Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersenyumlah, Itu Cantik
Setelah makan ramen malam itu, Jeff tak langsung mengajak Zizi pulang. Namun ia memilih menepi ke sebuah taman yang kebetulan sedang ada night market atau lebih familiar dengan sebutan pasar malam. Melihat suasana pasar malam, Zizi tak henti berbicara. Padahal mereka masih di dalam mobil yang berjalan.
“Kiri kiri mas, loske mas.” Ucap tukang parkir mengarahkan.
Setelah memarkirkan mobil dengan benar, Zizi langsung keluar pintu dan berlari meninggalkan Jeff. Ia begitu asyik menikmati suasana pasar malam yang amat ia rindukan.
“Mau naik wahana?”
“Engga ah malu, Zizi udah gedhe. Jalan-jalan aja.”
Mereka lalu masuk ke dalam pasar malam.
Melihat-lihat dan sesekali berhenti pada stand bazar. Langkah kaki Zizi terhenti kala melihat bianglala berputar penuh warna di tengah sana. Mencoba menahan langkah, namun kaki seperti memiliki magnet untuk mendekat. Ia menatap dengan dengan seksama bianglala yang berputar itu.
“Pak mau naik buat dua orang dewasa bisa?” tanya Jeff nyelonong di samping Zizi.
“Bisa mas, yok langsung naik, naik satu satu yok.”
Jeff menggenggam tangan Zizi dan menariknya untuk ikut menaiki bianglala. Mulutnya berkata tak ingin, namun lagi-lagi disadarkan oleh kakinya. Mereka memasuki satu sangkar untuk berdua.
“Udah gak usah bohong kalo loe suka. Hahaha.” Goda Jeff.
“Iih apaan, aku gak minta naik lho.”
“Tapi loe pengen kan? Gue tau dari sorot mata loe yang begitu berbinar melihatnya.” Jeff menatap wajahnya.
Zizi begitu beruntung mempunyai kakak seperti Jeff. Meskipun kakaknya cowok, namun selalu mengerti bahkan tanpa diterjemahkan. Jeff mampu memperlakukan Zizi dengan sangat baik. Mereka berdua pun menaiki wahana bianglala. Dari atas sana terlihat pemandangan dan lalu kita seperti sebuah gambar dalam foto. Indah tapi nyata.
Namun, wajah bahagia Zizi ternyata tak bertahan lama. Ia mulai mengerutkan wajahnya, membuang muka dan menghela nafas panjang. Begitu wahana tersebut berhenti dia turun dan melangkah tanpa bicara. Duduk di tepi lapangan dengan cahaya remang-remang dari wahana.
“Are you okay?” Jeff berlutut di depan Zizi yang tengah duduk tanpa bicara. “Ada yang mengganggu pikiran loe?”
“Aku benci sendiri.” Jawab Zizi singkat tanpa memandang Jeff. Angin malam menyapu kedua matanya hingga terdapat gumpalan air dipelupuknya.
“Why?” tanya Jeff lembut memegang lutut sang adik.
“Kenapa kebersamaan selalu tak bertahan lama? Apakah kalian bosan bareng sama aku? Apa gak cukup kalian ninggalin aku dari kecil?” bicaranya mulai bergetar.
“Hey? What are you talking about?”
“Aku rindu dengan orang-orang yang kusebut keluarga. Saat aku kecil, ayah-ibu sibuk bekerja, kakakku sibuk belajar. Sekarang pun, setelah aku dewasa keadaan tetap sama bahkan dipisahkan oleh kota dan negara. Aku semakin bertumbuh, tapi hidupku terasa sama saja.”
“How about me? Loe pikir gue beda? Engga. Gue sama loe itu sama. Bedanya.... gue gak cengeng kayak loe yang dikit-dikit nangis meratapi keadaan. Gue protektif ke loe selama ini karena apa? Karena gue sayang sama loe, gue tau kelemahan loe dan cuma loe yang tau baik buruknya gue. So, please jangan ngerasa loe paling menderita dalam cerita perjalanan kita.” Jawab Jeff terbawa emosi.
Air mata Zizi tumpah tak terbendung, diiringi isakan dalam tangisnya. Jeff berdiri dari tempatnya, mengusap gusar wajah dan kepalanya mencoba menenangkan jiwanya yang penuh dengan emosi. Ia bahkan tak pernah menduga kalimat itu keluar dari mulut sang adik. Adik yang ia kenal ceria, penuh dengan tawa telah menangis karenanya dua kali. Ia juga tak menampik bahwa dirinya turut emosi mendengar tuturan adiknya.
