” pikirku saat itu.

Hubunganku dengan Rani telah kembali berjalan seperti biasanya. Aku dan dia terus berbagi cerita lewat pesan. Walau tanpa status berpacaran, aku sangat bahagia menjalani hubungan dengannya. Sejak terakhir aku melihatnya di beranda Toko buku yang ada di seberang jalan depan Puskesmas, aku tak pernah lagi bisa bertemu dengan Rani.

Setiap aku ingin ke rumahnya untuk bertemu, dia selalu menolakku. Dia mengatakan, bahwa sebenarnya dirinya tidak diizinkan berteman dengan laki-laki. Saat aku diizinkan datang ke rumahnya waktu dulu, itu hanya kebetulan saja orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Namun, jika ada kesempatan untuk kami bisa bertemu, dia pasti akan menghubungiku.

Aku menerima saja apapun yang Rani katakan. Karena aku yakin, Rani ialah wanita yang sangat baik, dan hatiku tak sedikitpun ragu pada hatinya. Walau hati ini sangat rindu pada wajahnya yang anggun, aku hanya bisa bersabar menunggu kesempatan itu datang. Kerinduan yang menerpa hati sepanjang hari, tak membuat retak cinta ini. Ku terus mengusir rindu-rindu itu dengan bayangan Rani yang tak pernah beranjak dari dalam hati.

Tapi semua itu belum cukup untuk menguji cinta ini. Perasaan yang terjalin secara diam-diam dan berjauhan, semakin harus diperjauh lagi. Kami tidak hanya terpisah berpuluh kilometer, melainkan harus berpisah ratusan kilometer.

Sebulan tak terasa telah berlalu sejak terakhir aku melihat Rani. Masa sekolahku di SMA telah selesai. Siang itu, dengan kegirangan hati kumelangkah menuju rumah, membawa ijazah SMA yang baru saja kuterima. Sesampainya di rumah, seorang laki-laki setengah baya telah duduk di sofa ruang tamu. Laki-laki itu ialah Ayahku yang baru pulang dari kota Pekanbaru.

“Kapan pulang Yah?” tanyaku menyalaminya.

“Baru saja sampai rumah,” jawab Ayahku tersenyum.

“Bagaimana nilaimu?” tanya beliau sambil mematikan api rokoknya di dalam asbak keramik di meja ruang tamu, lalu mengambil ijazah yang ada di tanganku.

“Lumayan lah Yah!” ungkapku.

Ayahku melihat ijazah yang ku bawa dengan sebuah map berwarna biru. “Bagus juga,” Ayahku tersenyum sambil mengangguk dan terlihat puas dengan nilaiku itu. “Senin besok kamu ikut Ayah!” imbuh beliau.

“Kemana?” tanyaku bingung.

“Ke Pekanbaru. Kamu kuliah di sana!” jawab Ayahku, kembali menutup ijazah di tangannya, dan meletakkan di atas meja.

“Kenapa di Pekanbaru Yah? Sebaiknya di Padang aja Yah! Teman-temanku banyak yang kuliah di Padang.” Aku mencoba menolak keinginan Ayahku di saat itu. Karena aku telah merencanakan untuk kuliah di Padang bersama Rani. Walau tingkatan sekolah kami berbeda satu tingkat, tapi kami telah berencana untuk kuliah di universitas yang sama, dan aku akan menunggunya di kampus yang kami rencanakan itu.

“Keluarga ibumu kan ada di Pekanbaru, bukan di Padang? Selama kuliah kamu bisa tinggal bersama mereka. Ibumu juga ikut bersamamu tinggal di Pekanbaru. Jadi Ayah tidak jauh-jauh lagi untuk menjenguk kalian di saat libur. Dan Ibumu juga bisa dekat dengan adik satu-satunya.

“Iya Nak!” Ibuku datang. Beliau yang saat itu sedang sibuk di dapur, menghampiri kami ke ruang tamu. “Kasihan Ayahmu! Beliau hanya bisa libur empat hari dalam sebulan, sedangkan perjalanan ke sini membutuhkan waktu satu hari, dan dua hari di rumah Ayahmu harus balik lagi!” ujar Ibuku setuju dengan keinginan Ayahku.

“Tapi Bu! Rumah ini?” Aku kembali memberi alasan.

