Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Lani dan Manela
Barangkali benar, salah satu tujuan manusia diciptakan adalah untuk menjadi tempat sampah.
"Lani..." dia memanggilku. Sahabat terbaik sejak kami masih terlalu kecil. Bahkan mungkin sejak kami masih dalam kandungan. Ibunya dan ibuku sudah bersahabat dari mereka gadis. Dan, persahabatan kami seperti warisan keluarga. Yang turun temurun harus kami jaga.
Apa pun yang dia rasakan. Semua hal yang menimpanya akan ia ceritakan kepadaku. Begitulah Manela. Dia selalu percaya kepadaku. Hal yang sama juga kutunjukkan kepadanya. Mungkin karena itu kami betah untuk saling membutuhkan. Bertahun-tahun bertahan sebagai sahabat. Tidak selalu akur memang, sesekali kami pun mengalami salah paham. Namun, persahabatan kami jauh lebih kuat dari kesalahan yang satu di antara kami lakukan.
"Ela." Aku berhenti, yang memanggilku berjalan mendekat.
"Kamu hari ini sibuk?"
Aku sudah tahu ke mana arah pertanyaannya. Manela butuh teman curhat. Tentu, aku tidak akan menolak. Sesibuk apa pun aku, selalu akan kusempatkan mendengarkan dia bercerita. Begitulah sahabat, kadang ada masanya kita harus merelakan waktu lelah kita. Agar orang yang kita sayangi bisa bahagia.
Malam itu, Manela menginap di rumahku. Kebiasaan yang sering kami jalani sejak kami masih sekolah dasar. Dulu, hanya urusan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan segala kewajiban sekolah yang kadang bikin resah. Sekarang tentu berbeda, selain urusan skripsi, kami juga lebih banyak bicara perihal hati.
"Kamu kenapa lagi? Ada masalah lagi dengan Gilan?"
"Bukan, ini bukan tentang Gilan." Manela menunduk. Ada yang belum ia ceritakan kepadaku. Dan, ia seolah menahan untuk tidak menceritakan itu.
Kalau bukan tentang Gilan. Lalu tentang apa lagi? Tidak mungkin dia membahas skripsi sampai sekalut ini. Ini pasti urusan hati. Tetapi apa yang terjadi?
Gilan Bahri adalah lelaki yang kami temui di awal masuk kuliah. Dan, mulai hari itu aku bisa melihat sesuatu di mata Manela. Ada rasa kagum, sekaligus suka kepada lelaki berkulit putih itu.
"Kamu yakin suka sama Gilan?" tanyaku.
"Kenapa, memang?"
"Dia kan anak cupu, gitu."
"Sesekali, seru juga kali ya pacaran sama lelaki baik- baik seperti Gilan."
Itu yang aku khawatirkan sebenarnya. Yang aku tahu, Manela hampir tidak pernah serius menjalani hubungan asmara dengan laki-laki. Sejak dia dikhianati lelaki yang dengan sepenuh hati ia cintai. Manela seolah menganggap semua lelaki sama. Hanya untuk dijadikan permainan.
"Kalau kau tidak mempermainkan lelaki, maka kau yang akan dijadikan mainannya." Itu yang dikatakan Manela. Sewaktu aku mencoba untuk menasihatinya.
"Tapi, Gilan itu lelaki baik. Kamu tidak boleh melampiaskan sakit hatimu di masa lalu kepada orang yang bahkan tidak tahu masalahmu."
"Lani... kamu dari dulu selalu saja membawa apa pun dengan perasaan. Kalau kamu terus begitu, kamu akan menjadi perempuan yang selalu tersakiti."
18
"Ela, aku hanya ingin kamu tidak melakukan kesalahan."
"Terima kasih, Lani. Tapi aku tahu apa yang aku lakukan. Aku paham." Dia tersenyum.
Aku memang tidak pernah bisa marah kepada Manela. Dia sudah seperti saudara bagiku. Bahkan mungkin melebihi itu.
Awalnya, aku tidak pernah menduga. Manela bisa bertahan dengan Gilan selama tiga tahun lebih. Aku tidak mengerti, apakah karena Manela terlalu pintar merayu hati Gilan -setelah lelaki itu disakitinya. Atau karena Gilan yang terlalu cinta kepadanya.
Pernah suatu kali, aku bertanya kepada Gilan.
"Kenapa kamu masih mencintai perempuan yang jelas-jelas mempermainkan perasaanmu?"
Dia hanya tersenyum seadanya.
"Untuk membuat dia mengerti, bahwa aku bukan lelaki yang tidak layak dia permainkan." Jawabnya tenang.
Obrolanku dengan Gilan hanya akan berakhir sesingkat itu. Tidak akan ada obrolan panjang seperti aku mendengarkan curahan hati Manela.
Menjadi orang yang berada di posisi sepertiku kadang jenuh juga. Bagaimana tidak. Di satu sisi aku harus mendengarkan sahabatku sendiri. Cerita tentang
ia bertemu dengan laki-laki lain. Lalu, merasa suka dan menjalani hubungan diam-diam. Sementara di sisi lain, aku juga mengenal kekasihnya. Lelaki yang memilih tidak mau tahu, atau tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan perempuan yang menjadi kekasihnya. Aku menjadi serba salah. Gilan susah dibedakan, apakah dia memang terlalu baik atau terlalu naif.
"Jadi, apa masalahmu?"
"Aku jatuh cinta lagi."
Sudah kuduga. Ini kesekian kalinya dia mengaku seperti itu. Meski pada akhirnya, dia kembali kepada Gilan juga.
"Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?" Sejujurnya aku mulai lelah mendengarkan ceritanya yang seperti ini terus.
