Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penyihir dan harapan
Setelah beberapa waktu menyusuri lorong gua yang gelap, cahaya samar mulai terlihat di ujung terowongan
. Hiroshi menguatkan diri, meskipun tubuhnya bergetar karena rasa sakit dan pendarahan yang terus mengalir. Seraphine berada di sampingnya, menggenggam tangannya erat seakan takut kehilangan lagi.
Mereka akhirnya keluar dari gua, dan di depan mereka, tersembunyi di balik semak-semak, Aira dan Elfina menunggu dengan cemas.
“Akhirnya!” Aira berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kelegaan sekaligus kecemasan. “Kami pikir kalian tidak akan keluar lagi!”
Elfina, yang selalu tenang, tampak berbeda kali ini. Raut wajahnya berubah menjadi haru, matanya sedikit memerah. “Hiroshi… Seraphine…” Suaranya bergetar, sesuatu yang jarang terjadi pada elf itu.
Seraphine yang melihat kedua orang ini, tak mampu menahan tangis lagi. Dia langsung berlari ke pelukan Aira dan Elfina, memeluk mereka erat.
“Aku pikir aku kehilangan dia… Aku takut sekali…” Tangisnya pecah, air mata mengalir deras, membuat Aira dan Elfina merasakan kesedihan yang sama.
Aira membelai lembut rambut Seraphine, sementara Elfina menepuk pundaknya dengan penuh simpati. "Kau aman sekarang," kata Elfina pelan, menenangkan.
Hiroshi yang berdiri tak jauh dari mereka, meski tubuhnya masih penuh luka, tidak ingin menunjukkan kelemahan. Ia tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan sakit yang dirasakannya. Namun langkahnya limbung. Pendarahan di perutnya semakin parah. Meski berusaha terlihat kuat, tubuhnya akhirnya bergetar hebat.
“A-aku baik-baik saja…” kata Hiroshi pelan, sebelum akhirnya lututnya menyerah, dan dia jatuh ke tanah.
"Hiroshi!" Aira dan Elfina berteriak serempak. Mereka langsung berlari ke arahnya.
Seraphine berlutut di sebelah Hiroshi, air matanya kembali tumpah. "Tidak… jangan mati sekarang… kamu sudah berjuang sejauh ini!"
Wajah Hiroshi pucat, bibirnya sedikit bergetar ketika ia mencoba bicara. "Aku… masih bisa berjalan… hanya perlu sedikit waktu untuk pulih," katanya dengan suara lemah, meski jelas tubuhnya dalam kondisi kritis.
Elfina segera memeriksa luka Hiroshi, wajahnya berubah serius. “Kita harus segera mencari tempat perlindungan. Luka-lukanya terlalu parah untuk dibiarkan.”
Aira menggigit bibirnya, lalu menatap Seraphine dengan mata penuh tekad. "Kita akan menyelamatkannya, Seraphine. Jangan khawatir, dia akan selamat." Meski ada keyakinan dalam suaranya, ada juga ketakutan yang tak bisa disembunyikan di matanya.
Di bawah cahaya bulan yang redup, Hiroshi menatap langit. Rasa lelah mulai membanjiri dirinya, namun dalam setiap detik kesadarannya, ia melihat wajah-wajah cemas di sekelilingnya.
Meskipun tubuhnya terasa berat dan sakit luar biasa, dia berusaha tetap membuka matanya, melihat orang-orang yang kini menjadi bagian dari kehidupannya di dunia ini.
Seraphine menggenggam tangannya erat. Wajahnya yang penuh dengan air mata kini tampak penuh dengan harapan, meski hatinya masih dipenuhi ketakutan.
"Kau harus bertahan, Hiroshi... Kumohon, bertahanlah."
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Hiroshi tersenyum samar, walau lelah tampak jelas di wajahnya. "Aku... tidak akan pergi ke mana-mana. Aku berjanji."
Di tengah keharuan itu, Aira dan Elfina segera bertindak. Mereka harus cepat bergerak. Dunia di sekitar mereka masih penuh dengan bahaya yang tidak dapat diprediksi.
