Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Jangan Pikirkan Apapun
"Cakra ... ma-makam ini? Siapa?"
"Bukan siapa-siapa, kenapa memangnya?" Cakra balik bertanya dengan wajah yang tampak santai.
Ameera masih bergeming, dia belum puas dengan jawaban Cakra lantaran wanita itu ingat betul jika dia pernah menemukan nama itu, tepatnya di belakang foto seseorang yang Cakra simpan di dompetnya.
Ya, Ameera yakin tidak salah, dan dia menebak pria itu adalah mendiang ayah Cakra. Namun, anehnya Cakra membantah hal itu dan tidak memperlihatkan kesedihan sama sekali, hal itu jelas saja menjadi tanya bagi Ameera.
"Ti-tidak, mungkin aku yang salah sangka," jawab Ameera kemudian bangkit berdiri, perlahan meninggalkan tempat itu dan masih terus menoleh hingga lehernya terasa sakit.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembahasan di antara mereka. Ameera tenggelam dalam dugaannya, sementara Cakra fokus dengan kemudi seraya beberapa kali mencuri pandang wajah Ameera di spion motornya.
Mengingat hari masih panjang, Cakra tidak segera mengantar Ameera ke rumah Abah Asep, melainkan ke sebuah tempat yang dahulu kerap menjadi tempat bersembunyi setiap kali terjadi pertikaian antara kedua orang tuanya.
"Cantik, apa yang di sana itu gua?" tanya Meera antusias, pandai sekali cara Cakra mengalihkan pikirannya hingga kini sejenak lupa perihal makam tersebut.
Cakra mengangguk, mendapat respon Cakra, wanita itu sontak berlari mendekati gua tersebut. "Ameera jangan!!" tegas Cakra seraya menarik pergelangan tangannya, cukup kuat hingga wanita itu meringis menahan sakit.
"Kenapa? Sepertinya tidak menakutkan," jawab Ameera menatap ke arah gua tersebut, dia bingung kenapa Cakra melarangnya. Padahal kalau dilihat-lihat tempat itu tidak menyeramkan, tapi justru sebaliknya.
"Kamu tidak tahu dalamnya bagaimana, cukup pandangi di luar saja, Ra," jawab Cakra seraya menatap kosong ke pintu gue tersebut.
Bayangan Cakra kecil yang berlari dengan luka di kepalanya begitu jelas terbayang di mata pria itu, bahkan deru napas dan isak tangisnya masih dapat Cakra rasakan hingga tanpa sadar dia meneteskan air mata sungguhan.
"Seharusnya kau jangan sembunyi, bodoh!!" pekik Cakra yang membuat Ameera seketika melepaskan genggaman tangannya, cukup kasar hingga membuat Cakra tersadar dan bayangan kelamnya malam itu berganti.
Tidak ada Cakra kecil di sana, yang ada hanya Ameera. Pria itu mengusap wajahnya, perlahan mendekat sementara Ameera yang telanjur takut dan mengira jika Cakra mempunyai indra keenam kini pucat pasi seraya meremmas ujung kerudungnya.
Cakra tahu Ameera takut, tidak ada niat sama sekali, tapi memang semua itu terjadi secara alami. "Ra? Kamu kenapa? Takut ya?"
"Ka-kamu lihat apa? Kenapa ngajak aku ke sini kalau banyak hantunya?" Ameera bergetar, napasnya mulai tidak normal bahkan menatap mata Cakra saja dia tidak memiliki keberanian.
Menyadari ketakutan wanita itu tidak dapat dianggap remeh, Cakra terbahak dan berekpresi seakan sengaja mengerjai Ameera, dan hal itu sukses membuat Cakra merasakan pedas di pundaknya.
"Cakra!! Tidak lucu sama sekali!!" kesal Ameera hendak mendaratkan telapak tangannya kedua kali, tapi secepat itu Cakra menangkap pergelangan tangan Ameera sebelum kemudian mengecup telapak tangannya dengan sengaja.
"Biar tidak sakit," ucap Cakra seraya mengedipkan mata, jelas yang mendapat perlakuan itu luluh seketika.
"Masih mau di sini? Di sana ada air terjun ... pasti kamu suka."
"Benarkah? Mau, aku mau, Cakra!!"
Mudah sekali mengalihkan perhatiannya, padahal yang sebenarnya tidak lagi betah adalah Cakra sendiri. Sungguh, dia menyesal lantaran mengajak Ameera ke tempat itu, nyatanya hanya kebencian dalam dirinya semakin menjadi saja.
