Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Dokter Gita!" teriak seseorang dari ujung koridor tempat Dokter Gita duduk menunggu di depan ICU.
Dokter Gita memalingkan wajahnya. Di sana ia melihat seorang gadis berperawakan tinggi semampai tengah berjalan ke arahnya. Gadis muda itu tampak kerepotan membawa barang-barang di kedua tangannya; satu tangan menggenggam koper berukuran besar, sedangkan tangan yang satunya lagi memegang bingkisan plastik berisi makanan ringan, bantal, dan tikar lipat.
Dokter Gita mengamati wajah gadis itu. Kalau tidak salah, nama gadis itu adalah Nina. Ia merupakan seorang asisten perawat di klinik bersalin yang baru-baru ini tinggal di asramanya.
Ada urusan apa anak itu datang ke sini?
Setelah melihat koper hitam yang dipegang Nina, Dokter Gita akhirnya mengerti. Ia teringat pada percakapan singkat dengan sopir ambulans tadi malam. Sewaktu Dokter Gita tiba di rumah sakit, ia sempat meminjam ponsel sopir itu untuk menelepon satpam asramanya. Dokter Gita juga sempat menitipkan pesan kepada satpam asramanya itu untuk menugaskan seseorang agar membawakan baju gantinya dan barang-barang yang akan diperlukan Aline selama berada di rumah sakit. Hanya saja, Dokter Gita tidak pernah menyangka kalau orang yang akan diutus satpamnya untuk membawakan barang-barang itu adalah gadis ceroboh ini.
Gubrak.
Di saat Dokter Gita sedang melamunkan sesuatu tentang Nina, tiba-tiba Nina jatuh terpeleset karena menendang papan kuning yang dipakai petugas kebersihan untuk menandai daerah yang licin. Ia terjatuh dengan posisi menelungkup di lantai yang basah. Barang bawaannya terlempar dan berserakan di lantai.
"Mbak nggak apa-apa?"
"Iya, nggak apa-apa kok." Nina tersipu malu, lalu memunguti barang-barangnya. Petugas kebersihan itu merasa bersalah dan membantunya memungut koper besarnya.
"Makasih, Pak. Maaf tadi aku nggak lihat ada papan ini."
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati lagi."
Nina mengangguk dan kembali berjalan ke tempat Dokter Gita berada. Sekarang Nina semakin terlihat kerepotan. Ia juga merasa tidak enak hati karena barang-barang yang dibawanya malah jadi basah. Mau tidak mau Nina melepaskan jaketnya untuk dijadikan sebagai lap. Tadi koper Dokter Gita sempat terkena tumpahan air pel, jadi Nina mengelapnya menggunakan jaket rajutnya sendiri dan langsung membuang jaket itu ke tong sampah. Di balik seragam perawatnya yang belum sempat ia ganti sejak kembali dari klinik bersalin, Nina tampak semakin kurus.
Dokter Gita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Nina. Ia tidak habis pikir bahwa gadis yang selama ini berprofesi sebagai perawat di klinik bersalin, merupakan orang yang begitu ceroboh.
"Maaf menunggu lama, Dokter. Ini, aku bawakan barang yang diminta dokter. Maaf, tadi barangnya sempat ja—"
"Sudahlah. Taruh di sini saja," Dokter Gita segera memotong ucapan Nina sebelum gadis itu berbicara lebih panjang lagi.
"Baik." Nina pun meletakkan koper dan barang lainnya di samping Dokter Gita.
Suasana di koridor itu sekilas terasa hening, tetapi meskipun demikian, masih banyak orang yang berlalu lalang di sana. Nina melirik ke kanan dan kirinya. Tiga orang dari petugas kebersihan masih tampak keluar masuk kamar pasien untuk menyapu dan mengepel lantai, begitu pula dengan beberapa perawat jaga yang kini sibuk melakukan tugasnya masing-masing, mereka hilir mudik membawa peralatan medis dan memeriksa keadaan pasien satu per satu, ada pula beberapa mahasiswa farmasi yang baru saja tiba di UGD bersama dokter pembimbingnya. Sepertinya para mahasiswa itu akan memulai KKN-nya hari ini. Kurang lebih, pemandangan ini mirip dengan pemandangan yang biasa ia lihat di klinik bersalin tempatnya bekerja. Kesibukan di rumah sakit itu memang tiada henti. Orang-orang datang dan pergi. Namun itulah rumah sakit.
Duk.
Nina merasa kaget saat Dokter Gita tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Dokter, mau ke mana?"