____
saat mereka berjuang untuk menyelamatkan Hiroshi, dari arah hutan, sosok lain muncul dengan tergesa-gesa.
Calista, berlari dengan langkah cepat, wajahnya penuh tekad dan kecemasan. Ketika dia melihat Hiroshi yang terbaring tak berdaya, detak jantungnya berdebar cepat.
“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara tegas, namun ada getaran halus yang menunjukkan betapa khawatirnya dia. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung mendekati Hiroshi.
“Dia terluka parah, Calista!” Elfina menjelaskan, napasnya terengah-engah, wajahnya memucat. “Kami tidak tahu seberapa dalam lukanya, tapi dia… dia sudah pingsan!”
Mata Calista melebar, kepanikan muncul di wajahnya, tetapi dia segera mengendalikan dirinya. Dia melangkah maju, dengan tangan bergetar, menempatkan telapak tangannya di atas luka-luka Hiroshi.
“Jangan khawatir, aku akan membawanya kembali,” ujarnya dengan keyakinan yang berusaha dipancarkan meskipun hatinya terasa berat.
Dia mengangkat tangan dan mengucapkan mantra penyembuhan kuno dengan suara yang penuh kepercayaan, namun ada keraguan yang mengintai.
“Naur, i ngurth, i erthad!” (Api, pelindungku, sembuhkan luka ini!)
Cahaya lembut menyelimuti Hiroshi, namun saat sihir mulai bekerja, aura gelap yang melingkupi luka-lukanya melawan. Rasa sakit di wajah Hiroshi tak terlukiskan, bibirnya bergetar, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
“Dia tidak boleh pergi… Dia harus kembali,” Seraphine berbisik, suaranya gemetar, air mata menetes di pipinya. Wajahnya dipenuhi kecemasan, matanya yang biasanya cerah kini redup.
Calista terus berusaha, tetapi setiap kali dia menyentuh luka Hiroshi, aura gelap itu berontak, seakan mencengkeram sihirnya dengan tangan-tangan tak terlihat. Dia terhuyung sedikit, napasnya tersengal.
“Bertahanlah, Hiroshi,” teriaknya, suaranya penuh tekanan. Wajahnya berkerut, setiap ototnya tegang saat dia merasakan perlawanan yang kuat dari aura itu.
Mata Calista terfokus pada Hiroshi, sementara dia berjuang untuk tidak terpuruk dalam rasa putus asa.
“Tidak, aku tidak akan membiarkan ini terjadi,” bisiknya dengan berani, menyembunyikan ketakutan yang menyelubungi hatinya.
Dengan tangan yang bergetar, dia mengangkat tongkatnya lebih tinggi, siap untuk mengeluarkan kekuatan yang lebih besar.
“Amin, naur, i elenion!” (Ya, api, pancarkan bintang-bintang!) Dia mengucapkan mantra dengan lebih kuat, menyalurkan seluruh energi yang dimilikinya.
Cahaya terang menyelimuti tubuh Hiroshi, sinar yang semakin intens menembus kegelapan yang mengelilinginya.
Dan dalam saat-saat menegangkan itu, Calista melihat wajah Hiroshi yang berjuang, lipatan kesakitan dan harapan yang campur aduk. Dia mengingat semua yang telah Hiroshi lakukan untuk mereka, dan hatinya tergerak.
“Bertahan, Hiroshi! Kami di sini bersamamu!”
serunya dengan penuh semangat, suara itu seolah membangkitkan harapan dalam kegelapan. Seraphine, Elfina, dan Aira, semuanya bergabung dalam doa, suara mereka bergema, menyatukan kekuatan mereka untuk melawan kegelapan yang mengancam.
Momen itu penuh dengan ketegangan, saat kehadiran mereka bersatu, memberikan kekuatan kepada Calista untuk terus melawan.
_____
Setelah Hiroshi terbaring tak berdaya, Elfina, Aira, dan Seraphine, yang masih berusia muda, merasakan kekhawatiran yang mendalam.
