Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 01 - Awal Petaka
Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekad mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Dasar kejam, apa mungkin hidupnya tidak pernah susah sampai begitu semena-mena?"
Memang benar kata orang, hari sial itu tidak ada di kalender, begitulah yang di alami Nadin. Seorang mahasiswi jurusan Psikologi semester empat yang tengah diuji kesabaran sejak beberapa bulan lalu. Tiga semester Nadin lalui dengan baik-baik saja, tiba di semester ini dia dipertemukan dosen paling tak bersahabat bahkan terkenal Killer di kampusnya, Zain Abraham.
Namanya bagus memang, begitu juga dengan tampangnya. Hanya saja, sifatnya tidak demikian karena hampir seluruh mahasiswa semester empat ke atas telah merasakan bagaimana sepak terjang dosen tak berperasaan tersebut.
Sejak awal Nadin sudah amat berhati-hati agar tidak bermasalah. Sebelum ini dia belum pernah telat, Nadin sampai rela tidak sarapan pagi demi bisa mengikuti kelas Zain tepat waktu.
Sialnya, tepat di hari ujian tengah semester nasib sial justru menghampiri Nadin. Setelah tadi malam dia sampai kelelahan menyelamatkan barang-barangnya yang hampir terendam akibat banjir di kosan, pagi ini dia kembali sial ternyata.
Padahal, Nadin sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk ujian tersebut. Namun, takdir berkata lain keesokan harinya. Jangankan diberikan kesempatan untuk ikut ujian, Nadin memohon masuk kelas saja tidak diizinkan hanya karena telat 27 detik.
Kejam, tak punya hati dan tidak berperikemanusiaan adalah tiga kata yang pantas disandang Zain. Dosen dengan ketampanan paripurna, tapi tidak ada baik-baiknya. Tidak peduli sesedih apa Nadin memohon tadi pagi, pintu kelas tetap tertutup dan dia tampak santai melanjutkan ujian walau salah-satu mahasiswinya menangis di luar kelas.
Sudah satu jam berlalu, dan selama itu pula Nadin menunggu demi kembali memohon kala Zain keluar nanti. Persetan dengan harga diri, Nadin sudah menyiapkan kata-kata untuk meluluhkan dosennya.
"Semua akan baik-baik saja, kita coba memohon sekali lagi." Nadin berusaha meyakinkan diri.
Dalam keadaan hati yang berdegub tak karu-karuan pintu kelas terbuka dan Nadin gelagapan dibuatnya. Belum apa-apa dia sudah gugup, telapak tangannya sampai dingin hingga semua kalimat yang dia tata sebelum ini hilang seketika.
Tajamnya tatapan Zain membuat gadis itu sejenak terpana. Pesona pria itu memang tak bisa ditolak, selalu saja berhasil membuat lawan bicaranya diam tanpa kata.
Kelamaan berpikir, Zain segera mengambil langkah untuk melewati Nadin dari sisi kanan. Seketika itu pula Nadin mengikuti langkah Zain dan berusaha merayunya agar luluh kali ini saja.
"Tidak!! Kamu tidak sebodoh itu untuk memahami bahasa manusia, jelas?"
"Ayolah, Pak, kostan saya banjir tadi malam jadi terpaksa tidurnya di kost teman saya dan kebetulan jauh jadi terlambat, tolonglah kasihani saya sekali saja ... Bapak tahu, 'kan kalau mempersulit hidup orang lain itu dos_ aduh kenapa jadi gini?" Nadin menepuk bibir kala sadar jika ucapannya mulai kemana-mana.
Berdasarkan rencana, sebenarnya bukan begitu kalimat yang sudah dia tata. Sebelum melihat Zain dia sampai hapal, tapi anehnya begitu di hadapan pria itu otak Nadin seketika beku dan kecerdasan yang dia miliki seolah tak ada artinya.
Berkat ucapan asalnya, Zain berhasil berhenti dan menatap ke arahnya sekilas. Bukan untuk berbaik hati, pria itu justru melontarkan sebuah perkataan yang sungguh menyebalkan di telinga Nadin.
"Simpan ceritamu, kebetulan saya tidak peduli."
Seketika itu juga Nadin terdiam, hatinya sempat tersayat mendengar ucapan Zain yang dengan tegas mengatakan jika tidak peduli. Sekali lagi, dia tetap memberanikan diri menatap punggung Zain yang mulai menjauh.
Harapannya pupus, entah harus bagaimana dia memohon pada dosen yang satu itu. Baru kali ini Nadin bingung hendak bagaimana menyelesaikan masalah.
