Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas antara Cinta dan Kebingungan
Joko tengah duduk di bangkunya, menghadap papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus filsafat yang ia tuliskan. Namun, pandangannya kosong. Pikirannya melayang, kembali pada Vina dan percakapan mereka beberapa hari lalu. Sejak saat itu, dia merasa ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuatnya cemas namun juga sedikit lega.
Vina, gadis yang selalu bersemangat dengan eksperimen fisikanya, kini menjadi bagian dari pikirannya yang tak bisa dia abaikan. Sering kali, ketika tengah menyelesaikan tugas-tugas filsafat yang sulit, pikirannya terganggu oleh bayangan wajah Vina yang tersenyum atau tawa kecilnya saat mereka bercanda. Joko pun menyadari bahwa, meskipun hubungan mereka belum sepenuhnya mulus, ada perasaan yang semakin kuat tumbuh di hatinya—perasaan yang dia coba untuk menghindarinya sebelumnya.
Tiba-tiba, ponsel Joko bergetar. Ada pesan masuk dari Vina.
Vina: “Jok, lagi sibuk nggak? Gue mau ngomong sesuatu.”
Joko langsung mengangkat ponselnya dan mengetik balasan.
Joko: “Ada apa, Vin? Lagi nggak sibuk kok.”
Tidak lama setelah itu, pesan balasan datang.
Vina: “Kita ketemu nggak? Di taman kampus, 10 menit lagi.”
Joko merasa sedikit gugup. Ini bukan percakapan biasa. Kenapa tiba-tiba Vina ingin bicara di taman? Apa dia akan mengatakan sesuatu yang serius?
Setelah bergegas menuju taman kampus, Joko menemukan Vina sedang duduk di bangku taman, menunggu dengan wajah yang tampak sedikit tegang. Begitu melihat Joko datang, Vina segera tersenyum, meskipun senyumnya tidak sepenuhnya terlihat santai.
"Jok, ada yang pengen gue omongin," kata Vina langsung begitu Joko duduk di sampingnya.
Joko mengernyitkan dahi. "Apa nih, Vin? Kayaknya lo udah mikirin ini cukup lama, ya?"
Vina mengangguk pelan, menatap tanah sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya. "Gue nggak tahu gimana ngomongnya, tapi... gue merasa kita mulai semakin dekat, kan?"
Joko mengangguk, merasa sedikit lebih santai meski hatinya mulai berdegup kencang. "Iya, kita mulai ngobrol lebih banyak. Gue juga ngerasa ada perubahan, kok."
Vina menarik napas dalam-dalam. "Gue cuma pengen ngomong, Jok, kalau gue mulai ngerasa... gue mulai ngerasa sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Dan gue nggak tahu apakah lo ngerasain hal yang sama."
Joko merasa dunia seolah berhenti sejenak. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, dia merasa terhubung dengan Vina lebih dalam dari sebelumnya, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang menyelip di hatinya—apakah dia siap untuk melangkah lebih jauh?
"Apa maksud lo?" tanya Joko, meskipun dia sudah mulai tahu arah pembicaraan ini.
Vina menatapnya dengan tatapan serius. "Gue... gue mulai ngerasa cinta sama lo, Jok. Gue nggak mau kita cuma jadi teman yang saling menghindar dari kenyataan ini."
Joko terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan Vina. Cinta. Kata itu terasa berat di telinganya, tetapi juga menambah rasa hangat di dadanya. Namun, dia tidak bisa begitu saja menerima semuanya tanpa berpikir panjang. Dia takut, takut bahwa hubungan ini bisa berakhir dengan cara yang menyakitkan.
"Vin, gue... gue juga ngerasa ada sesuatu yang beda, tapi gue takut," kata Joko akhirnya, suaranya pelan dan penuh keraguan. "Gue takut kalau kita berdua malah bingung atau... ya, kalau gue nggak bisa jadi pacar yang lo harapkan."
Vina tersenyum, meskipun senyumannya agak memelas. "Jok, gue nggak butuh lo jadi orang yang sempurna. Gue cuma butuh lo yang jadi diri lo sendiri. Kalau gue bisa terima semua kekurangan lo, kenapa lo nggak bisa terima perasaan gue?"
Joko menatap Vina dalam-dalam. Meskipun masih ada keraguan di dalam dirinya, dia mulai merasakan bahwa, mungkin, inilah saatnya untuk membuka hati dan mencoba menjalani hubungan ini, meski dengan segala ketidakpastian yang ada.
"Lo serius, Vin?" tanya Joko, suaranya hampir berbisik.
Vina mengangguk dengan yakin. "Iya, Jok. Gue serius."
Setelah beberapa detik hening, Joko akhirnya menghela napas dan tersenyum kecil. "Oke, kita coba. Gue nggak bisa janji apa-apa, tapi gue janji bakal coba."
Vina terlihat lega, lalu tersenyum lebar. "Makasih, Jok. Itu yang gue pengen denger."
Sejak percakapan itu, hubungan mereka mulai berjalan dalam ritme yang lebih baru. Joko dan Vina berusaha untuk lebih membuka diri satu sama lain, saling mengerti dan menerima perbedaan. Namun, mereka tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan—ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar, dan penuh ketidakpastian. Tapi meskipun penuh dengan ketakutan dan keraguan, mereka tahu satu hal—mereka ingin mencoba bersama-sama.
Catatan dari Author:
Jadi bab - bab sebelumnya nya itu emang sengaja dibuat seperti itu dikarenakan mereka mengalami kebingungan yang mendalam soal perasaannya, tetapi sekarang di bab ini, Joko dan Vina resmi berpacaran.