Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 : Mulai Menyesal
“Enggak usah angkat berat-berat, Mbak. Karena Mbak baru melahirkan. Saya kerja di ruang tamu, jadi bisa bantu Mbak kontrol setiap tamu. Harusnya sih enggak sembarang orang datang ke sini,” ucap mas Abdul Khodir kepada Dewi yang mulai beres-beres.
Alif sudah anteng sambil menjaga sang adik. Sementara Dewi yang tipikal cekatan sudah sigap mengurus segala sesuatunya. Namun di beberapa kesempatan, mas Abdul mendapati ART baru di rumahnya meringis menahan sakit di pangkal perut.
“Istirahat lah Mbak. Toh baru saya yang tinggal di sini. Nanti kalau saya lapar, saya bisa beli makan sekalian buat Mbak. Paling sekarang, Mbak tolong buatkan saya kopi saja. Gulanya sedikit saja ya, Mbak!” ucap mas Abdul lagi.
“Jatuhnya, saya makan gaji buta dong, Mas?” komentar Dewi sengaja mengeluh.
“Ya enggak. Ibaratnya kan, ini keringanan kerja selagi Mbak masih masa nifas. Malahan saya yang salah kalau saya membiarkan Mbak kerja keras padahal saya tahu, Mbak masih masa nifas!” balas mas Abdul dengan entengnya.
“Bismillah sih, yang ini beneran baik. Bukan tipikal yang enggak suka ungkit-ungkit kebaikannya,” batin Dewi segera membawa tongkat pel beserta embel pelnya ke belakang. Ia mengikuti saran mas Abdul yang memberinya keringanan kerja. Hanya saja, Dewi memang telanjur trauma pada sikap ibu Aminah beserta pak Mahmud.
Namun, omong-omong pak Mahmud dan ibu Aminah, keduanya sedang tidak baik-baik saja. Ibu Aminah langsung jatuh sakit setelah tahu, Dewi beserta anak-anaknya tak ada di rumahnya lagi. Sementara alasan itu terjadi, efek suaminya.
“Sayang, ....” Pak Mahmud terus memohon kepada sang istri untuk sekadar minum dan ia bantu. Namun, sang istri beneran ngambek dan tampaknya baru akan melakukannya jika pak Mahmud berhasil membawa Dewi kembali.
“Aku enggak tahu Dewi ke mana. Ayo kamu minum dulu karena aku enggak mau kamu sakit!” bujuk pak Mahmud benar-benar merasa bersalah atas keadaan sang istri.
“Tolong cari Dewi dan anak-anaknya, Pak. Takutnya, saya telah membuat dosa besar kepada mereka dan bikin saya makin sulit masuk surga. Dewi dan anaknya orang baik. Mereka sedang kesulitan, tapi kita justru zalim kepada mereka,” rintih ibu Aminah yang memang sudah lemas.
Permintaan sang istri membuat pak Mahmud merasa serba salah. Karena pada kenyataannya, ia memang tidak tahu Dewi pergi di mana? Pak Mahmud tidak tahu sekarang Dewi ada di mana.
“Bu ... Ma ....” Panggilan sayang pak Mahmud kepada sang istri sudah semuanya pria itu sebut, tapi yang bersangkutan terus saja membahas dosa besar kepada Dewi dan anak-anaknya.
Karenanya, pak Mahmud berinisiatif ke kontrakan Dewi. Meski jika Dewi benar-benar kembali ke sana sama saja bunu.h diri. Namun, kontrakan tersebut memang satu-satunya harapan pak Mahmud.
Ibu Surmi menjadi sosok yang membuka pintu kontrakan. Detik itu juga, selain wajah judes ibu Surmi yang Pak Mahmud jumpai, aroma tak sedap campur aduk juga langsung menyeruak. Pak Mahmud yang tidak terbiasa dengan aroma seperti itu, langsung mual sekaligus pusing.
“Bapak ini bosnya Dewi, kan?” todong ibu Surmi bersama tangis anak kecil yang sangat berisik karena para orang tua juga turut cek-cok.
“Enggak bener ini. Dewi pasti enggak di sini,” batin pak Mahmud memilih pergi dari sana, bahkan meski ia belum menjawab pertanyaan ibu Surmi.
Sempat mempermasalahkan tanggapan pak Mahmud, ibu Surmi lebih tertarik kepada anak dan cucunya yang berebut makanan.
“Ya Allah kalian ini ya. Bukannya mulai mikir beres-beres apalagi mikir kerja,” berisik ibu Surmi.
“Ngapain pusing-pusing sih, Ma! Kita kan punya Pras dan istrinya yang kaya raya!” kecam Warti yang menang paling bengis dari semuanya.
Ibu Surmi langsung menggeleng tak habis pikir. Ia tak mau ambil pusing lagi karena biar bagaimanapun, ia memang masih memiliki Prasetyo maupun ibu Retno yang jauh lebih bisa diandalkan.
“Bahkan setelah ini, kami pasti bisa keluar dari kontrakan bu.suk ini. Setelah ini, kami akan tinggal di rumah gedong milik si Retno!” batin ibu Surmi yakin. Ia memutuskan untuk mengunci diri di kamar Dewi yang sampai detik ini masih sangat berantakan.
Padahal yang ibu Surmi andalkan malah sedang ribut. Ibu Retno mempermasalahkan segepok uang seratus ribu yang pernah wanita itu berikan kepada Prasetyo. Uang seratus ribu dan sebelumnya ibu Retno berikan kepada Prasetyo, sebelum akhirnya mereka di grebek.
“Gob.log banget kamu ya. Enggak ngotak! Bisa-bisanya, kamu ninggalin uang itu di mobil!” ucap ibu Retno terus saja melempari Prasetyo dengan apa pun yang bisa ia lempar. Padahal, wajah Prasetyo saja sudah babak belur dan itu karenanya.
“Apaan lagi sih? Memangnya apa salahku, kalau naruh uang itu di mobil. Kan emang itu mobil kamu. Lagian, kenapa kamu jadi sekasar ini sih?” marah Prasetyo sambil memegangi lebam bahkan luka berdarah di wajahnya. Ibu Retno benar-benar bar-bar. Tak terbayang olehnya jika ia terua dihaj.ar oleh ibu Retno. Yang ada, ia malah mati karena jadi korban KDRT istri barunya.
Di lain sisi ibu Retno tidak bisa menjelaskan, bahwa dirinya sudah tidak punya apa-apa. Itu juga yang menjadi penyebab kemarahannya ketika tahu ternyata uang yang menjadi satu-satu harapannya, malah Prasetyo tinggalkan di mobil.
“Tinggal diambil saja, apa yang harus dipermasalahin sih? Lagian kan, jarak hotel ini dengan rumah dekat, kenapa kita enggak pulang saja ke rumah?” ucap Prasetyo lagi.
“Haaaaarrrggg! Kamu itu enggak ngerti!” kesal ibu Retno tetap uring-uringan.
Tanggapan ibu Retno malah membuat Prasetyo makin pusing. Prasetyo merasa menyesal sudah menjadi suami ibu Retno dan malah jadi bahan tinju wanita itu.