Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan tinggal bersama
Tama dan Freya adalah pasangan yang begitu saling mencintai. Hidup mereka terasa sempurna sejak mereka memutuskan untuk bersama, meskipun banyak rintangan yang mereka hadapi. Setiap hari bersama terasa seperti petualangan baru yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Suatu malam, setelah hari yang panjang dan melelahkan, Tama dan Freya memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah. Mereka memilih untuk memasak bersama di dapur apartemen yang kecil namun nyaman. Freya mengaduk saus di panci, sementara Tama sibuk memotong sayuran dengan teliti. Keduanya bercanda, saling menggoda, dan tertawa sepanjang malam. Setiap gerakan mereka seolah-olah diiringi oleh tarian yang tak terlihat. Mereka bekerja sama dengan begitu sinkron, menciptakan harmoni yang terasa begitu alami.
"Sayang, coba cicipin sausnya. Menurutmu kurang apa?" Freya menyodorkan sendok kecil kepada Tama, matanya berbinar menunggu tanggapan dari laki-laki yang begitu ia cintai.
Tama mencicipi saus itu dengan penuh keseriusan, lalu tersenyum. "Kurang satu hal," katanya dengan nada menggoda.
"Apa?" Freya mengerutkan kening, penasaran.
Tama mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Freya dengan lembut. "Kurang ciuman dari kamu," jawabnya sambil tertawa kecil.
Freya tertawa dan mendorong Tama dengan lembut. "Kamu selalu saja punya cara buat bikin suasana jadi manis."
Setelah makanan selesai, mereka menyantap hasil masakan itu di ruang tamu dengan lilin yang mereka nyalakan sebagai penerang, memberikan suasana yang romantis. Makanan sederhana itu terasa begitu istimewa karena dimasak dengan cinta dan dinikmati dengan kebahagiaan yang tulus.
Malam semakin larut, dan suasana mulai berubah menjadi lebih intim. Setelah makan malam, mereka berdua pindah ke sofa, saling berpelukan erat. Tama menatap dalam ke mata Freya, merasakan kedamaian yang luar biasa hanya dengan melihat senyum lembutnya. Tangan Tama menyelip ke rambut Freya, jemarinya memainkan helai-helai rambut itu dengan lembut.
"Kamu tahu, Freya, aku nggak pernah merasa sebahagia ini," kata Tama pelan, suaranya dalam dan penuh kasih.
Freya tersenyum, jantungnya berdetak cepat mendengar kata-kata itu. "Aku juga, Tama. Kamu segalanya buat aku."
Tanpa banyak kata lagi, Tama menarik Freya lebih dekat, dan bibir mereka bersatu dalam ciuman yang penuh gairah. Ciuman yang awalnya lembut itu perlahan berubah menjadi lebih intens, seolah-olah keduanya tak ingin kehilangan momen ini. Tubuh mereka bergerak semakin dekat, merasakan setiap sentuhan yang menghangatkan hati.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama dengan cara yang sangat romantis dan intim. Mereka menikmati setiap detik yang mereka miliki, seolah-olah dunia di luar apartemen mereka tidak ada. Hanya ada mereka berdua, di dalam dunia kecil yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kamar tidur menjadi saksi kehangatan malam itu, di mana mereka saling berbagi cinta dan keintiman tanpa ada rasa ragu atau takut. Malam yang penuh gairah dan cinta mengalir dengan begitu alami, membuat keduanya semakin yakin bahwa mereka telah menemukan satu sama lain sebagai belahan jiwa.
Ketika pagi datang, sinar matahari lembut menembus tirai jendela, menyinari wajah mereka yang masih berbaring di tempat tidur. Freya terbangun dengan kepala bersandar di dada Tama, mendengarkan detak jantungnya yang tenang. Tama, yang juga baru terjaga, menatap Freya dengan senyum lembut.
"Hari ini terasa sempurna, dan aku yakin besok juga akan sama selama kita tetap bersama," bisik Tama.
Freya hanya bisa tersenyum, merasa bahwa hidupnya begitu lengkap dengan kehadiran Tama di sisinya. Setiap hari bersama Tama adalah keajaiban yang terus membuatnya jatuh cinta lebih dalam.
"Freya," ucap Tama perlahan, menarik perhatian Freya yang masih mengantuk. "Aku udah lama mau ngomong ini ke kamu, tapi belum ada waktu yang tepat. Sekarang, aku rasa ini saatnya."
