Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 07
BERHASIL KABUR
Nadine berlari cepat sampai dia berada di gerbang mansion, langkahnya terhenti ketika empat pria penjaga menatapnya. Lagi, banyak sekali penjagaan di sana. “Cepat berpikir Nadine, cepat.” Gumam pelan dan panik. Wanita itu berusaha tenang menarik nafas sambil berjalan ke arah mereka berempat yang saat ini menatapnya dengan curiga, ditambah lagi bercak merah yang melumuri lengan kiri serta mantel Nadine.
“Apa yang kau lakukan? Cepat tangkap dia dan periksa di dalam.” Pinta penjaga 1 kepada tiga kawannya. Dua penjaga memilih masuk ke mansion sementara yang satu menghampiri Nadine hendak meraih lengannya sampai pria itu berhasil mencegah kepergian Nadine.
“Lepaskan aku!” Nadine meronta namun tenaganya kalah kuat. Plakk! Tanpa di suruh, penjaga 1 yang memerintah tadi baru saja memukul Nadine hingga sudut bibir gadis malang itu mulai berdarah dan terluka.
Nadine memelototinya terkejut dan perih di area bibirnya yang berkedut. Sementara penjaga yang awalnya memegangi Nadine, mulai melepaskannya karena kepanikan dan keterkejutan saat temannya baru saja berani mengangkat tangan pada wanita bosnya.
“Hey, What are you doing? Kau ingin kita semua mati huh?!” sentak penjaga tadi ke temannya.
“Aku kelepasan.”
“Kau sudah melukainya.” Keduanya asik berdebat karena rasa takut mereka sendiri sampai melupakan Nadine yang langsung memilih berlari sekencang mungkin dan sebuah teriakan serta suara tembakan di langit-langit tak menghentikan aksi Nadine yang ingin kabur.
Mansion Maxi berada di sebuah tempat yang tak terlalu ramai rumah, bisa dikatakan itu hampir memasuki sebuah hutan, namun masih dekat dengan perkotaan.
Tiga mobil hitam baru saja memasuki kawasan mansion, ketika sepasang mata tajam melihat sosok wanitanya tengah berlari kabur dari mansion. “Putar mobilnya.” Maxi memerintahkan sopirnya untuk segera memutar balik arah.
Nadine mulai berlari sekencang mungkin sampai dia terlihat seperti seseorang yang ikut lomba maraton. Kakinya mulai kesemutan namun dia harus bisa berlari sampai di pinggir jalan. Sementara tiga mobil tengah mengejarnya, terus dan terus Nadine mengumpat dalam hati.
Maxi mengepalkan tangannya marah. Zero menatap bosnya lewat spion, betapa marahnya pria itu saat ini. Kenapa wanita itu berani sekali? Pikir Zero.
Sebuah keberuntungan, Nadine bisa sampai ke jalanan dimana banyak orang yang berlalu lalang di sana. Semua sorot mata tengah menatapnya dengan heran dan sedikit ngeri ketika penampilannya sudah tak karuan. Seperti seseorang yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa.
Nadine menoleh ke kanan dan kiri, melihat ke sekitar untuk memastikan bahwa Maxi berserta anak buahnya sudah tidak lagi mengejar. Seakan tak peduli dengan tatapan orang serta bisikannya tentang dia, Nadine mulai merapikan dirinya sendiri, sesekali mengusap keringatnya lalu berdiri di pinggir jalan melihat beberapa Taxi terparkir di sana. Tangan, kaki semuanya masih bergetar.
Nadine merogoh semua saku yang ada, tak ada satupun uang yang dia bawa karena dompet beserta kopernya berada bersama April dan Dita.
Nadine mencoba bertanya kepada orang-orang yang tengah berjalan di sana, namun tak ada satupun yang peduli sampai seorang nenek-nenek yang akhirnya mau mendengarkan Nadine.
“Permisi! Kalau boleh tahu, sekarang jam berapa?” tanya Nadine terengah-engah. Nenek tadi merasa kasihan dan prihatin melihat wanita muda seperti Nadine terlihat begitu tertekan dan ketakutan apalagi penampilannya sangat berantakan.
“Delapan tiga puluh.” Balas nenek tadi ikut panik.
Masih ada dua jam lagi menuju bandara. Nadine yang bingung harus bagaimana agar dia dapat pergi ke bandara. Nenek tadi menepuk pelan pundak Nadine, “Kamu baik-baik saja?” Nadine mengangguk cepat namun itu tidak menghentikan kepanikannya saat dia akan bertemu Maxi lagi.
“Bi-bisakah aku mem-meminjam uang untuk... Naik Taxi?” Nenek tadi masih diam mencernanya.
“Aku mohon, aku harus segera ke bandara sebelum mereka menemukan ku. Please!” Nadine menautkan kedua tangannya sambil menangis. Tentu saja, sebagai warga asli Chicago, nenek tadi tahu berapa banyak penjahat di kota tersebut.
Wanita tua tadi langsung menarik tangan Nadine dan membawanya masuk ke dalam Taxi, menutup pintu mobil lalu memberikan uang kepada sang sopir sampai nenek tadi melihat ke arah Nadine lewat jendela. Oh, betapa baiknya wanita tua itu.
