Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²¹
Setelah menghabiskan waktu hampir setengah jam di warung ketoprak, siang itu Miranda mendapatkan semua yang dicarinya di area belakang bengkel mobil sederhana yang dipenuhi mobil-mobil bobrok yang sebagian body mobilnya sudah dipreteli. Sementara mobil mewahnya hanya dinaungi pohon jambu merah yang beberapa buah busuknya menjatuhinya dan menjadi hiasan tidak layak pandang.
Arik berkali-kali meminta maaf soal itu dan berjanji akan mencari tempat bengkel baru. Sayangnya Miranda tidak setuju dengan kebaikannya, mobil itu tidak ada artinya ketimbang keberadaan Arik sekarang, di sampingnya, di dalam mobilnya. Tanpa gangguan!
Sungguh upaya untuk membawa Arik bukan hal mudah dalam hal tak kasat mata. Berulangkali lelembut bermahkota tanduk berusaha mempengaruhinya dan menyerap energinya hingga dirinya memilih memindahkan sukmanya ke tubuh Mona.
Miranda tersenyum gelisah. “Aku jamin dari kemarin kamu gak tenang, Rik.” tukasnya sambil membuka dasbor mobil. “YSL, lipstik dari luar negeri.”
Arik menerima lipstik dengan wadah warna emas itu dari Miranda. “Kalau boleh nebak, ini gak ada hubungannya dengan apa yang mau Kak Mira ceritakan.” ucapnya sambil membuka lipstik itu. Warna yang sama dengan yang ada di bibir Miranda.
“Benar, nggak tenang sampai sekarang.”
“Mungkin sampai besok-besok juga.” sahut Miranda. “Aku orangnya gak suka basa-basi! Aku butuh kamu.”
Arik meletakkan lipstik itu di dekat rem tangan sebelum memandangi Miranda tanpa rasa sungkan. “Soal tadi, Kak?”
Miranda mengiyakan. “Aku lihat penjagamu marah kamu dekat-dekat aku sekarang!” Ada senyum yang tak sampai Miranda tunjukkan.
“Dia bilang sambil melotot galak, ora usah cerak-cerak putuku!” ( tidak perlu dekat-dekat cucuku! )
Arik sejatinya sudah menutup mata batinnya demi melanjutkan perjalanan hidup yang lebih stabil dan tenang dengan bantuan Mbah Buyutnya yang telah berusia 90 tahun lebih. Tapi kemarahan penjaganya itu mengisyaratkan kemungkinan buruk yang menghantuinya sejak kemarin.
“Itu Mbah Buyutku, Mbah Redjo.” Arik membuka mata. “Kenapa Mbah marah?”
“Wong wadon edan, bocah keparat! Adoh-adoh seko putuku!” ( Anak perempuan gila, anak keparat. Jauh-jauh dari cucuku! ) Miranda mendengus. “Galak banget sih, pasti sering di marahi ya kamu?”
Arik meringis. Sudah jadi makanan sehari-hari di marahi Mbah Redjo, tapi itu tandanya sayang. Dia yakin itu, dan marahnya Mbah Redjo sekarang padanya memancing keingintahuannya.
“Selalu ada alasan kenapa Mbah marah, Kak.” Arik menguatkan diri untuk bertanya lebih personal. “Kak Mira jahat kenapa?” ucapnya pelan, entah kenapa dadanya terasa sesak seolah tertekan oleh sesuatu yang tidak besar
“Sini deh tanganmu.” Miranda memiringkan tubuhnya seraya mengulurkan tangan kanannya.
Arik memandangi jari jemari lentik Miranda, jari itu menyiratkan berbagai kesan kegilaan yang tak terhitung lagi jumlahnya. Tapi secara mental, dia tidak yakin untuk menyerahkan tangannya.
“Ayolah. Atau aku akan menggunakan jabatanku untuk memaksamu?” desak Miranda. “Ini bakal seru...”
Setelah terkucilkan di sudut mobil, terutama napasnya makin sesak, Arik menggenggam tangan Miranda. Pandangan matanya seketika memutih, punggungnya melemah. Miranda membawa ruhnya pergi ke dalam dunia tanpa batas.
“Ikuti panggilku.” ucap Miranda.
Arik mendengar itu, tapi dirinya tidak memiliki satupun kesiapan untuk menghadapi pengalaman yang sangat asing di tempat yang terasa dingin dan gelap.