"Kali ini beda, Lani. Ini cinta yang dewasa. Aku juga tidak mau main-main terus." Dia terdengar lebih serius.
"Maksudmu?"
"Aku butuh lelaki yang mapan. Lelaki yang sudah punya masa depan. Sementara kamu juga tahu kan, Gilan masih sama seperti kita. Masih berstatus mahasiswa."
20
Aku menggeleng. Sejak kapan dia bisa berpikir seperti itu? Bukankah selama ini, baginya sama saja. Semua lelaki yang ia dekati -yang diam-diam jalan dengannya tanpa sepengetahuan Gilan memang untuk main-main saja. Lalu sekarang kenapa dia jadi berpikir seperti itu?
Tanpa diakui Manela, aku bisa melihat bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa kehilangan Gilan. Buktinya, Gilan tetap ia pertahankan. Meski pada saat yang sama lelaki itu tetap saja ia sakiti.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku sudah dewasa, Lani."
"Aku tahu," potongku. Aku kesal, setiap kali dia mengaku dewasa saat yang sama sikapnya tidak menunjukkan sikap yang dewasa.
"Sudah saatnya aku memikirkan masa depan."
Untuk hal itu aku setuju. Sebab, semakin kita tumbuh dewasa, semakin bertambah beban kita untuk bertanggung jawab penuh atas hidup kita.
"Lantas?"
"Aku ingin melepaskan Gilan."
"HAH? Kamu bercanda? Aku benaran kaget. Selama ini, setiap kali dia bercerita tentang lelaki yang
membuatnya jatuh hati. Dia hanya selalu memintaku memikirkan bagaimana cara agar Gilan tidak tahu. Atau, bagaimana caranya agar Gilan kembali memaafkannya, jika saja ia ketahuan.
"Sudah saatnya, Lani. Dia berusaha tersenyum, meski terkesan dipaksakan.
"Ela, kamu jangan main-main!" Aku merasa takut, sekaligus tidak mengerti dengan dia.
"Haha... bukankah aku sudah bilang, kalau selama ini aku hanya main-main?"
Aku terdiam. Benar, Manela tidak pernah serius pada Gilan. Tiga tahun lebih hubungan mereka. Aku bahkan tidak pernah melihat Manela merasa resah saat Gilan tidak ada kabar.
"Jadi, kamu tenang saja. Gilan itu lelaki, dia tidak akan bunuh diri, hanya karena akhirnya aku melepaskannya."
Gilan mungkin memang tidak akan bunuh diri. Hanya saja, aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati lelaki itu. Tiga tahun tabah dengan sikap Manela. Namun, berakhir dengan dicampakkan begitu saja. Hati mana yang tidak akan terluka.
"Ela, pikir lagi. Apa kamu yakin, kamu tidak akan menyesal? Gilan mungkin belum mapan, tetapi dia lelaki pekerja keras. Hanya menunggu waktu, nanti akan ada saatnya dia akan menjadi lelaki dewasa. Mungkin jauh lebih mapan dari semua selingkuhanmu."
22
Aku mencoba menasihati. Namun sepertinya, itu tak berarti lagi bagi Manela.
"Kalau ada yang bisa membuatmu bahagia hari ini, kenapa harus menunggu yang belum pasti?" Manela menatapku dengan senyum licik. Seolah merasa menang atas apa yang dia dapatkan selama ini. Tanpa memikirkan bagaimana lelaki yang selama ini menemaninya.
Aku tidak bisa memaksakan dia untuk tetap bersama Gilan. Hanya saja, sedih melihat sahabat yang tumbuh bersama, kini menjadi orang yang seolah tak mengenal dirinya sendiri. Ia menjelma perempuan yang lepas kendali. Ia menjelma menjadi perempuan yang tega.. Apa sebegitunya, bahaya patah hati bagi perempuan yang terlalu cinta?
Bersahabat dengan Manela ternyata membuat kami tidak benar-benar saling mengenali. Aku pikir, Manela tidak akan pernah melepaskan Gilan. Sebab, yang aku tahu, Gilanlah lelaki yang mampu bertahan selama itu dengannya. Lalu, bukankah perempuan hanya butuh lelaki yang ingin mencintainya di setiap kondisi apa pun? Bahkan di kondisi paling buruk sekali pun.
Tidak ada satu orang pun yang benar-benar mengenali seseorang secara penuh, bahkan mungkin orangtua dan orang paling dekat dengannya. Manela dengan segala pemikirannya yang sulit untuk kumengerti. Namun, bukankah persahabatan memang diciptakan untuk hal-hal seperti itu. Agar kita saling memahami satu sama lain. Agar kita bisa belajar untuk mengerti apa yang belum kita pahami.
"Lani, kamu jangan sibuk kuliah terus. Saatnya mikirin pacar, pendamping hidup." Manela menggodaku sebelum akhirnya memilih tidur.
Aku hanya tersenyum. Ada hal yang tiba-tiba membuatku resah.
Dua jam berlalu, Manela sudah terlelap. Aku masih saja tidak bisa tidur. Bukan karena curhatan Manela yang ingin melepaskan Gilan. Namun, ada hal lain yang membuatku semakin gelisah tak keruan. Sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa pun. Tidak kepada ibuku, juga tidak kepada Manela.
Aku tahu harus merasa senang atau sedih. Saat mendengar Manela berniat melepaskan Gilan selamanya. Itu artinya, Manela akan memilih jalan hidup baru. Hanya saja, Manela tetaplah Manela, dia bisa berubah pikiran kapan saja. Dan itu membuatku semakin gelisah. Karena diam-diam aku juga menjalin hubungan asmara dengan Gilan.