“Rumah ini akan kosong untuk sementara. Setelah kamu wisuda, kita akan kembali lagi ke kampung ini. Lagi pula kontrak kerja Ayahmu tinggal lima tahun lagi, setelah kontrak Ayahmu selesai, Ayahmu akan berhenti dari pekerjaanya dan kita akan kembali lagi bersama-sama ke rumah ini. Kamu mau kan?” jelas Ibuku sepertinya sudah merencanakan semuanya bersama Ayahku.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengangguk dan tersenyum meskipun hatiku sangat berat menuruti semua itu.

Aku beranjak dari ruang tamu, menuju ke kamarku, mencari handphone yang sengaja ku tinggalkan di hari itu. Handphone itu terletak di atas meja belajar yang ada di sudut kamarku dengan casan yang masih terhubung.

Segera ku mengambil telpon genggam milikku itu untuk mengirim pesan kepada Rani dan menceritakan apa yang keluargaku rencanakan di hari itu. Dan aku ingin menemui Rani sebelum keberangkatanku sehari lagi.

Cukup lama menunggu, balasan dari Rani akhirnya datang menggetarkan ponselku.

“Aku akan menunggumu besok pagi Fan.” Pesan dari Rani.

“Dimana?” balasku.

“Kamu tahu SMA-ku kan? Minggu pagi aku ada les komputer di sekolah. Pulangnya sekitar jam sepuluh. Sepulangnya dari les, aku nunggu kamu di sana aja ya?

Aku mengingat-ingat tempat sekolah Rani, karena aku hanya pernah sekali lewat di depan sekolah itu, ketika aku ke rumah Rani bersama Andra sebulan yang lalu. “Iya Ran, besok aku akan ke sana,” balasku setelah ingat pasti di mana gedung sekolah Rani.

Besoknya sekitar jam sembilan pagi, aku meminjam motor Ayahku. Namun Ayahku melarangku membawa sepeda motor astrea miliknya. Beliau ingin membawa sepeda motor itu untuk membeli tiket keberangkatan kami di siang itu. Dan beliau mengatakan tidak akan lama, dan aku terpaksa harus menunggu.

Setengah jam berlalu, Ayahku belum juga kembali. Aku yang saat itu menunggu di teras rumahku, sangat gelisah, dan sesekali melihat jam dinding di ruang tamu yang terus berputar. Aku mencoba menelpon Ayahku, namun handphonenya berdering di meja ruang tamu. Ternyata Ayahku lupa membawa handphonenya. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu dan terus menunggu.

Seperempat jam berlalu, suara motor astrea Ayahku mulai terdengar dari kejauhan. Aku segera berlari keluar, memastikan suara itu, dan benar, Ayahku telah berada tidak jauh dari rumahku. Karena tidak sabar lagi, segera kuberlari menghampiri Ayahku yang hanya berjarak kira-kira dua belas meter dariku, dan langsung meminjam motor miliknya. Ayahku hanya tersenyum melihat tingkahku yang sudah tak sabaran itu.

Aku melaju menuju gedung sekolah Rani dengan perasaan yang bercampur aduk. Walau pertemuan kedua ini sudah sangat kunantikan, namun ini juga akan menjadi awal perpisahan yang panjang. Ku naikkan kecepatan motor yang ku kendarai menjadi semakin tinggi, berharap aku bisa lebih cepat sampai ke tempat Rani, dan kami bisa bersama lebih lama.

Di tengah laju motorku yang tak seperti biasanya, pikiranku pun selalu tertuju pada Rani. Aku mulai membayangkan wajah anggunnya dan memikirkan kata-kata yang ingin aku ucapkan untuknya, agar perpisahan ini akan lebih berkesan. Hingga di suatu persimpangan, tiba-tiba sebuah mobil melintas di depanku, dan aku tak sempat untuk menekan rem.

“Brakk!” Aku menabrak mobil itu dan terpental ke bahu jalan. Alis kiriku terasa dingin dan perih di saat itu, dan ketika aku mengusapnya, darah pun membasahi ujung jariku, dan menetes hingga ke pipiku. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.

Bersambung.

1
Riani
lebih ke perasaan
wekki
semangat thor
Marissa
Rata-rata baca buku harian, tapi penasaran juga
Robi Muhammad Affandi: Terimakasihh dukungannyaa😁
total 1 replies
Marissa
ini cerita misteri apa cinta? /Grin/
Hietriech Ladislav
dah mampir nih 🫡 next mampir baca novel saya & beri komen
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!