Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 20 ~
Lala berjingkrak kegirangan ketika mobil kami sampai di rumah,
Mas Bima turun untuk membuka pintu gerbang, Lala yang selama dalam perjalanan memutar lagu anak-anak di ponsel ayahnya sambil turut bernyanyi dan menari, tiba-tiba bersuara.
"Ayah ada telfon, bun"
"Dari siapa nak"
"Gambarnya onty Gesya"
Mas Bima kembali masuk mobil.
"Ayah, onty Gesya telfon"
Pria itu melirik Lala melalaui spion tengah. "Di angkat sayang!"
"Yang hijau kan yah?"
"Iya" jawab mas Bima kembali melajukan mobilnya menerobos pintu gerbang.
"Assalamu'alaikum onty"
"Ponsel ayah lagi sama Lala"
"Ada, lagi nyetir"
Sekian detik kemudian Lala menyerahkan ponsel pada ayahnya. Mungkin Gesya mau bicara dengan mas Bima.
Selagi melepas seatbelt, aku terus berusaha menajamkan pendengaran demi untuk mencuri dengar.
"Ada apa Gey"
"Sudah pulang, kenapa?"
Suara mas Bima terdengar begitu lembut, kenapa saat bicara denganku ekspresinya masam dan datar, nadanya juga terdengar sinis bahkan malah ketus, terkesan meledek, mengejek, atau meremehkan.
"Datang saja, kalau ketemu di luar nggak Bisa, besok aku sudah harus ke kalimantan, lagipula Thalia baru sembuh belum bisa keluar rumah lama-lama"
"Hmm"
"Dua bulan"
"Datang aja ke rumah, ada bundanya Thalia nanti bisa main-mainnya di rumah aja"
Tak ingin mendengar lebih lanjut, setelah mobil terparkir sempurna di garasi, aku memilih langsung turun dan membukakan pintu untuk Lala.
Aku dan Lala berjalan bersisian, dia yang berseru-seru bahagia, mengayun-ayunkan tangan kami yang saling bergandengan selagi kaki kami melangkah menuju pintu utama.
Sementara mas Bima langsung kembali ke arah pintu gerbang untuk menutupnya. Ponselnya masih menempel di telinga membuatku mencebik karena sebal.
Tunggu,, bukan sebal, lebih tepat cemburu.
Mas Bima benar, aku ini penakut dan suka menyimpan rasa cemburuku, suka kabur dan menerka-nerka sesuatu, yang akhirnya membuat dadaku merasa sesak karena ulah yang ku buat sendiri.
Tapi masa iya, aku harus berlutut di depan mas Bima, masa aku harus koar-koar, harus bilang kalau aku cinta, aku cemburu, aku ingin di sentuh, nggak mungkin kan?
Ketika aku menoleh ke belakang, pandangan kami langsung bertali dan itu membuatku kikuk. Persekian detik, aku menyesali apa yang ku lakukan barusan.
Kalau tahu begini, aku pasti nggak akan menoleh.
"Bun, Lala lapar"
"Anak bunda lapar?" kataku sambil memasukkan kunci pada lobang kunci pintu rumah. "Lala pengin makan apa?"
"Mau nasi goreng"
"Nasi goreng?"
Lala mengangguk.
"Okay, nanti bunda buatin ya"
Langkahku langsung terarah menuju dapur, aku mengambil dua gelas, satu untuk mas Bima, satu gelas karakter untuk Lala. Keduanya ku isi dengan air bening kemudian meminta Lala untuk meminumnya.
"Tha, minggu depan onty Gesya mau datang, Thalia sama bunda jangan kemana-mana, ya" Mas Bima yang sudah menyusul langkah kami berkata demikian.
"Dia mau ke sini, mas?" tanyaku memastikan.
"Hmm, kenapa? Keberatan?" Pria dingin itu meraih gelas yang tadi ku isi air, lalu meneguknya dengan satu kali tegukan langsung tandas.
"Dia ontynya Thalia, tepikan rasa cemburumu, dan jangan menunjukkan ketidaksukaanmu pada Gesya, hargai dia karena dia datang sebagai tamumu"
Mendengar kalimatnya, jantungku seakan runtuh. Bagaimana bisa mas Bima tahu kalau aku memang selalu di liputi rasa cemburu dan ketidaksukaanku pada Gesya.
Ucapannya itu bagaikan busur yang di panahkan tepat sasaran.
"Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu sedang cemburu begini?" mas Bima mengatakannya dengan suara lirih, "Aku tahu segalanya" Tambahnya tersenyum miring, kemudian melangkah meninggalkanku dan Lala di meja makan.
Sebelum melangkah, tadi mas Bima sempat mengusap puncak kepala Lala dan mengatakan sesuatu. "Temani bunda ya Tha!"
Lala hanya bengong, dia seperti enggak paham dengan kata-kata sang ayah.
"Ayahnya marah ya bun?" tanya Lala berbisik.
Aku tersenyum. "Enggak dong sayang, ayah lagi ngeledek bunda tadi" aku menangkis prasangka Lala supaya anak kecil ini tak berpikiran yang macam-macam.
Mendesah pelan, lagi-lagi pikiranku sibuk membuat spekulasi ngawur.
Kenapa aku merasa mas Bima sedang mengerjaiku? Padahal semalam kondisi kami sempat menegang, mas Bima juga sempat mendiamkanku, tapi begitu memergokiku sedang mengobrol dengan mas Saka, mendadak dia menjadi posesif.
Iya kah???
****
Semalam, aku benar-benar kesulitan untuk memejamkan mata. Hingga waktu menunjukan pukul satu dini hari, barulah kesadaranku menghilang sempurna di telan mimpi.
Mas Bima yang tak pernah mengijinkanku menyentuh barang-barangnya, tapi tadi malam dia tiba-tiba memintaku untuk menyiapkan peralatan beserta pakaian dinas selama bertugas di luar Provinsi. Lala yang juga ikut membantuku paking barang milik ayahnya, terus bertanya tentang daerah yang akan mas Bima kunjungi. Sementara mas Bima sendiri sibuk menyiapkan laras pendeknya.
Dia memang memiliki senjata, namun Lala sama sekali tak tahu kalau ayahnya memiliki benda mematikan itu.
"Lala bisa turun dulu dan panggil ayah buat sarapan ya"
"Terus bunda?"
"Bunda mau ganti baju dulu, mau ambil tas juga di kamar"
"Iya" Lala langsung meraih tas sekolahnya.
"Jangan lari-lari ya, Lala belum pulih betul. Hati-hati menuruni tangga"
"Iya bun, Lala jalan aja pelan-pelan" kata Lala sambil berjalan keluar kamar.
Tak ingin membuang waktu, aku segera menyiapkan diri untuk pergi ke kantor. Tadi malam mas Bima bilang, dia yang akan mengantarkan Lala ke sekolah, mungkin karena mas Bima sekalian berpamitan pada Lala.
Sudah siap dengan pakaian dinasku di hari senin, aku langsung turun menuju lantai bawah.
Ketika langkahku telah sampai di meja makan, aku mendapati mas Bima dan Lala sudah duduk di kursinya masing-masing, mereka menghentikan permainan batu kertas gunting saat Lala melihatku.
"Bunda?" Lala mengerjap sepertinya kagum dengan panampilanku pagi ini. "Waah bunda cantik, pakai perhiasan yang di beliin ayah. Lihat yah, cantik kan?"
Mas Bima hanya melirikku sekilas sebelum kemudian berdehem untuk mengiyakan ucapan Lala. Ketika aku menarik piring mas Bima yang akan ku isi dengan nasi dan juga lauk, pria itu tiba-tiba berucap.
"Cantik brossnya ya, Tha"
"Iya, yah. Bundanya juga cantik yah"
"Bunda cantiknya biasa aja, soalnya suka kesal di buat sendiri, terus hobi melarikan diri"
"Melarikan diri apa yah?" tanya Lala tak mengerti.
Sementara aku hanya diam, menyidukkan nasi untuk mereka sambil menyimak obrolannya yang secara terang-terangan tengah menyindirku, seakan-akan bukan aku yang sedang mereka bicarakan.
"Bunda kalau di ajak ngomong itu suka kabur"
Perhatian Lala yang tadinya fokus menatap ayahnya, kini ia alihkan padaku.
"Makannya ayah sering negur bunda, karena bundanya bandel"
"Jangan kabur kalau lagi ngomong bun! Itu namanya nggak sopan, bunda Lala di playgroup juga bilang, kalau bunda lagi ngomong harus di dengerin, nggak boleh ngomong sendiri, nggak boleh keluar-keluar kelas"
"Nah kan anak kecil aja tahu, masa kamu yang udah sarjana harus di tegur soal begitu" Sindir mas Bima datar tanpa ekspresi.
