HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Brak!!
Sekali lempar, semua berhamburan. Kemarahan di atas ubun-ubun. Semua kacau dan demi apapun rasanya Ibra kesal sekali. Pria di hadapannya sudah berlutut sejak tadi, bahkan air matanya sudah membasahi permukaan tanah berdebu di bawahnya.
"Dasar tidak tahu diri!! Kau lupa kebaikan papa?!!" sentaknya menggema, ruangan yang berdindingkan beton lembam dengan aroma khas penyiksaan itu menjadi saksi bagaimana besarnya kemarahan Ibra.
Penjilat, penggelapan dan pencucian uang untuk kepentingan pribadi. Sialnya, hal itu justru dilakukan oleh paman kandungnya sendiri.
"Maafkan, Om, Ibra ... lepaskan Zora, dia tidak salah!!" teriak pria itu meraung penuh duka, Ibra senekat itu bahkan tak peduli jika yang wanita di hadapanya adalah sepupu yang seharusnya dia jaga.
"Oh iya? Bukankah kau melakukan semua ini demi memenuhi gaya hidupnya?" tanya Ibra dengan seringai tipis yang memuat benak mampu berdesir.
Isakan tangis wanita cantik di sudut sana semakin jelas, mungkin hatinya terluka melihat bagaimana ayahnya disiksa Ibra. Pria yang sejak dia remaja mampu membuat Zora tergila-gila.
"Lepaskan kami, Ibra!!"
Ibra mengalihkan pandangan sebentar, melihat dengan nyata bagaimana Zora mengemis ampun padanya. Ini yang Ibra suka, bagaimana air mata itu menghapus make up di wajah congkak yang selalu membawa nama Megantara Group dalam setiap urusannya.
"Setelah semua yang kalian lakukan, apa pantas aku memberi maaf padamu, Zora?"
Dipercayai sebagai pengganti papanya dalam hidup Ibra, Werdiman memang memiliki hak yang cukup menguntungkan tentu saja. Rumah mewah, kendaraan bahkan semua fasilitas tak Ibra bedakan.
Akan tetapi, kebaikan Ibra nyatanya disalahgunakan untuk mencari celah berkuasa secara nyata. Sengketa dan merasa Ibra tak begitu berhak membuat Werdiman mencuri kekayaan orangtua Ibra satu persatu.
"Bahkan hidup saja kalian tidak pantas sama sekali, semua yang Papa dapatkan tanpa bantuan dari siapapun, dan kalian semudah itu berpikir untuk merampasnya dariku?"
Berebut harta, bisa dikatakan memang demikian. Bukan karena rakus atau bagaimana, akan tetapi Ibra merasa ini adalah haknya dan pria itu tak berhak berbuat sejahat itu padanya.
Jika hanya berpikir tentang uang, rasanya tak masalah. Akan tetapi, yang Werdiman lakukan begitu menyakitkan bagi Ibra tentu saja.
Dikenal sebagai wanita kaya dan bahkan dirinya lebih mencolok dari Ibra. Media mengenalnya sebagai salah satu keluarga Megantara yang dikagumi dunia.
Zora Aghita, wanita manja bertopeng bussines woman tak terkalahkan padahal tidak bisa apa-apa. Terlalu terlena dengan keparcayaan yang Ibra miliki hingga dia lupa bahkan yang kaya bukan mereka.
"Jangan pernah muncul lagi dihadapanku, bersyukur saja aku masih mengampunimu karena ingat papa, jika tidak ... pisau ini sudah sejak tadi menancap di dadamu."
Ibra berkata dengan nada santainya, namun tidak dengan tatapannya. Membunuh dan memang menakutkan luar biasa, pisau lipat itu sejak tadi ia letakkan di meja sampingnya, pria itu hanya duduk di satu kursi kayu yang tersedia satu di ruangan lembab tersebut.
"Teruskan," titah Ibrapada keempat orang berpakaian hitam di belakang Wedirman dan Zora, tanpa peduli panggilan sang paman, dia berlalu dengan Gavin di belakangnya.
Kedua orang itu sudah tak punya waktu untuk menyusun rencana dan terbahak seperti kemarin malam, semua sudah hancur meninggalkan sejuta ancaman yang siap membuat keduanya hancur dalam satu tindakan.
"Cantik, apa tidak sia-sia jika tidak kita pakai?" tanya seorang pria bertubuh kekar yang sejak tadi mengagumi tubuh seksi Zora, menangkap buruan di kamar hotel membuat pria itu tak tahan dengan apa yang ada dalam tubuhnya sejak tadi.
"Aku tidak berani, bisa jadi Ibra marah jika kau merendahkan derajat wanita."
"Hahaha merendahkan bagaimana? Toh kita menjemput dia dalam keadaan hampir tanpa busana bersama pacarnya, bukankah dia memang sudah rendah?"
Perdebatan itu terjadi, hanya sekuat apa iman mereka yang mampu menghalangi dan melindungi tubuh Zora dari pria haus belaian itu.
-
.
.
.
Brugh
Melelahkan sekali, hari ini banyak yang dia lalui. Ibrahim Megantara, tak banyak yang tahu dia siapa. Bahkan pewaris tunggal keluarga Megantara itu hanya berperan di balik layar yang menampilkan kepopuleran Zora sebagai wanita sukses di usia muda.
Ibra tak peduli, karena yang ia cari dalam hidupnya bukan pamor ataupun menjadi terkenal di dunia ini. Menjalani seorang pemantau yang berkuasa namun tak terlihat, Ibra sudah merasa lebih dari cukup.
Bahkan, betapa tidak terkenalnya dia, ada seorang wanita yang justru mengiranya pria panggilan pencari uang haram dengan memberikan kenikmatan. Ibra masih merasa lucu dengan kejadian gila yang ia alami beberapa saat yang lalu.
Di sofa ruangan kerjanya kini, Ibra masih berusaha menenangkan diri. Jemarinya terdapat luka yang ia dapatkan dari memukul keras wajah Wedirman hingga terluka.
"Tuan, apa tidak sebaiknya luka Anda diobati lebih dulu?"
Gavin mencoba membuka pembicaraan, karena sejak tadi yang ia lihat dari Ibra adalah kesakitan namun pria itu seakan tak merasakan sama sekali.
"Nanti juga sembuh sendiri, Gavin ... pergilah, urus saja tanggung jawabmu."
Suaranya tegas, dan tidak menerima pertanyaan ataupun penolakan akan perintah. Gavin berlalu dan meninggalkan Ibra dari ruangannya.
"Gavin tunggu!!" Ibra menahan pria itu, sontak dia berbalik dan menoleh pada bosnya.
"Apa Anda butuh sesuatu?" tanya Gavin sopan, siapa tahu pria ini butuh susu, pikirnya.
"Tempat tinggalnya, apa sudah kau temukan?"
Gavin mengangguk, sungguh dia lupa mengabarkan pada Ibra jika tempat tinggal yang Ibra minta sudah siap kembali, setelah sebelumnya dia protes karena tidak mau menghuni rumah yang ada tangganya.
"Sesuai mauku?"
"Iya, Tuan."
Gavin heran tentu saja, biasanya Ibra sangat menyukai rumah yang terdiri dari beberapa lantai. Akan tetapi, kenapa dia justru memilih rumah yang sengat jauh dari tipe yang biasanya kerap ia cari, apa mungkin tulangnya mulai keropos dan tak mampu naik tangga, pikir Gavin heran.
TBC