Dokter Gita tidak menjawab. Ia berjalan sedikit terhuyung mendekati ruang ICU, lalu berdiri mengintip ke dalam sana melalui jendela kacanya. Dari luar jendela itu, Nina dan Dokter Gita bisa melihat dengan jelas ruangan di dalam sana. Nina melihat wajah seseorang yang sangat dikenalnya tengah terbaring lemas dengan menggunakan peralatan medis.
Aline.
Nina melirik Dokter Gita yang begitu terpukul melihat Aline masih terbaring di sana.
"Bagaimana kondisi Aline, Dokter?" Nina memberanikan diri untuk bertanya.
Namun, Dokter Gita tidak segera menjawabnya. Dokter Gita menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tatapan Dokter Gita saat ini begitu kosong. Berulang kali Dokter Gita menghela napas panjang. Baru setelah Dokter Gita menyadari kalau gadis perawat itu tengah memperhatikannya, ia pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang saat itu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Seperti yang kamu lihat. Sejak semalam Aline masih belum sadarkan diri." Suara Dokter Gita terdengar serak. Sepertinya ia sudah banyak menangis.
Nina menarik napas panjang, ia semakin mendekat ke jendela kaca untuk mengintip lebih jelas ke dalam. Benar saja, gadis yang selama ini sering dilihatnya di asrama Dokter Gita itu masih tertidur pulas di ranjang putihnya bak seorang putri.
"Sampai kapan dia akan seperti ini?" Nina mengeluh. Suara napas Nina terdengar berat, uap tubuhnya perlahan-lahan mulai mengembun di permukaan kaca dan menghalangi pemandangan.
"Aku sejujurnya masih tidak percaya setelah mendengar kabar kalau Aline berani melakukan hal serupa itu. Setahuku Aline adalah anak yang baik. Dia selalu ceria setiap kali kita bertemu. Dia juga sering menyapaku. Kemarin pagi saja dia masih bisa tersenyum. Jadi, aku... Aku sama sekali tidak habis pikir kenapa Aline harus melakukan hal semacam itu? Padahal selama ini, aku sudah berpikir kalau Aline memang baik-baik saja, terutama setelah dia masuk kampus." ujar Nina, yang kini sudah duduk kembali di samping Dokter Gita.
Dokter Gita tertegun. Ia sama sekali tidak ingin membenarkan maupun membantah pernyataan Nina. Pandangannya hanya tertuju pada apa yang ada di balik jendela kaca ruangan itu. Tubuh dan wajah mungil Aline yang berlumuran darah masih jelas terbayang di kepalanya. Dokter Gita masih sangat menyesalkan perbuatan Aline. Ia benar-benar terluka atas apa yang telah terjadi pada Aline.
"Dokter?"
Nina mendapati Dokter Gita menangis tersedu. "Dokter, tidak apa-apa?"
Dokter Gita menunduk dan mengatur ulang napasnya. "Semuanya salah saya. Seharusnya waktu itu saya langsung pulang ke asrama dan mengecek Aline. Tapi, saya malah pergi menemui seseorang..."
"Tidak. Itu bukan salah Dokter Gita,"
Dokter Gita menggeleng. Ada perasaan sesak yang menekan paru-parunya saat ini. "Aline itu gemar merangkul penderitaannya sendiri."
Nina mengernyitkan dahi. "Dokter bercanda, ya? Tidak mungkin ada seseorang yang mau berteman dengan kesedihan."
Dokter Gita tidak menanggapi. Percuma. Nina tidak tahu apa-apa tentang Aline. Meski dijelaskan, Nina hanya mengetahui Aline dari penampilan luarnya saja.
Hening sesaat.
Dokter Gita membuka kopernya, sibuk mencari ponsel di antara tumpukan barang yang sudah ditata rapi oleh Nina.
Nina sibuk memperhatikan Dokter Gita. Entah mengapa Nina merasa kalau sikap Dokter Gita mulai sedikit berbeda. Saat ini Dokter Gita tidak terlihat seperti wanita yang selama ini ditemuinya di asrama. Tatapan Dokter Gita benar-benar getir. Ekspresi wajahnya tampak datar dan sedikit dingin. Sangat berbeda dengan sosok Dokter Gita yang setiap hari terlihat ceria, tenang, dan banyak tersenyum. Padahal selama ini Dokter Gita dikenal sebagai dokter paling ramah dan baik hati. Tapi hari ini, Dokter Gita benar-benar terlihat rapuh.