Bersama Cakra perjalanan terasa lebih menyenangkan bagi Ameera. Entah karena cara Cakra berkendara atau murni karena rasa cinta yang membuatnya begitu betah sekalipun medan yang ditempuh tidak semulus jalan tol.
Seakan mengulang masa-masa pacaran kontrak, mereka menghabiskan banyak waktu di sana. Kencan di tempat berbeda begitu juga dengan suasananya, dan satu hal yang paling utama Ameera tidak akan mengeluh dengan yang namanya paparazi di setiap langkahnya.
"Yaah, handphone-ku lupa, sayang banget tidak ada fotonya."
Setelah puas memandang dan merasakan segarnya udara air terjun tersebut, Ameera baru ingat jika dia lupa membawa ponselnya. "Tidak apa-apa, lain kali kita datang lagi," ucap Cakra tanpa sadar dia kembali mengukir janji.
Hendak bagaimana lagi, dia lupa juga membawa ponsel sama seperti Ameera karena memang sejak beberapa hari lalu tidak dia gunakan. "Itu termasuk janji, dan aku akan menagih janji itu nanti," timpal Ameera menatap lekat wajah tampan Cakra, seolah tengah menegaskan bahwa kebersamaan mereka masih panjang.
"Pasti, dengan senang hati akan kutemani, kemanapun." Cakra tersenyum hangat, menautkan kelingkingnya ke jemari Ameera sebagai bentuk perikatan antara mereka.
"Kemanapun?" tanya Ameera belum juga melepaskan jemarinya, biarlah bertahan hingga Cakra kembali mengukir janjinya.
Entah bisa atau tidaknya, Cakra mengangguk hingga Ameera menghela napas panjang. "Iya, Meera, kemanapun."
.
.
Cukup lama keduanya menghabiskan waktu di luar, Ameera seolah merasa tengah liburan di pedesaan. Ketika tiba di rumah Abah Asep dan istrinya masih di ladang, sementara Ayumi yang sempat pulang baru saja pergi lagi untuk mengajar ngaji di mushola. Informasi itu Ameera dapatkan dari Mahendra yang menjawab ketus lantaran marah ditinggal sendiri bak pajangan rumah tua.
"Dasar stres, biasanya juga tidak begitu," omel Ameera kala Mahendra berlalu masuk usai menjawab sapaan Cakra.
"Pak Irzan kenapa? Marah ya kamu perginya lama?" Cakra yang kala itu pernah bertemu Mahen sewaktu membantu kasusnya jelas saja bingung lantaran pria itu tampak berbeda ketika di kampung.
"Biarkan saja, mungkin mabuk kecubung," jawab Ameera asal hingga Cakra tergelak sesaat, tapi sebisa mungkin dia menjaga diri karena khawatir diintai dari dalam.
Seperti yang sudah-sudah, diakhir pertemuan selalu saja Ameera yang diperintahkan masuk lebih dahulu, sementara Cakra akan pergi setelah Ameera hilang dari pandangannya. Namun, kali ini Ameera seolah sulit sekali melepaskan Cakra dan dia tidak segera mengindahkan perintah Cakra.
"Ehm, makam yang tadi ... memang benar makam ayahku."
"Hah?" Tanpa Ameera tanyakan lagi, Cakra justru menjelaskanya sendiri.
"Iya, Gutama Darmawangsa adalah ay_ papa atau apalah namanya, intinya pembawa bencana yang menghancurkan hidup ibuku," jelas Cakra seraya menghela napas kasar, dia tampak gusar dengan tatapan yang kini tidak lagi berarah.
"Maaf, Cakra, seharusnya aku tidak bertanya tadi." Demi Tuhan, Ameera merasa tak enak hati kala melihat mata Cakra yang membasah kini.
Kendati demikian, dia tidak terlihat marah pada Ameera, Cakra masih menampilkan senyum manisnya seperti biasa. "Tidak apa, sekarang kamu bisa tenang, 'kan? Masuklah, jangan pikirkan apapun, Ra," ucap Cakra lembut seraya memasukkan rambut Ameera yang tampak keluar dari hijab dadakannya.
Lagi dan lagi, otak Ameera berpikir keras setiap kali menatap mata Cakra nan teduh itu. "Sedalam apa luka yang kamu sembunyikan di balik senyum itu, Cakra?"
.
.
- To Be Continued -
penasaran kisah Papa Cakra dan mama Meera😀