Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13
Ara pulang dengan perasaan sangat kacau. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Dean mungkin akan marah, dan akan semakin marah jika mendengar apa yang akan Ara katakan.
Ara tidak mendapati Dean dikamar, sepertinya sedang di ruang kerjanya. Ara meremas rambutnya frustasi. Bagaimana ia mengatakannya pada Dean?
Setelah membersihakn diri ia memutuskan untuk menemui Dean di ruang kerja laki-laki itu. Berdiri di depan pintu seperti ini, dengan perasaan sekacau ini seperti de javu bagi Ara, perasaan ini, berdiri di depan pintu dengan ragu-ragu disertai rasa takut saat akan mengatakan suatu hal, dari dulu hingga sekarang perasaan seperti ini sudah sangat akrab bagi Ara, seharusnya ia sudah lebih terbiasa.
Ara mengetuk pintu, ia tidak yakin Dean akan mengizinkannya masuk, namun apa salahnya dicoba.
“Mass...” Panggil Ara disertai dengan mengetok pintu.
“Aku boleh masuk?” tanya Ara dengan ragu.
“masuk” suara Dean menjawab dari dalam ruangan.
Dengan sangat gugup Ara memutar kenop pintu, Dean terlihat sedang fokus memeriksa dokumen. Laki-laki yang sedang memakai kaca mata itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan.
“ehemm..” Ara berdehem, sebenarnya untuk menetraslisir rasa gugupnya. Namun itu mencuri atensi Dean. Laki-laki itu menatap Ara dengan satu alis terangkat.
“sebelumnya aku minta maaf kalo ganggu kamu.” Ara memulai dengan kalimat basa-basi yang terdengar sangat menjengkelkan di telinga Dean.
“kamu mungkin udah dengar soal perusahaan Papaku,” Ara menjeda, Dean melipat tangan di dada, sudah bisa menebak arah pembicaraan wanita di depannya.
“apa kamu bisa membantu, memberikan suntikan dana untuk perusahaan Papaku?” tanya Ara dengan ragu-ragu, percayalah seluruh tubuh Ara tegang Saat mengucapkannya.
Dean hanya diam. Ia menatap Ara dengan tatapan yang sulit Ara artikan. Begitukah cara mengatakannya? Batin Ara. Apa ada yang salah dengan kalimatnya? Tatapan Dean semakin membuat Ara gugup.
Sekitar lima menit Ara menunggu hingga akhirnya laki-laki itu beranjak dan mendekat ke arah Ara. Ia terlihat menyeringai.
“Apa yang bisa kamu berikan?” tanya Dean dengan menyeringai, ia berdiri sekitar beberapa langkah di depan Ara.
Mendengar itu Ara mengangkat wajahnya, membalas tatapan mata Dean. Ara tidak tau apa yang diinginkan laki-laki itu darinya. Tapi apapun akan ia berikan selama ia mampu.
“kamu mau apa?” kalimat yang ditanyakan dengan ragu-ragu itu semakin membuat seringai di bibir Dean semakin melebar.
Laki-laki itu terlihat berfikir, selangkah demi langkah mendekat pada Ara. Ara memilih mundur. Namun Dean semakin mendekat, setiap jarak yang tercipta dari langkah mundur yang Ara ambil langsung terkikis oleh langkah Dean yang semakin mendekat.
Ruangan ini luas, namun begitu sempit bagi Ara untuk bisa menarik nafas. Terkurung antar tubuh jangkung Dean dan pintu di belakangnya membuat Ara lemas, mungkin jika ia tidak bersandar pada pintu sudah pasti ia akan meluruh ke lantai.
Di depannya, tepat beberapa senti di depannya dada bidang Dean yang dibalut kaos hitam terpampang. Ia tidak berani mendongak. Situasi macam apa ini? Apa yang sedang laki-laki itu coba lakukan?
Cukup lama berdiam dalam posisi seperti itu, akhirnya Ara memberanikan diri untuk mendongak. Wajah Dean tepat di atas wajahnya. Laki-laki itu sedikit membungkuk, oleh karna tinggi badan Ara yang hanya sebatas dada laki-laki itu.
“apa yang bisa kamu berikan?” tanya Dean lagi, dengan seringai licik di wajahnya.
“Apa saja, tapi tidak dengan perceraian” ucap Ara tegas, sejujurnya ia sedikit takut Dean akan meminta hal itu.
Dean kembali mengangkat sebelah alisnya, kemudian ia mendengus tak suka, ia mundur selangkah, memberi Ara sedikit ruang untuk bernafas.
“Apa saja?” Dean kembali bertanya kini dengan tatapan yang, emm sedikit sensual, tatapannya menjelajahi tubuh Ara.