Mereka terlihat bingung dan ketakutan, tidak mengerti sepenuhnya apa yang telah terjadi. Dalam keadaan cemas, mereka dibawa oleh pengawal kerajaan ke markas keamanan untuk dijauhkan dari bahaya yang lebih besar.
Di dalam perjalanan, Aira, yang berusia 12 tahun, terus menggenggam tangan Elfina, sementara Seraphine, yang lebih tua satu tahun, menatap lurus ke depan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya
. “Apa yang akan terjadi padanya?” tanya Aira dengan suara bergetar. Wajahnya tampak pucat, menggambarkan perasaan cemas yang menghantuinya.
“Tidak tahu… Aku harap dia baik-baik saja,” jawab Elfina, matanya mulai berkaca-kaca. “Dia pasti akan baik-baik saja, kan?”
Seraphine berusaha menenangkan teman-temannya, meski dia juga merasa cemas.
“Kita harus percaya pada siapa pun yang datang membantu. Mungkin mereka bisa menyelamatkannya.”
Sementara itu, di rumah Calista, suasana menjadi semakin menegangkan. Calista, penyihir terkuat kerajaan, merasakan tanggung jawab besar untuk menyelamatkan Hiroshi.
Dia berdiri di samping Hiroshi yang terbaring tak berdaya, wajahnya menunjukkan ketegangan yang mendalam. Setiap luka yang dia sentuh mengandung aura gelap, seolah-olah tangan gurita berusaha mencengkeram jiwa Hiroshi.
“Aku tidak akan membiarkan kegelapan ini mengambilmu,” bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan getaran di dalam hatinya. Dia memfokuskan energi sihirnya dan mulai mengucapkan mantra penyembuhan kuno.
“Naur, i ngurth, i erthad!” (Api, pelindungku, sembuhkan luka ini!) Cahaya lembut menyelimuti tubuh Hiroshi, tetapi aura gelap itu tampak lebih kuat, seolah-olah menolak untuk menghilang.
“Bertahanlah, Hiroshi!” Calista berteriak, merasakan tekanan dari aura gelap yang melawan sihirnya. Dia mengangkat tongkatnya lebih tinggi, bersiap untuk mengeluarkan kekuatan yang lebih besar.
“Amin, naur, i elenion!” (Ya, api, pancarkan bintang-bintang!) Dia mengucapkan mantra dengan lebih kuat, memfokuskan semua energinya ke dalam satu serangan. Cahaya yang lebih terang menyelimuti tubuh Hiroshi, dan saat itu, harapan menyelimuti ruangan.
Namun, aura gelap itu tetap bersikeras, menolak untuk menghilang. Calista tahu bahwa penyembuhan ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak mau menyerah. Dalam hatinya, dia merasakan ketegangan dan ketakutan, tetapi dia tetap bertekad.
Sementara itu, Elfina, Aira, dan Seraphine yang telah sampai di markas keamanan terus bertanya tentang kondisi Hiroshi. Mereka tidak mengetahui siapa Calista atau apa yang dia lakukan, tetapi mereka merasakan cinta dan kepedulian yang mendalam untuk Hiroshi.
“Dia harus selamat!” seru Elfina, matanya bersinar penuh harapan. “Kita tidak bisa kehilangan dia!”
Seraphine menggenggam tangan Aira, berusaha menenangkan dirinya.
“Kita harus percaya pada mereka yang merawatnya. Mereka pasti tahu apa yang mereka lakukan.”
Di dalam rumah Calista, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, dia terus berusaha. Setiap mantra yang dia ucapkan mengeluarkan cahaya, tetapi dia merasakan kegelapan berusaha merenggut jiwa Hiroshi.
Hiroshi, di ambang kesadaran, merasakan kehangatan dan harapan yang berusaha menjangkau dirinya.
Dalam kegelapan, suara-suara Calista dan harapan teman-temannya bergetar dalam jiwanya, memotivasinya untuk berjuang kembali.
“Mereka… tidak akan membiarkanku pergi,” pikirnya, bertekad untuk tidak menyerah, menyadari bahwa pertempuran ini adalah untuk dirinya dan untuk semua orang yang peduli padanya.