Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Di luar, angin malam berhembus pelan namun membawa aura mencekam. Aisyah duduk di tepi ranjangnya, ruangan yang biasa terasa aman kini dipenuhi dengan rasa was-was. Cahaya redup dari ponselnya memantul di wajahnya yang pucat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Jarinya terus menggulir layar, mencari informasi, namun hanya menemukan pesan-pesan singkat yang kacau. Laporan-laporan dari warga yang ketakutan membanjiri grup pesan, menyebutkan suara-suara aneh dan bayangan yang terlihat dari jendela."Kok nggak ada berita normal lagi?" gumam Aisyah, suaranya gemetar saat ia menatap layar yang semakin redup. Berita lokal yang biasanya penuh dengan hal-hal ringan kini hilang, digantikan dengan kekosongan. "Ini bukan pertanda baik," pikirnya, kepalanya penuh dengan skenario terburuk. Sesuatu yang tak terjelaskan sedang terjadi di luar sana, dan itu semakin nyata.
Di sisi lain kota, Delisha duduk di tepi jendelanya, dadanya berdegup kencang. Lampu jalan yang berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di luar rumahnya. la menahan napas, matanya terpaku pada jalanan yang kini sepi. Suara langkah berat terdengar jelas di kejauhan, mendekat-perlahan tapi pasti. Delisha mengintip di balik tirai dengan hati-hati. "Apa itu?" pikirnya saat matanya menangkap gerakan samar. Sosok manusia berjalan, tapi gerakannya tidak seperti orang normal. Terlalu kaku, terlalu lambat, seolah ada sesuatu yang salah. Dadanya semakin sesak, dan tangannya bergetar saat ia menutup tirai dengan cepat.
Ketakutan yang ia rasakan tidak bisa ia abaikan lagi. Dengan tubuh yang masih gemetar, Delisha memutuskan untuk keluar. "Aku harus tahu... apa yang sebenarnya terjadi di luar sana," gumamnya pada dirinya sendiri. Dengan hati-hati, ia membuka pinturumahnya, langkahnya pelan dan penuh kehati-hatian. Udara malam yang dingin menyergap tubuhnya saat ia melangkah ke jalan yang kosong.
Jalanan yang biasanya ramai kini lengang, dan hanya ada gemerisik dedaunan yang terbawa angin. Namun, perhatian Delisha segera tertuju pada sesuatu di aspal yang gelap. Matanya membelalak saat melihatnya-jejak darah, memanjang dari ujung jalan ke arah yang tak terlihat.
"Ini... darah?" suaranya tercekat. Perutnya mual, kakinya mendadak terasa berat, tapi instingnya berteriak untuk segera pergi. "Siapa yang terluka? Apa yang terjadi di sini?" pikirnya, sementara jantungnya berdetak semakin cepat. Keringat dingin membasahi telapak tangannya saat tubuhnya mulai bergerak, seolah-olah ada sesuatu yang memaksanya untuk menjauh.
Dalam kebingungan dan ketakutan, Delisha berbalik, berlari menuju rumahnya dengan napas terengah-engah. Suara gemuruh yang tadi samar kini semakin jelas di telinganya, membuat bulu kuduknya berdiri. "Bukan cuma aku yang dengar suara itu... ada sesuatu di luar sana," pikirnya, panik mulai menguasai dirinya.
Setelah masuk kembali ke rumah, Delisha menutup pintu dengan terburu-buru, tubuhnya bersandar lemas di balik pintu kayu yang kini terasa tipis. Namun, matanya masih enggan lepas dari jendela. Cahaya bulan yang pucat menyorot jalan yang sepi, dan di kejauhan, ia melihatnya.
Makhluk yang perlahan mendekat, dengan langkah pincang yang menyeret kakinya di atas aspal. Wajahnya... atau lebih tepatnya sisa wajahnya, hancur. Kulitnya terkelupas, darah kering menempel di pipi yang hampir habis. Matanya- tidak, itu bukan mata manusia. Mata itu kosong, tanpa jiwa. Delisha menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha menahan jeritan yang hampir lolos dari tenggorokannya. "Ini... bukan manusia," pikir Delisha, matanya tak bisa lepas dari makhluk itu. Tubuhnya gemetar hebat. "Apa yang harus aku lakukan? Lari? Bersembunyi?" pikirannya kacau balau, tapi tubuhnya tetap membeku di tempat.
Napas Delisha semakin cepat dan tidak teratur. la bisa mendengar langkah pincang makhluk itu semakin mendekat, setiap gerakan terasa seperti ketukan kematian yang menggema di telinganya. "Apa aku akan selamat? Apa aku masih punya waktu untuk lari?" Desperasi melintas di matanya saat ia berusaha berpikir jernih.