Bersikeras Jeff meredam amarahnya. Melihat sang adik menangis, ia merasa gagal menjadi seorang kakak. Tak ingin larut dalam ego terlalu lama, Jeff pun menghampiri adiknya dan memeluknya erat. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan itu, pelukan yang telah lama ia rindukan. Pelukan ternyaman yang ia punya, begitu sebaliknya.
“Menangislah. Menangislah sepuasmu.” Jeff mengeratkan pelukannya. Baju yang ia kenakan saat ini basah karena tangis Zizi yang semakin menjadi.
“Ganggu gue kapanpun loe mau. Gue janji bakal selalu ada buat loe.” Kali ini suaranya sedikit serak.
***
Di bandara.
“Baik-baik di sini. Ayah sama Ibu berangkat dulu.” Kata Ayah berpamitan.
“Kalo ada apa-apa jangan lupa kabarin ya sayang.” Ibu memeluk Zizi.
“Hati-hati Yah, Bu. Jeff juga pamit. Doain mudah-mudahan bisa selesai cepat kuliahnya biar bisa nemenin Zizi di sini. ” Jawab Jeff.
“Pasti, nak. Kamu juga hati-hati ya, jangan lupa kasih kabar.” Kata Ibu seraya memeluk Jeff.
Ayah dan Ibu pun memasuki bandara untuk check in dan segera terbang. Kini giliran Jeff yang menunggu jam terbangnya. Ia menghampiri Zizi yang terduduk di sana. Menatap adiknya dengan iba dan rasa bersalah. Ia berharap kuliahnya cepat selesai, sehingga dia bisa bersama adiknya lagi.
“Tersenyumlah, itu lebih cantik untuk wajahmu.” Kata Jeff mengacak puncak kepala Zizi.
Pesawat dengan penerbangan xxxx.....
“Berjanjilah untuk tidak menangis lagi, meskipun terpaksa menangis ingatlah.... Aku selalu ada untuk adik kecil.”
Jeff berdiri menarik kopernya untuk masuk ke dalam. Sebelum masuk ia pandangi setiap inci wajah adiknya. Ia tangkupkan tangannya di kedua pipi sang adik. Kemudian memeluknya erat. Tak terasa air mata jatuh di puncak kepala Zizi. Ia segera menghapusnya, agar adiknya tak mengetahui apa yang terjadi padanya.
“Jaga diri baik-baik. Teruslah mengganggu semau loe. Aku hanya kuliah, menrintis bisnis......dan membalas pesanmu.”
“Kabari kalau udah sampe.” Jawabnya lirih.
Panggilan petugas bandara terus saja terdengar, karena jam sudah menunjukkan waktu penerbangan. Ia memeluk adiknya sekali lagi. Kemudian Jeff bergegas masuk. Ia melihat adiknya yang masih menunggu dan mengisyaratkannya untuk tersenyum sebelum hilang dari pandangan.
Setelah kakaknya hilang dari pandangan, air matanya kembali tumpah. Ia memilih duduk di kursi tunggu, rasanya enggan sekali untuk kembali. Hari ini hari rabu, ada jam kuliah pagi dan siang Namun, ia tak mungkin pergi kuliah dalam keadaan acak-acakan seperti ini. Akhirnya ia memutuskan untuk izin.
[Selamat pagi, Pak. Hari ini saya izin gak masuk, ada keperluan keluarga.]
Ia kirimkan pesan itu pada kontaknya yang bernama Pak Bian. Berbohong sedikit, tak masalah kan? Ia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangan, berharap air matanya segera berhenti. Tak lama kemudian terdengar suara pesawat yang menggaung.
[Gue terbang dulu adik kecil. Nanti gue kabarin lagi. Ingat, senyum lebih cocok bertaut di wajahmu. 😊].
Senyum terbit dibibirnya kala membaca pesan dari Kak Jeff. Tetaplah seperti ini, menjadi Jeff yang selalu protektif. Begitu monolognya dalam hati. Tiba-tiba saja ada yang menyodorkan sebungkus tisu travel kepadanya. Lantas ia mendongak, mencari tau siapa pemilik tisu itu. Waktu bak terhenti saat itu juga, ketika kudua netra saling bertemu. Zizi kemudian mengalihkan pandangan seolah tak percaya. Mencoba menahan tangis yang tanpa permisi membasahi pipinya.
“Kau sudah terlalu lama menangis. Tersenyumlah, itu lebih cantik untuk wajahmu.” Mencoba meniru apa yang Jeff katakan untuk adiknya. Mata Zizi menatapnya tak percaya ketika Bian mengatakan hal yang sama dengan kakaknya beberapa waktu lalu.