Rumah Kutukan Istri Pertama

Rumah Kutukan Istri Pertama

Rumah Kutukan Istri Pertama ¹

“Mama... Mama...”

Alita berlari mengejar bayang-bayang ibunya ke arah kolam renang yang berada di belakang rumah.

“Ma... Mama mau ke mana, kenapa mama lari-lari. Mama...” Alita berhenti sewaktu adzan Maghrib terdengar samar-samar dan bayang-bayang wanita berambut panjang dan berdaster rusak hilang dari pandangannya.

"Ma... mama..." Alita melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu di pinggir kolam renang. "Ma... mama... Mama ngumpet di mana?"

Alita bergeming ketika semilir angin berhembus, menggugurkan daun-daun tua pohon rambutan dan mangga yang tumbuh subur di belakang rumah orang tuanya yang berbatasan dengan sungai.

Semilir angin berlalu. Alita celingukan. Rasa penasaran tetap membawanya melangkah ke balik pepohonan tempat terakhir dia melihat bayang ibunya.

“Mama jangan bercanda dong. Papa bilang mama pergi kerja, mama sekarang mau kasih surprise aku ya...” seru Alita setelah melakukan pencarian ke balik pohon sambil berusaha mengagetkan jantung ibunya yang bernama Miranda Janita.

“Mama beneran mau main petak umpet? Alita takut, Ma. Di sini gelap. Alita juga kangen tau sama mama. Alita ngalah deh, Papa bilang mama—”

Langkah Alita terhenti ketika sebuah mangga jatuh ke kolam dan itu mengagetkannya.

Alita mendongak, rintik-rintik hujan silih berganti berjatuhan dari tebalnya awan gelap yang menggantung di langit.

“Mama mau bikin kejutan buat aku?”

Suasana belakang rumah yang nyaris tidak sepi oleh suara alam dan hewan-hewan malam membuat Alita melangkah dengan ragu-ragu ke arah tumpukan batu-bata baru yang berada di dekat tanggul sungai.

“Mama..."

Belum selesai rasa penasarannya. Suara petir dan gemuruh menggelegar. Alita berlutut sambil menutup kedua kupingnya.

“Mama... Alita takut. Mama...” Tubuh Alita bergetar hebat sampai puncak dari rasa takutnya, dia menangis.

-

Di lain tempat. Dari dalam rumah besar bercat putih, bibi Darmi tergesa-gesa mencari Alita sambil memanggil namanya berulang kali sejak dia menuruni anak tangga.

“Lita ... Nona Alita. Ya Allah Gusti, kamu di mana, Nduk!” Bibi Darmi bingung, pasalnya, wanita paruh baya dengan daster batik dan berjalan tanpa alas kaki itu tadi hanya meninggalkan Alita untuk mengambil semprotan obat nyamuk di dekat dapur.

"Kenapa kamu cepat banget ngilang dari ruang keluarga, Nduk? Kamu itu ke mana toh..."

Bibi Darmi meraih payung dari dalam jambangan di dekat pintu utama seraya menghidupkan seluruh lampu luar.

Setelah mengucapkan kalimat basmallah, bibi Darmi keluar rumah di bawah hujan deras.

Bibi Darmi pergi ke warung yang berada di depan gerbang rumah, menanyakan keberadaan Alita karena dipikirannya paling gampang Alita pergi jajan. Tapi tidak ada yang melihat Alita keluar dari pintu gerbang. Bapak di warung itu bilang, tidak ada orang yang berlalu lalang sewaktu Maghrib datang, terutama keadaan dan minimnya penerangan jalan di kawasan itu masih terbilang jarang.

Bibi Darmi mengangguk dan langsung mengingat pintu gerbang masih terkunci rapat sebelum ia keluar tadi. Bibi Darmi pun kembali pulang untuk mencari Alita di dalam rumah dengan pikiran yang kian cemas ketika petir datang silih berganti.

“Apa non Alita pergi ke belakang rumah?” Kelopak mata Bibi Darmi membeliak seolah-olah dia telah menemukan petunjuk dan tidak habis pikir mengapa Alita berani pergi ke belakang rumah seorang diri sewaktu Maghrib.

“Gusti, Pak Gio bisa marah-marah ke bibi ini kalo non Alita hilang!" Kecemasan bibi ini Darmi meningkat, terlebih bocah seusianya masih rawan di gondol wewe gombel yang disinyalir sering berada di sekitar sungai.

Bibi Darmi menyusuri jalan sempit berlumpur di samping rumah dengan hati-hati.

