Rasa bersalah karena sang adik membuat seorang pria kehilangan penglihatan, Airi rela menikahi pria buta tersebut dan menjadi mata untuknya. Menjalani hari yang tidak mudah karena pernikahan tersebut tak didasari oleh cinta.
Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri, karena bagiku, kau hanya mata pengganti disaat aku buta - White.
Andai saja bisa, aku rela memberikan mataku untukmu - Airi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Bertepatan dengan Airi membuka pintu, White merasakan kenikmatan sekaligus lega yang luar biasa. Nafasnya tampak tersengal dan matanya terpejam, menikmati sisa sisa pelepasannya. Dia bahkan tak tahu jika Airi sudah masuk karena memang, Airi membuka pintu dengan sangat pelan.
Airi syok melihat pemandangan didepan matanya. Dia bukan orang bodoh yang tak tahu apa yang barusan dilakukan suaminya. Dada Airi terasa sesak, dan matanya berkaca kaca. Tanpa berkata apapun, dia keluar dari kamar mandi.
Sementara White terdengar sedang mandi, Airi meringkuk diatas ranjang sambil menangis. Istri mana yang tak sakit hati saat sang suami lebih memilih menuntaskan hasratnya sendirian dari pada bersamanya.
Ingat, kau hanya mata bagiku disaat aku buta. Jadi jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu sebagai istri.
Kalimat yang diucapkan White saat malam pertama dulu, kembali terngiang dikepala Airi. Dulu terdengar biasa saja, dia sama sekali tak sakit hati, tapi hari ini, kenapa dadanya terasa sakit.
Harusnya aku sadar, aku hanya mata pengganti disaat dia buta, bukan istri dimatanya.
Saat hendak keluar dari kamar mandi, White terkejut mendapati pintu yang terbuka. Bukankah tadi sudah dia tutup? Jangan-jangan, tadi Airi masuk dan melihatnya sedang melakukan penuntasan hasrat sendirian. Kalau itu benar, memalukan sekali.
"Ai."
Melihat White sudah keluar dari kamar mandi, Airi buru-buru menyeka air mata. "Abang udah selesai mandi? Tunggu sebentar, Ai ambilkan pakaian." Dia turun dari ranjang lalu mengambilkan pakaian untuk White.
White merasa ada yang aneh. Kenapa Airi seperti biasa saja. Kenapa dia tak marah melihatnya mandi, karena itu artinya, sia-sia masker yang baru saja dipakaikan Airi. Harusnya wanita itu mengomelinya, tapi kenapa tidak?
"Bajunya diatas ranjang." Airi menarik lengan White agar menyentuh baju tersebut dan tahu dimana tempatnya. "Abang ganti baju dulu, aku mau kedapur." Airi pergi setelah itu.
Setelah mendengar suara pintu kamar ditutup kembali, White duduk diatas ranjang.
Apakah tadi dia masuk ke kamar mandi dan melihatku melakukan...Astaga, apa yang ada dipikirannya tentangku jika benar-benar dia melihat.
Selesai ganti baju, White keluar dari kamar. Mendengar suara wajan yang beradu dengan spatula serta mencium aroma yang harum, dia langsung menuju dapur.
"Ai."
Mendengar suara White memanggiil, Airi langsung membalikkan badan. Dia terkejut melihat White yang ternyata sudah ada didapur. Dia mematikan kompor lalu menghampiri White, menarikkan kursi dan membantunya untuk duduk disana.
"Abang duduk dulu, bentar lagi selesai." Airi memang hanya menggoreng telur dan memanaskan sisa masakan tadi pagi.
Jika biasanya Airi akan banyak bicara, mengatakan pada White apa yang sedang dia lakukan, kali ini dia hanya diam. White jadi makin yakin, Airi sedang memikirkan sesuatu.
Selesai menata semua makanan diatas meja, Airi mengambilkan White makanan lalu mereka makan bersama. Lagi-lagi, Airi hanya diam.
"Ai, emmm....yang tadi."
"Yang tadi?"
Airi mengeratkan pegangannya pada sendok. Apakah White tahu tadi dia masuk ke kamar mandi? Perasaannya jadi tak karuan. Apakah dia akan marah padanya?
"Aku tadi kegerahan, jadinya mandi. Maaf, kamu jadi sia sia makein aku masker."
Airi bernafas lega, jadi urusan masker. "Sudahlah Bang, gak usah dipikirin."
"Kamu marah sama aku, Ai?"
"Mana mungkin aku bisa marah sama Abang."
Tak ada lagi percakapan selanjutnya, bahkan sampai malam, Airi lebih banyak diam. Sengaja malam ini, White tak memeluknya, ingin tahu seperti apa respon wanita itu, mungkinkah Airi akan memeluknya seperti biasanya. 5 menit, 10 menit, hingga entah berapa menit, Airi tak kunjung memeluknya. Justru dia mendengar suara isak tangis.