“Ini, kau bawa ini. Itu bisa melindungi mu, terkadang kita tidak bisa percaya dengan polisi, jika mereka kembali cobalah untuk berhati-hati.” Nenek tadi memberikan benda berukuran kecil namun lonjong.
“Thank you! Saya akan akan membalas kebaikanmu.”
“Iya! Sekarang pulanglah dengan selamat!” Nadine mengangguk faham sambil merintih tangis melegakan saat mobil Taxi mulai melaju.
Untuk sesaat Nadine mulai lega, menutup matanya sambil bersandar tenang. Ia masih meremas benda yang baru diberikan oleh nenek tadi. Sebuah benda yang ternyata adalah pisau kecil-- jika kau tekan tombolnya, maka benda tajam itu keluar dari wadahnya.
-‘Aku akan langsung pulang dan melupakan semuanya. Aku tidak akan datang lagi ke tempat ini, tidak akan.’ Batin Nadine merasa kapok berlibur di tempat yang salah.
...***...
Plak! Plak! Plak.... Suara tamparan keras baru saja Maxi berikan kepada lima penjaga yang ia tugaskan menjaga kamar Nadine dan gerbang depan. Tentu saja satu pukulan itu sudah membuat memar di tulang pipi mereka, bayangkan saja bagaimana kerasnya tangan Maxi.
“MENJAGA SATU WANITA SAJA KALIAN TIDAK BECUS.” Sentak Maxi kepada seluruh pekerja di mansion nya, termasuk para pelayan di sana. Semuanya di kumpulkan di halaman yang cukup luas.
“Siapa yang memukulnya?” kini suara Maxi menjadi pelan namun sangat mencengkram.
Para anak buahnya tak berani mengatakan sepatah kata pun. para pelayan hanya menunduk takut saat bosnya sedang murka. memang benar gaji mereka sangat besar, namun taruhannya adalah nyawa mereka ketika ada kesalahan kecil maka mereka semua harus menanggung hukuman.
“Aku tidak ingin mengulangi pertanyaan lagi.” Mata Maxi masih memperhatikan seperti CCTV yang siap menyorot gerak gerik musuhnya.
Dengan tubuh gemetar, satu penjaga mulai maju satu langkah sehingga Maxi dapat melihatnya.
Meski dari dalam mobil, ia dapat melihat luka kecil di sudut bibir Nadine.
Maxi mulai melangkah dan Zero yang ada di sampingnya mulai memberikan satu pistol ke tangan bosnya dengan santai. Sementara penjaga tadi mulai ketakutan dan masih menundukkan kepalanya ketika peluh mulai membanjirinya. Aura gelap sudah berada di depannya dan ujung pistol berada di bawa dagunya memaksanya untuk mendongak.
“Sa-saya minta ma-maaf b-bos.” Penjaga tadi yang sudah kelepasan hingga berujung memukul Nadine. Kini di hadapan Maxi dia mulai tak bisa berkutik.
“Apa aku harus mematahkan jari-jarimu? Atau langsung menembak mu? Tell me.” Suara berat Maxi benar-benar terdengar ngeri saat tatapan monsternya mulai keluar. Semuanya masih menunduk takut.
“Ma-maaf-- ”
“Jawab.” Pria tampan itu masih berbicara dengan nada santai meski terdengar menakutkan.
penjaga tadi mulai menahan tangis ketika nyawanya sudah ada di ujung tanduk. Dia punya keluarga yang harus dia hidupi. Karena ini kesalahannya sendiri akhirnya ia memilih pasrah. “Anda bisa menembak saya.” Ucapnya tegar.
Maxi mengangguk faham, masih menatap anak buahnya yang saat ini sudah mendongak pasrah. “Good night!” Dorr! Satu peluru sudah berhasil lepas dan menembus kulit leher penjaga tadi hingga darah muncrat ke wajah Maxi serta jas yang ia kenakan.
Sangat berani ketika Maxi menembaknya dengan jarak dekat sambil melihat detail. Itu sudah hal biasa di setiap harinya. Tentu saja semuanya menjadi tegang.
Tanpa menunggu di perintah. Zero langsung memberikan jas baru beserta sapu tangan kepada Maxi.
“Apa saya harus mengejarnya sendiri?” tawar Zero.
“Tidak perlu Zero. Dia yang akan datang sendir ke sini.”
Zero mengerti dan hanya menanggapi ucapan bos nya dengan senyuman tipis dan anggukan ringan. Sedangkan beberapa penjaga mulai membungkus jasad penjaga tadi atas perintah Maxi Ed Tommaso.
...°°°...
Bagaimana menurut kalian? kenapa Maxi Ed Tommaso begitu kejam? Dan apa yang sebenarnya terjadi selanjutnya. Apakah Nadine bisa pulang ke negaranya dengan selamat?
Bisa tinggalkan Like 👍 Coment 💬 Rate ⭐⭐⭐⭐⭐
Thanks and See ya ^< ^