“NONA ALITA!” teriak Bibi Darmi tak jauh dari kolam renang.

Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu selain mereka berdua setelah Giorgio pamit ke Bali untuk melakukan kunjungan kerja.

“Nona Alita, Ya Allah Gusti. Petunjuk-Mu. La Maujuda Illallah.”

DUAR!!!

Alita menjerit keras.

Sekonyong-konyong Bibi Darmi menolah ke arah pepohonan. Matanya menyipit, berusaha menebus guyuran hujan dan kegelapan dengan kondisi matanya yang minus.

“NON... NON ALITA...” teriaknya sebisa mungkin.

Bocah yang meringkuk ketakutan itu kaget. Wajahnya yang semula tegang mendadak berselimut lega.

“Bibi.” sahut Alita dengan suara parau yang nyaris tak mungkin sampai ke kuping tua Bibi Darmi.

“Non... Nona... Apa nona di sana?” panggil Bibi Darmi sembari melangkah, dan dalam langkahnya yang cekatan Bibi Darmi menyadari sebuah unsur X yang mengelilinginya.

“Non, ini Bibi Darmi. Nona Alita bisa berdiri?”

Dalam keadaan ketakutan, Alita merangkak ke arah Bibi Darmi dengan sisa tenaganya.

“Bi... bibi... Alita—”

Bibi Darmi mengerjapkan mata sambil memastikan apa yang dilihatnya tidak salah. Sepasang kaki pucat dengan kulit mengelupas yang bercampur darah dan tanah menggantung di atas tubuh Alita.

Bibi Darmi tidak berani menatap semakin ke atas, dia memilih menghampiri Alita dan menarik bocah itu menjauh dengan gerakan cepat.

“Wakul robbi a'uudzubika min hamazaatisy-syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun.” ucap Bibi Darmi berulangkali sambil terseok-seok ke arah rumah.

“Ya Allah...” Bibi Darmi menoleh ke belakang, memastikan sosok itu tidak mengikuti sebelum menutup pintu rumah. “Apa yang aku lihat tadi semoga salah!”

Bibi Darmi bersimpuh untuk membalas pelukan Alita yang menggigil ketakutan dan kedinginan.

“Baca takbir, Nduk. Baca takbir.” Bibi Darmi mengingatkan dengan suara tersengal-sengal.

Alih-alih melakukannya, Alita justru semakin menangis ketakutan ketika suara bel rumah berbunyi.

Alita dan Bibi Darmi saling bertatapan. Merasakan suatu yang sama tanpa menjelaskannya.

Alita menggeleng kuat-kuat. “Jangan di buka, Bibi. Jangan... Alita takut!”

Bibi Darmi kali ini setuju. Tak peduli siapapun yang berkunjung sekarang dirinya terlalu lelah dan takut untuk membukanya.

Ting tong... Ting tong...

Alita mengguncang lengan bibi Darmi.

“Alita mau Papa yang pulang, Bi. Telepon Papa sekarang. Alita takut.” ucap Alita dengan suara bergetar.

Bibi Darmi mengusap air matanya sambil mengangguk. Tertatih-tatih dia mengajak Alita ke kamarnya yang berada di dekat dapur untuk mengambil ponsel.

Bibi Darmi mendorong pintu. Sial, matanya menangkap jejak kaki basah yang mengarah ke kasur sebelum dua pasang mata itu langsung memandangi sesosok wanita sedang menyisir rambut di dekat jendela.

Dengan cekatan Bibi Darmi menutup pintunya seraya menarik Alita ke arah pintu utama beriringan dengan suara bel rumah yang terus berbunyi. Cepat-cepat dengan tangan gemetar ia menarik daun pintu sambil berharap bukan lagi sosok itu yang hadir di depan mata.

“Papa... Papa...” Alita melepas tangannya dari Bibi Darmi dan menubruk tubuh Giorgio.

Lelaki berusia empat puluhan itu mengernyit heran. “Kenapa kalian basah kuyup begini? Ada apa?”

Alita mendongak. “Mama, Pa. Aku lihat mama jadi hantu. Mama jadi hantu!”

-

-next & happy scary-

Terpopuler

Comments

novita setya

novita setya

mocone awan pas 12an..nek bengi medeniii 😄

2024-08-04

0

anonim

anonim

hiiiiii.... s e r e m....

2024-07-20

0

choowie

choowie

aku mampir mbak.vie
..part awal aza udah bikin aku deg"an😬

2024-07-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!