Sekilas terdengar helaan napas panjang yang berasal dari wanita di sebelah Nina. Sambil mengecek ponselnya, Dokter Gita berkata. "Sebetulnya, saya masih berharap kalau semua ini hanyalah mimpi—mimpi yang sangat buruk."
Tenggorokan Dokter Gita bergerak. Wanita itu menelan ludahnya, tak kuasa menahan rasa sedihnya.
Gadis di sebelah Dokter meletakkan jari-jarinya di atas pangkuan Dokter Gita. "Dokter Gita harus kuat. Dokter harus yakin kalau Aline pasti akan baik-baik saja. Kita berdoa saja pada Tuhan."
Dokter Gita menggeleng lemah. "Saya tetap tidak bisa melihatnya terbaring di sana. Sejak semalam pun—meski saya telah berkali-kali membantah kejadian ini dan mencoba untuk memejamkan mata—saya berharap kalau bukan Aline yang ada di sana. Akan tetapi, mimpi buruk itu tidak kunjung hilang. Setiap kali saya melihat wajah Aline di sana, saya tidak bisa menghapus ingatan saya saat pertama kali menemukan Aline di kamarnya. Saya menyesal telah membiarkan Aline menghadapi kesulitannya sendiri. Anak itu sungguh malang ..."
Nina mengangguk-anggukkan kepalanya, ia paham betul akan perasaan Dokter Gita. “Aku tahu kalau Dokter pasti masih shock setelah melihat Aline tadi malam.”
"Saya nyaris gila melihat keadaan Aline, Nin."
Nina menundukkan kepalanya, sejenak ia menghela napasnya sebelum kembali mengangkat wajah, dan mengamati sosok Aline di ruangan itu. Pandangannya lurus ke dalam sana, tertuju pada lengan kanan Aline yang diperban panjang.
Sebelum Nina datang ke rumah sakit, subuh tadi ketika ia masuk ke kamar Aline untuk mengambil beberapa barang dan ponsel milik Aline, secara langsung ia melihat kondisi kamar Aline yang masih berantakan—banyak pecahan-pecahan cermin dan noda-noda darah yang mulai mengering di karpet dan lantai keramiknya, membuat Nina bergidik ngeri.
Bukan ngeri karena takut melihat kekacauan di kamar itu. Nina hanya tidak bisa membayangkan saja, sebenarnya masalah apa yang telah menimpa gadis seceria Aline sehingga Aline menjadi begitu depresi dan berani melakukan tindakan berbahaya seperti ini. Ia begitu penasaran, mengapa Aline sampai harus melakukan percobaan bunuh diri?
Nina menggigit bibirnya, beberapa kali tenggorokannya terlihat bergerak menelan air ludahnya kuat-kuat.
"Malang sekali nasib Aline. Pasti berat baginya menghadapi dunia luar setelah mengingat semua yang pernah terjadi di masa lalunya."
Dokter Gita membenarkan perkataan gadis di sebelahnya. "Itulah mengapa anxiety disorder lebih berbahaya dibandingkan depresi," imbuhnya.
Nina manggut-manggut mengerti.
Helaan napas Dokter Gita semakin terdengar berat. "Sejujurnya, saya sendiri tidak pernah menduga kalau anak itu akan senekat ini. Saya adalah dokternya, tetapi sekarang saya merasa tidak berguna." Lanjut Dokter Gita dengan suara yang terdengar getir. Wajar saja, ia baru menyemai pilu di hatinya.
Gadis di sebelah Dokter Gita kembali terdiam. Ia sangat mengerti dengan apa yang dirasakan Dokter Gita saat ini. Sebagai seorang perawat, ia juga pernah merasakan hal yang sama—ketika melihat pasiennya melakukan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri. Nina hampir tidak bisa menggambarkan perasaan itu hanya dengan kata-kata.
Di dalam dunia kerjanya—terkadang perasaan "kasihan" kepada pasien itu memang sebaiknya dipendam sendiri saja atau disembunyikan oleh Dokter maupun suster yang bersangkutan dari hadapan pasien dan keluarga pasien. Namun bukan berarti semua orang yang bekerja di bidang medis memiliki sikap kebal terhadap perasaan manusia. Tidak—kenyataannya, dokter dan suster-lah yang paling merasa menderita di kala mereka tidak berhasil menyelamatkan nyawa pasien-pasiennya.
Nina mengenang kembali kebersamaannya dengan para suster yang sempat tinggal di asrama Dokter Gita, sewaktu ia pertama kali bergabung di asrama itu.