Tiba-tiba, sosok itu berhenti. Tepat di depan pagar rumah Delisha. Langit malam tampak suram, diselimuti asap tebal yang membumbung dari arah lain kota. Jauh di kejauhan, suara ledakan menggema seperti deru petir yang tak pernah berakhir. Gathan berdiri di dekat jendela rumahnya, menatap kota yang perlahan berubah menjadi zona perang. Tubuhnya tegap, tapi wajahnya menyiratkan ketegangan. Keningnya berkerut, tangan kasarnya mengepal kuat, seolah siap meledak kapan saja.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya, frustrasi. Napasnya berat, sementara pikirannyaberat, sementara pikirannya berusaha mencerna situasi yang kacau. "Aku nggak bisa cuma diam di sini. Kalau begini terus, aku bakal gila!" pikirnya, penuh tekad. Tanpa menunggu lagi, Gathan meraih jaketnya, menelusuri ruang tamu yang kini terasa sempit oleh rasa cemas. Dengan sekali hentakan, pintu depan terbuka lebar, dan ia melangkah keluar menuju kegelapan yang menyelimuti kota.
Sementara itu, Jasmine, yang bersembunyi di dalam rumahnya, berusaha keras menenangkan diri. Ruangan tempat ia bersembunyi hanya diterangi cahaya kecil dari lampu meja. Di luar, suara angin menderu, memukul dinding rumah seperti bisikan ancaman yang tak kasat mata. "Tenang, Jas... kamu aman di sini," bisiknya pada diri sendiri, namun nadanya penuh keraguan. Tangannya gemetar saat menggenggam kursi di depannya, berusaha menahan laju detak jantung yang semakin cepat.
Tiba-tiba, tok... tok... tok..., suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu depan. Jasmine menegang. Awalnya, ia berpikir itu hanya angin, namun ketukan itu terus berulang, semakin keras, semakin menekan. "Siapa di luar sana?" bisiknya, tubuhnya mulai berkeringat dingin. Ketakutan merayap dalam pikirannya. "Jangan buka pintu... jangan buka pintu...," desis suara batinnya, tapi rasa penasaran yang mengerikan membuat tangannya secara refleks mulai meraih kenop pintu. "Tidak mungkin ada orang keluar malam-malam begini..."
Sementara itu, di sisi lain kota yang hening, Gathan berjalan melewati gang-gang kecil yang biasanya ramai. Jalanan sepi, hanya lampu jalan yang berkerlip, seolah kehilangan daya. Kakinya melangkah mantap, meskipun ada rasa gentar yang mulai merayap dalam hatinya. Asap tipis membumbung dari puing-puing yang berserakan di trotoar. Bau terbakar menguar, menciptakan atmosfer kota mati yang tak bersahabat.
Saat berbelok di salah satu sudut, matanya menangkap gerakan di kejauhan. Sesosok manusia... atau lebih tepatnya sesuatu yang tampakseperti manusia, perlahan mendekat. "Seseorang terluka?" pikir Gathan, mencoba mendekati sosok itu. Namun semakin dekat ia berjalan, perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya. Tubuh sosok itu bergerak kaku, langkahnya terseret, kepalanya terkulai tak wajar.
Cahaya lampu jalan menyoroti wajah sosok itu. Mata Gathan terbelalak. "Oh Tuhan..." napasnya tercekat. Wajah sosok itu hancur, daging terkelupas seperti habis terkoyak, mata kosong, tanpa jiwa. Bau busuk menyerang hidung Gathan. "Itu... bukan manusia..."
Jantung Gathan berdegup kencang,darahnya berdesir liar. Tanpa pikir panjang, tubuhnya berputar cepat, dan ia melarikan diri sekuat tenaga. "Lari! Jangan berhenti!" pikirnya sambil berusaha mengatur napas yang semakin berat. Suara langkah berat dari belakangnya terdengar berdebar-debar, irama langkah zombie yang tak beraturan terus membuntutinya. Semakin dekat, semakin mendesak.
"Aku nggak akan mati di sini...!" batinnya berteriak, ketakutan yang begitu mencekam menyelimuti pikirannya. Kakinya terus melangkah cepat di jalanan yang penuh kegelapan, tatapannya mencari-cari jalan keluar. Namun, rasa panik mulai menyelimuti dirinya. Jalanan yang dulu familiar kini tampak seperti labirin tak berujung.
Di tempat lain, Jasmine akhirnya tak bisa lagi menahan dorongan dalam dirinya. Dengan hati penuh keraguan dan ketakutan, ia memutar kenop pintu. Pintu kayu itu berderit pelan saat terbuka. "Siapa di luar?" tanyanya setengah berbisik, namun suaranya langsung membeku saat ia melihat apa yang ada di depannya.
Makhluk itu berdiri di sana, di bawah bayang-bayang bulan. Sosok yang hancur, berlumuran darah, wajahnya seperti telah dicabik-cabik tanpa ampun. Mata kosongnya menatap langsung ke arah Jasmine. Makhluk itu menggeram rendah, suara serak yang berasal dari kedalaman perut, mengirimkan getaran ketakutan yang merambat ke seluruh tubuh Jasmine."T-Tidak mungkin..." bisiknya, kakinya gemetar hebat. Dengan sisa-sisa kekuatan yang tersisa, Jasmine membanting pintu kembali, tubuhnya terjatuh ke lantai. Napasnya tersengal-sengal, air mata menggenang di matanya, sementara suara ketukan keras mulai menggema di pintu. "Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya, hatinya dipenuhi teror yang mencekam.
Di jalanan, Gathan terus berlari, terengah-engah, dengan makhluk-makhluk aneh semakin mendekat di belakangnya. Di rumahnya, Jasmine berdiri di belakang pintu, mendengar suara makhluk di luar yang semakin beringas.