Merasa tidak nyaman ditatap seperti itu Ara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Perasaan takut kini mendominasi.
“saya mau kamu telanj*ng” ucap Dean enteng. Ara bukan lagi terkejut, jantungnya seperti dihantam ratusan kilo palu gada sekarang ini.
Seketika keringat dingin membanjiri tubuhnya, Dean terlihat sangat serius, wajah datar laki-laki itu tak mengendur sedikitpun.
Ara memasang wajah se-memelas mungkin, mencoba peruntungan. Moga-moga Dean sedikit berbelas kasih. Tapi percuma. Dean bukan jenis laki-laki yang akan memiliki rasa kasihan. Ara sudah membuktikannya selama ini.
Laki-laki itu berbalik berniat kembali ke meja kerjanya.
“kalau kamu tidak mau ya, sudah.” kemudian ia benar-benar kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Ara masih diam mematung, akal sehatnya sedang berperang sekarang.
“kalau tidak ada lagi, kamu keluar,” ucap Dean tanpa melihat ke arah Ara. Semakin membuat Ara frustasi.
Dia harus bagaimana sekarang? Apa ia tolak saja? Tapi ia sudah berjanji pada Papa akan membantu.
“keluar” Dean kembali bersuara.
Ara tak berdaya, serba salah. Dean sepertinya memang tidak bermain-main dengan kata-katanya.
“atau perlu saya seret keluar?” ucap Dean sambil menyorot tajam ke arah Ara.
Ara masih menimbang-nimbang. Lengannya yang menggantung di kedua sisi tubuhnya itu hanya bisa terkulai, lemas rasanya membayangkan dia harus telanj*ang di depan laki-laki itu.
“sepertinya memang harus saya seret.” Putus Dean, kemudian ia beranjak dari kursinya, berjalan cepat ke arah Ara yang sedari tadi tak bergeming.
“oke” satu kata dari Ara menghentikan gerakan tangan Dean yang hendak menarik lengan perempuan itu.
“oke?” tanya Dean memastikan, kepalanya bergerak miring mencoba membuat kontak dengan mata Ara.
“tapi tidak di ruangan ini,” ucap Ara, ia menunduk dalam, antara menahan tangis dan menahan malu.
Mendengar itu Dean mengedarkan pandangannya, memangnya apa yang salah dengan ruang kerjanya?
“di sini ada CCTV,” ucap Ara lemah, Dean mengedarkan kembali pandangannya, terdapat dua CCTV di dua sudut yang berlawanan. Laki-laki itu kemudian mengangguk mengerti.
Dengan keberanian dan harga diri yang sepertinya sudah tak bisa diselamatkan lagi, Ara meraih pergelangan tangan Dean lalu menarikanya keluar dari ruangan tersebut, berjalan pelan menuju kamar. Dean hanya diam mengikuti. Ara hanya ingin ini cepat berakhir.
Berjalan dari ruangan Dean terasa lebih lama dari biasanya, setiap langkah-langkah berat yang Ara ambil sambil menggenggam lengan Dean serasa tidak nyata bagi Ara. Apa yang sedang ia lakukan? Sepertinya ia kehilangan akal sehatnya.
Pintu didepannya serasa sangat menyeramkan. Lagi-lagi de javu di depan pintu. Namun kali ini rasanya sedikit berbeda.
Suara pintu yang tertutup di belakangnya menyadarkan Ara, kenyataan akan segera menyapanya. Seketika keinginana untuk menghilang menguasai benak Ara.
Perlahan Ara melepaskan genggamannya pada lengan Dean, ia berbalik dan melihat laki-laki itu, Dean seperti biasa, menatapnya dengan datar. Ara mengepakan kedua tangan mengumpulkan kekuatan. Tak ada jalan untuk kembali, ia harus melakukan ini. Dean adalah suaminya, sekali lagi ia mengingatkan dirinya, Laki-laki itu suaminya, bukan orang asing.
Lalu, jari-jari yang sedikit bergetar itu mulai membuka kancing piama bermotif cokelat itu. satu kancing, dua kancing, tiga kancing, detak jantung Ara semakin menggila seiring dengan kancing yang ia buka. Pandanganya kosong ke depan, kulit dada dan perutnya yang terbuka sedikit mengigil, dan kancing terakhir terbuka.
Dengan gerakan sangat lambat Ara melepaskan piyamanya menyisakan bra hitam yang sepertinya tidak cukup untuk melindungi payud*ranya yang menonjol keluar. Ara ingin menangis, ini sangat memalukan. Ia ingin berhenti.
Sayangnya, laki-laki di depannya terlihat sangat menikmati.