Ada satu hal yang diingat Nina sebelum ia menjadi perawat di klinik bersalin, yaitu kalimat ini :
Dokter dan perawat harus terlihat kuat di hadapan pasien. Jika perawat atau dokter ikut bersedih ketika mengetahui penyakit pasien dan melihat kondisinya yang parah, hal seperti ini justru akan mempengaruhi kondisi psikis pasien. Jika Dokter atau perawat tidak dapat menahan perasaan emosionalnya, maka keyakinan keluarga pasien terhadap mereka akan langsung memudar saat itu juga. Itulah sebabnya, mengapa terkadang suster dan dokter harus rela disalahkan dan dianggap seperti manusia tidak berperasaan—bahkan di saat mereka harus melakukan operasi ataupun ketika mereka harus mengumumkan kematian pasiennya.
Beberapa penggalan kalimat yang diucapkan Dokter Gita ini pada akhirnya bisa membantu gadis ceroboh dan cengeng itu untuk bisa tumbuh menjadi seorang asisten perawat yang dapat diandalkan.
Nina merasa beruntung bisa bertemu Dokter Gita dan mendapatkan petuah seperti itu. Ia yang dulu pernah merasakan kegagalan dan depresi karena tidak bisa menyelamatkan nyawa seorang bayi, mulai bisa bangkit dan meningkatkan potensinya lagi.
Dulu, Nina berpikir, bahwa seorang psikiater seperti Dokter Gita tidak akan pernah merasa kesulitan, karena ia selalu bisa memberikan semangat dan kata-kata bijak kepada pasien yang datang kepadanya.
Akan tetapi—hari ini, Nina ingin meralat semua perkataannya. Melihat kondisi Dokter Gita yang tampak sama seperti wanita lainnya, Nina ingin segera meminta maaf. Tidak seharusnya ia menyepelekan profesi seseorang. Tidak seharusnya ia menganggap enteng dan membandingkan masalah pribadi seseorang dengan pekerjaannya. Tidak seharusnya waktu itu ia mengatakan bahwa, Dokter Gita tidak mungkin bisa mengerti perasaan orang yang tidak memiliki kemampuan khusus seperti dirinya.
Hari ini, Nina seolah terbangun dari pikirannya yang selama ini sudah banyak meragukan pekerjaan seorang psikiater. Nina sadar. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Seseorang yang tidak pernah memperlihatkan kelemahannya bukan berarti mereka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Bahkan—sebijak apa pun seorang dokter, pasti akan ada suatu masa di mana mereka juga mengalami kesedihan, dan membutuhkan waktu untuk menangisinya.
Seperti Dokter Gita saat ini, pikir Nina.
Sebaiknya aku tidak mengganggu Dokter Gita. Dokter Gita bisa saja berpura-pura kuat di hadapanku, tetapi aku yakin kalau sekarang ini hatinya sedang menangis pilu. Aku tahu Dokter Gita sangat menyayangi Aline. Beliau pasti sedih melihat kondisi Aline yang belum sadarkan diri. Aku harus memberinya waktu untuk sendiri.
Nina mengangguk yakin. Ketika Nina hendak beranjak dari kursinya untuk berpamitan pulang, seorang wanita paruh baya lewat di depan mereka. Melihat dua anak kembar yang berjalan di belakang wanita itu, Nina teringat sesuatu.
"Oh, benar juga. Maaf, Dokter, aku lupa menyampaikan ini. Tadi malam ada dua orang pria yang mencari Dokter Gita di asrama."
Dokter Gita menyipitkan matanya, ia tampak seperti sedang berpikir. Dokter Gita menatap gadis itu dengan serius. "Siapa yang mencari saya?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Mereka juga tidak menyebutkan nama mereka. Tetapi mereka memberikan ini untuk Dokter Gita,"
Gadis itu mencari sesuatu di saku depan seragamnya, dan mengeluarkan kartu nama berwarna putih.
"Mereka memintaku untuk memberikan ini kepada Dokter Gita."
"Oh, terima kasih." Dokter Gita menerima kartu nama itu tanpa melihat nama pemiliknya.
Nina menganggukkan kepalanya, lalu pamit karena ia juga harus bergegas ke klinik bersalin lagi siang ini.
Dokter Gita mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ia mengantarkan gadis itu ke lobi. Dan—begitu kembali di depan ruangan Aline, Dokter Gita langsung menghubungi nomor yang tertera di kartu nama yang diberikan Nina tadi.
Panggilan tersambung pada nada ketiga.
Dokter Gita langsung menyapanya. "Halo?"
"Ya, halo?" Seorang pria menjawab panggilan itu.