"Kamu menangis Ai?" White yang awalnya tidur memunggungi Airi, membalikkan badan menghadap kearahnya.
"Eng-enggak Bang, cuma menguap, jadi keluar air mata." White malah tertawa mendengarnya. "Kenapa Bang?"
"Kalau mau bohong, pinter dikit. Aku gak nanya soal air mata, karena aku gak melihat. Tapi aku mendengar Ai, aku bisa mendengar suara isakanmu. Bukan masalah air mata yang keluar karena menguap."
"Maaf," Airi menyeka air matanya. "Berisik ya Bang?" Baru saja diseka, air matanya malah kembali turun dan makin banyak. "Ai tidur dibawah aja ya Bang, biar gak ganggu tidurnya Abang." Airi hendak bangun tapi White sudah lebih dulu memeluknya, hingga dia tak bisa bergerak lagi.
"Kenapa menangis?"
"A-aku..."
"Kamu tadi masuk ke kamar mandi?"
Deg
Tubuh Airi langsung menegang. Apakah White akan marah padanya karena diam-diam masuk.
"Kamu melihat apa yang aku lakukan?"
"A-aku.." bibir Airi terasa kelu. Dia takut salah bicara yang akhirnya membuat White marah. Mendengar suara Airi yang gugup, White yakin Airi melihatnya memusakan diri sendiri siang tadi.
"Apa yang ada dalam pikiranmu?"
Lagi-lagi tenggorokan Airi seperti tercekat. Dia tak bisa menjawab apapun.
"Apa aku terlihat memalukan?"
"Bang, a-aku mau ke kamar mandi." Airi berniat ingin kabur dari obrolan ini, tapi White malah makin mempererat pelukannya.
"Apa aku menjijikkan Ai?"
Airi menggeleng cepat. Sial, kenapa dia malah menangis disaat seperti ini. Ya, kejadian tadi sungguh membuatnya sakit. Membuatnya tahu seperti apa posisinya bagi White, bukan istri, hanya mata pengganti.
"Tolong jangan menangis Ai." White meraba wajah Airi, menyeka air matanya dengan telapak tangan. Dadanya terasa sesak sekali mendengar isakan Airi.
"Maafin Ai Bang. Kalau saja kecelakaan itu tak terjadi, pernikahan Abang dan kekasih Abang pasti sudah terjadi. Dan Abang tak perlu tersiksa seperti tadi."
"Ya, kau benar, aku sangat tersiksa tadi."
"Maaf Bang."
"Apakah kau bisa menggantikan maaf itu dengan sesuatu yang lain?"
"Maksud Abang?" White ragu untuk mengatakannya. Takut jika Airi akan menolak permintaannya. "Diganti dengan apa Bang," Airi menatap wajah White yang tampak gugup.
"Bantu aku saat aku tersiksa Ai." Tubuh Airi seketika menegang. Jantungnya berdegup kencang. "Apa kau mau Ai?"
Airi yang masih tak bisa percaya dengan apa yang dia dengar, hanya membisu. Sementara White yang menganggap diamnya Airi sebagai penolakan, pelan pelan mulai melepaskan pelukannya.
"Maaf Ai, jangan terlalu difikirkan. Aku tidak akan memaksa jika kau tak mau. Anggap saja aku tak pernah bilang apapun tadi. Ti_" White tak bisa melanjutkan kalimatnya saat bibirnya tiba-tiba dicium oleh Airi. Ciuman yang sangat lembut, yang membuat seluruh darah didalam tubuhnya terasa mendidih.
"Aku mau Bang," ujar Airi setelah pagutan bibir mereka terlepas. Dia bisa melihat White tersenyum.
Airi tak peduli lagi, White menganggapnya sebagai istri atau hanya untuk melampiaskan hasrat. Baginya, White adalah suaminya, dan sudah kewajibannya untuk melayani suaminya.
"Apakah malam ini, aku boleh menyentuhmu?"
Airi meraih tangan White lalu meletakkan tepat didadanya. "Sentuh apapun yang Abang mau. Ai milik Abang." Airi memejamkan mata saat tangan White mulai meremat pelan dadanya. Nafasnya mulai memburu, demikianpun dengan White.
Dia tak sedang bermimpikan? White rasanya masih belum bisa percaya jika akhirnya, dia bisa menyentuh sesuatu yang akhir akhir ini, membuat dia penasaran.
Tak puas hanya dari luar, dia memasukkan tangannya kedalam kaos Airi.
/Whimper//Whimper/
ai semoga selalu di beru kuatan
semangat ai