Freya menatap Tama, mengerutkan kening karena penasaran. "Apa, Sayang? Kamu kelihatan serius banget."
Tama menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku ingin kamu pindah ke apartemenku. Kita bisa tinggal bareng. Kamu tahu, nggak ada yang lebih aku inginkan selain bangun setiap hari dan melihat kamu di sebelahku."
Freya terdiam sejenak. Tawaran itu tentu menggugah hatinya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ragu. Dia mencintai Tama dengan sepenuh hati, tapi ada sisi dari dirinya yang merasa perlu untuk menjaga batas tertentu.
"Tapi ..." Freya menggigit bibir bawahnya, mencari kata-kata yang tepat.
"Bukan aku nggak mau, aku juga ingin tinggal bareng kamu, tapi… aku nggak mau mengganggu privasi kamu. Apartemen kamu adalah tempat kamu sendiri, ruang kamu. Aku nggak ingin mendesak atau membuat kamu merasa terikat lebih dari yang kamu siap untuk hadapi."
Tama tersenyum tipis, meraih tangan Freya dan menggenggamnya erat. "Sayang, kamu nggak akan pernah ganggu privasi aku. Kalau aku minta kamu tinggal sama aku, itu karena aku udah siap untuk membagi hidupku sama kamu. Aku nggak merasa terikat, aku justru merasa lengkap kalau kita ada di satu tempat yang sama."
Freya memandangnya dengan mata yang mulai berair. Dia tahu betapa seriusnya Tama tentang hal ini, dan betapa dalam perasaan laki-laki itu terhadapnya. Namun, Freya selalu menghargai ruang pribadi. Dia tak ingin menumpang terlalu jauh di kehidupan seseorang, bahkan Tama, yang sangat dicintainya.
"Aku cuma takut kita akan kehilangan batas-batas yang selama ini kita jaga. Kadang aku pikir, mungkin lebih baik kita tetap punya ruang masing-masing supaya hubungan ini nggak jadi terlalu ... terbebani," ucap Freya dengan hati-hati. "Aku ingin kita tetap bisa menikmati kebersamaan ini tanpa ada tekanan."
Tama menggeleng pelan. "Freya, kebersamaan kita nggak akan pernah jadi beban buat aku. Malah, aku semakin yakin kalau kita harus mulai memikirkan hidup bersama. Kita udah tahu semua kebiasaan buruk satu sama lain, dan kita masih saling mencintai. Apa lagi yang perlu kita buktikan?"
Freya tersenyum, merasakan hangatnya cinta Tama, tapi dia masih ragu. "Aku nggak mau terburu-buru, Tama. Mungkin ini lebih ke soal aku yang butuh waktu untuk benar-benar yakin. Bukan soal cintaku ke kamu, tapi lebih ke gimana aku menjaga keseimbangan dalam hubungan ini."
Tama mengerti. Dia tahu Freya bukan menolak karena tak mencintainya, tetapi karena Freya sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan besar. Dengan lembut, dia menatap mata Freya yang penuh kebingungan dan ketakutan.
"Freya, nggak ada yang perlu kita buru-buru. Aku cuma ingin kamu tahu kalau kapanpun kamu siap, pintu apartemenku, dan hidupku, selalu terbuka buat kamu. Aku akan menunggu sampai kamu merasa nyaman untuk mengambil langkah ini. Karena buat aku, yang penting adalah kita bersama, nggak peduli di mana atau bagaimana caranya."
Freya terdiam sejenak, merasa sangat dihargai oleh Tama. Meskipun Tama sangat menginginkan mereka tinggal bersama, dia tetap memberikan ruang untuknya mengambil keputusan. Freya merasa hangat di hatinya, mengetahui bahwa cinta Tama adalah sesuatu yang tulus dan penuh pengertian.
"Terima kasih, Sayang,” kata Freya dengan senyum lembut. " "Aku janji akan mempertimbangkan itu, dan ketika aku siap, kamu akan jadi orang pertama yang tahu."
Tama mencium kening Freya, lalu menariknya lebih dekat. "Aku akan menunggu kapanpun kamu siap, Freya. Karena kamu yang terpenting buat aku."
Mereka berdua berpelukan erat di bawah sinar matahari pagi, menikmati keheningan yang indah dan penuh cinta. Meski keputusan besar masih menggantung di antara mereka, cinta dan pengertian yang mereka miliki satu sama lain membuat segalanya terasa lebih mudah untuk dihadapi.