Hendak berdiam diri juga percuma, Nadin tidak ingin bunuh diri karena jika usahanya berhenti maka bisa dipastikan nilai akhir yang nanti dia dapatkan adalah E. Mungkin bagi anak-anak lain hal semacam itu bukan masalah, mereka bisa mengulang kembali di tahun depan.
Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Nadin yang merupakan penerima beasiswa di kampus itu. Salah-satu syarat beasiswa itu bertahan adalah nilai, cacat satu saja maka tamatlah beasiswa Nadin.
Ditengah kebimbangan itu, seseorang menepuk pundaknya dan membisikkan sebuah saran yang bisa Nadin lakukan untuk menyelamatkan beasiswanya.
"Apa tidak terlalu berisiko, Han? Tahu sendiri pak Zain di kampus gimana?"
"Setidaknya dia tidak akan bisa menolak."
"Iya, tapi 'kan?"
"Mending coba dulu atau nilainya E? Mending cobain, 'kan? Udah sana ... nih alamatnya, dan aku rasa kamu bisa pergi sendiri, deket sini soalnya."
.
.
Sempat ragu di awal, pada akhirnya Nadin tetap mengikuti saran Jihan untuk mendatangi Zain ke apartemennya secara langsung saat pulang kuliah. Harap-harap cemas, Nadin hanya ingin semuanya segera selesai.
Cukup lama dia menunggu, sudah hampir empat jam jika Nadin ingat-ingat. Dia berdiri di depan pintu apartemen tanpa harapan, dia juga tak yakin dimana Zain berada. Yang jelas, dia sudah menekan bel berkali-kali, andai nanti pria itu merasa terganggu pasti keluar sendiri.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Nadin menunggu selama itu, jelas saja lapar dan juga dingin bersatu padu. Dua roti yang tadi ada di tasnya sama sekali tidak berhasil mengganjal perutnya.
Telanjur berjuang, Nadin tidak ingin pulang tanpa hasil. Dia tetap sabar menunggu hingga tepat jam sembilan, penantian Nadin terbayarkan dengan kepulangan Zain. Senyumnya terbit, tak bisa dipungkiri melihat pria itu mendekat ada secercah kebahagiaan di hati Nadin, padahal belum tentu juga dia akan luluh.
"Selamat malam, Pak Zain."
Semakin dekat, Nadin baru merasa jika dosennya terlihat aneh. Tidak ada Zain yang garang di sana, yang ada justru Zain dengan penuh kelembutan bahkan sampai berani menyentuh pipinya hingga membuat Nadin mundur seketika.
"Kenapa tidak bilang? Kan aku bisa jemput, Sayang," ucap Zain lembut seraya menatap Nadin penuh damba.
Sebuah tatapan mengerikan, matanya terlihat memerah dan aroma alkohol menguar ketika dia berbicara. Detik itu juga Nadin sadar jika Zain sedang dibawah pengaruh alkohol.
Dalam keadaan kalut, Nadin menepis tangan Zain secepatnya. Seketika, dia lupa tentang tujuan awal datang ke tempat ini. Satu-satunya keinginan Nadin sekarang ialah pergi dari hadapan Zain.
"Lepaskan saya, bapak jangan mace_"
"Shuut, jangan berteriak kepalaku sakit."
Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri, tapi tenaga Zain jauh lebih mendominasi dan berhasil membawa Nadin masuk dengan begitu mudah.
Tubuh Nadin yang begitu mungil dibanding Zain membuatnya seolah tak berdaya dan terhempas di atas sofa. Dosennya sangat amat berbeda dan tak lagi dia kenali, tatapan dan ucapan Zain begitu menakutkan bagi Nadin.
Matanya seketika membola dan semakin sadar jika kini tengah terancam ketika pria itu melempar jas seenaknya. Tidak ingin berakhir konyol, Nadin berusaha meraih tas yang jatuh di atas lantai.
Secepat kilat dia bangkit dari sofa dan mencari celah kala Zain sibuk sendiri membuka kancing kemejanya. Tidak pernah Nadin merasakan dunianya semenakutkan ini, terlebih lagi ketika gelak tawa Zain terdengar diiringi dengan derab langkah yang kian dekat saat dia berusaha menghubungi Jihan, sahabatnya.
"Ayolah angkat, Jih_aaaarrrggghh!!" pekik Nadin kala tangan kekar itu tiba-tiba melingkar di perutnya.
"Mau kemana? Kita bahkan belum memulainya."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"