“Arik... Sini... Jangan takut, aku nggak bisa lama-lama!” Suara Miranda menggema di seisi ruang, betul-betul membimbing langkah-langkah gamang yang Arik lakukan ke sebuah gerbang rumah yang berhias lampu merah.
“Ini rumahku. Pakai akal sehatmu!”
Suara Miranda menghilang, genggaman tangannya melonggar. Wajah Arik di dalam dunia lain itu terlihat cemas ketika pintu rumah bercat merah terayun terbuka, menunjukkan lelembut mengerikan dan setan yang tinggal di sana.
Arik gemetar. Satu persatu kata yang terjalin tak mampu dia katakan, semua kejutan, dan ketegangan yang melimpah ruah di depannya membuatnya ingin pulang.
Aku mau keluar dari tempat ini, Kak! Mbah Redjo...
Arik melotot selagi ada energi yang menyeretnya ke dalam rumah, dan teriakan familier di tengah ruangan yang dikelilingi simbol pentagram membuatnya mengenali wanita yang terikat tali pusar berdarah-darah dilantai itu.
“Arik... Tolong aku...”
Keraguan-keraguan begitu kental membanjir pembuluh darah Arik. Suara Miranda begitu putus asa dan gambaran bagaimana masalah jika dia memutuskan meninggalkan warisan ilmu hitam itu menyayat hatinya sekaligus membuatnya bergidik ngeri.
Arik berdiri lama menatap mereka. Wajahnya membenci atas kebenaran yang Miranda tunjukkan, dan lebih buruk lagi dia juga terlibat.
Ada jeritan.
Miranda memalingkan pandangannya dari Arik sebelum kakinya terangkat ke atas, tubuhnya menggantung di udara, dicengkeram sosok tinggi tanpa busana yang diselubungi asap hitam, bertaring panjang, dan kulitnya bersisik. Dia mengayunkan tubuh Miranda sembari membuka mulutnya lebar-lebar seakan hendak...
“KAK MIRA!”
Miranda dan Arik sama-sama tersentak kaget sekembalinya dari dunia lain. Keringat bermunculan di kening mereka, napas keduanya tersengal-sengal. Tapi entah bagaimana Arik cepat-cepat ingin memperhatikan tangan Miranda yang begitu lemas di genggamannya.
“Kak...” Arik menekan keseluruhan jari Miranda, mekanisme yang kelihatan mudah, namun berarti bagi Miranda. Tekanan itu memberi rangsangan sensori pada kesadarannya yang merosot drastis.
“Hai...” Miranda bertemu mata Arik lalu tersenyum lemah. “Lepas gak? Kalo enggak Mbah Redjo tambah marah.” guraunya dengan lesu.
Warna wajah Arik menghilang, ditangannya ada tangan wanita yang hidungnya berdarah. Darahnya mengotori bibir dan bajunya.
Arik dan Miranda bertukar pandang. Di tengah rasa malunya, Miranda menarik tangannya untuk mengambil tisu dan membersihkan darahnya. “Aku baik-baik saja.”
“Tapi itu bohong!” sahut Arik. “Jujur, aku gak bisa melibatkan diri dalam urusan kakak itu! Risiko.” Dia memalingkan wajahnya. Tidak tega tapi tidak mau.
Miranda mengamati tisunya, merah pekat. Di ujung rongga hidungnya terasa perih, seperti penolakan Arik sekarang.
“Kalo gitu kita pulang sekarang, aku khawatir dengan helm tadi.”
Arik membuka pintu mobil, dia menarik napas sembari menunggu sang pemilik kegilaan keluar mobil.
‘Ojo neko-neko. Ojo sembrono!' ( Jangan aneh-aneh. Jangan gegabah ) Suara Mbah Redjo menggema di kepalanya. Arik mengangguk dan menoleh.
Miranda sudah keluar dari mobil. Dengan payah dia berjalan keluar dari area belakang bengkel mobil.
Arik berdecak kesal. Jika kebaikan masih ada di atas tanah, dia akan melakukannya dengan sebisanya. Seperti sekarang, dia menahan bobot tubuh Miranda yang hampir limbung ke samping.
“Butuh apa?” tanya Arik, tahu jika kesembuhan dari keistimewaan dan kegilaan yang dimiliki Miranda tak cukup hanya dengan istirahat. “Air doa, sajen?”
Miranda tersenyum lemah. Tidak suka sajen, tidak suka air doa. Semuanya muskil diterima.
“Aku butuh susu coklat dingin dan kamu sebentar.” Miranda pingsan beberapa detik kemudian.
-
Next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.