Dokter Gita hampir pingsan saat mendengar suara lembut pria di seberang teleponnya. Ia bahkan sempat menurunkan ponselnya sejenak dan memastikan suara itu lagi.
"Halo? Halo? Sebentar... apa ini Anda, Dokter?"
Suara pria di ujung telepon terdengar lembut. Rupanya pria itu langsung bisa menebak siapa yang meneleponnya hanya dengan mendengarkan suaranya saja.
"Kamu?"
"Ah, jadi benar ini Anda. Nomornya hampir tidak dikenal. Apa Anda mengganti nomor telepon lagi?"
Meskipun tidak ada seorang pun di depannya, Dokter Gita menggeleng cepat.
"Tidak, tidak. Saya tidak pernah mengganti nomor. Ini bukan nomor saya. Saya menelepon dari ponsel Aline karena ponsel saya kehabisan baterai."
"Oh, jadi ini nomor gadis itu?"
Dokter Gita mengangguk lagi. Saat Margin pertama kali membawa Aline untuk konsultasi, dia memang sudah menceritakan tentang gadis itu kepada pria yang saat ini meneleponnya.
Pria itu kemudian menanyakan keberadaan Dokter Gita saat ini, lalu meminta waktu untuk bertemu dengannya hari ini.
Dokter Gita tampak panik. Ia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Di satu sisi, ia sangat ingin menjadi akrab dengan pria itu lagi, tetapi di sisi lain....
"Ketemu, sekarang?"
Dokter Gita melihat ke dalam ruang perawatan. Di sana, Aline belum juga bangun dari komanya. Dokter Gita kebingungan—antara senang dan sedih. Dokter Gita tidak bisa mengabaikan keduanya.
Kondisi Aline sangat penting karena gadis itu adalah tanggung jawabnya. Dan, sebagai seorang dokter, ia tidak bisa meninggalkan Aline begitu saja.
Tetapi di sisi lain, pria yang beberapa hari ini selalu bersikap dingin dan tidak mau memanggilnya "ibu" itu tiba-tiba mengajaknya bertemu.
Napas Dokter Gita terdengar berat. "Baiklah. Saat ini saya masih di Rumah Sakit Adiwira. Kalau kamu tidak keberatan, bisa kita ketemu di sini saja?"
"Baiklah, sepuluh menit lagi saya akan sampai di sana. Kita ketemu di lobi."
"Baik."
"Ya, sampai jumpa nanti."
Setelah berkata demikian, lelaki itu langsung menutup teleponnya.
Dokter Gita menggenggam erat ponsel Aline. Pikirannya melayang tinggi seperti layang-layang yang terbang di udara.
Bibirnya terasa kebas. Ia tidak bisa bereaksi apa pun selain melengkungkan senyumnya. Sudah lama ia tidak berbincang seperti ini dengan anak itu. Tiba-tiba musim panas hari ini terasa seperti musim semi yang beraromakan bunga sakura.
Dokter Gita masih tidak percaya, anak yang beberapa minggu lalu mengatakan bahwa ia sangat membencinya, kini mengajaknya untuk bertemu.
Padahal anak itu bisa saja menyampaikan semua yang dia perlukan melalui telepon atau pesan singkat. Apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan? Kedengarannya juga sangat serius.
Saat Dokter Gita tengah asyik membayangkan pertemuan itu, ponsel Dokter Gita yang sedang dicas dan ditaruh di atas koper itu berdering dua kali. Rupanya James Born kembali mengiriminya pesan singkat lagi.
James Born : Bagaimana kabar Aline?
James Born : Apakah dia baik-baik saja?
Dokter Gita mendesah. Senyum tipis tersungging di bibirnya. James Born bagaikan wartawan yang bekerja sebagai agen rahasia. Saat mengirim pesan, James Born tidak suka bertele-tele, langsung bertanya apa yang ingin diketahuinya.
Awalnya, Dokter Gita merasa tidak perlu menyampaikan kabar ini kepada James Born. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, ia tidak ingin mengecewakan James Born.
"Baiklah, akan segera kubalas."
Dokter Gita kemudian membuka pesan James Born dan mengetik balasan yang panjang. Ia menjelaskan kondisi Aline saat ini secara rinci—hampir tidak ada yang terlewatkan atau sengaja disembunyikannya dari James Born.
James Born : Terima kasih atas informasinya.
Balasan singkat James Born membuat Dokter Gita mengernyit.
"Dia memang sedikit aneh." Dokter Gita menggelengkan kepala, mematikan layar ponselnya, dan meletakkannya kembali di atas kopernya.