Aku hanya bisa menghela napas, benar-benar merasa sedang di kuliti oleh ayah dan anak ini.
****
Waktu terus bergulir, hingga tak terasa kesibukanku membuatku lupa jika saat ini jam sudah menunjukkan waktu pukul sebelas siang.
Aku yang sempat absen selama sehari, hari ini pekerjaanku menumpuk dan hampir selesai ku kerjakan.
Saat tengah fokus memindah setiap transaksi ke buku besar, aku mendengar suara pak Dimas.
"Bu Arimbi, di tunggu suami di depan"
"Suami saya di depan, pak?"
"Iya bu, sepertinya penting, mangga di temuin dulu, bu"
"Iya, makasih pak"
"Sama-sama bu"
Aku bangkit, kemudian berjalan menuju keberadaan mas Bima. Sejujurnya aku merasa heran dengan kedatangannya ke kantorku. Karena jarang sekali mas Bima datang apalagi tanpa pemberitahuan lebih dulu seperti ini.
Selagi melangkah, pikiranku di penuhi tanya, ada hal penting apa sehingga mas Bima harus mengunjungiku ke tempat kerjaku.
"Mas"
Mas Bima yang tengah duduk sambil memainkan ponsel, langsung mendongak dan menyimpan ponselnya ke dalam saku.
"Duduk!" Ucapnya memerintahkan.
Aku duduk, lantas bertanya. "Ada apa? Bukannya mas siang ini pergi?"
"Kenapa memangnya? kamu keberatan aku datang ke kantormu? Kamu nggak suka? Atau merasa terganggu?"
Bukannya menjawab, mas Bima malah bertanya balik dengan rentetan pertanyaan. Iya kalau nadanya di lembutin sedikit, suaranya terdengar ketus di telingaku, sesuai dengan ciri khasnya yang datar dan dingin.
"Bukan begitu mas" Sanggahku cepat.
"Lalu apa?" mas Bima menatapku dengan sinis. Benar-benar tak ada raut hangat barang sedikit.
"Mau apa mas kesini?"
Mendengar pertanyaanku mas Bima mengernyitkan dahi.
"Aku suamimu lho, mau pergi dinas, salah kalau aku datang untuk berpamitan"
"Nggak salah, biasanya kan mas cuma pamit lewat telfon atau pesan singkat"
"Terus kalau aku datang langsung, masalah buatmu?"
"Ya enggak" aku tak berani membalas tatapan mas Bima yang sudah bisa ku pastikan matanya melotot begitu tajam.
Lalu hening hingga beberapa detik. Pandangan mas Bima benar-benar tak teralihkan dariku barang sedetik.
Ketika aku mencuri pandang untuk memastikan seperti apa raut wajahnya, mas Bima langsung mengangkat satu alisnya ketika menyadari lirikanku.
"Kenapa?" Tanyanya yang langsung ku respon dengan gelengan kepala.
Kembali hening, aku menautkan kedua tanganku dan merematnya untuk menghilangkan rasa canggung ini.
"Aku pergi" ucap mas Bima tiba-tiba, otomatis membuat jantungku kebat kebit sebab nadanya tak lagi dingin. Intonasinya bahkan sangat lembut, sama seperti ketika bicara dengan Lala.
"Jagain Lala baik-baik"
Aku seperti tercenung dengan panggilan mas Bima untuk Lala. Bukan lagi Thalia.
"Kalau ada apa-apa segera kabarin papi atau mami. Aku akan jarang memegang ponsel nanti, tapi setiap malam aku akan menelfonmu untuk memastikan kondisi Lala"
"Iya" jawabku dengan kepala tertunduk. Memang seperti ini setiap kali mas Bima bertugas, jarang sekali ponselnya aktif. kendalanya ada pada jaringan ketika sedang di udara.
"Selalu berhati-hati"
"Iya" Entahlah aku masih bingung mau ngomong apa.
"Telfon mami kalau minta di temani, atau bisa telfon ibumu untuk menginap di rumah"
"Iya"
"Satu lagi" Ucap mas Bima. "Jangan temui pria manapun selagi aku nggak ada"
Aku tercenung, sambil mengulang kembali kalimat mas Bima dalam hati.
Jangan temui pria manapun??
"Aku pergi" Pamitnya membuyarkan fokusku.
Dan aku langsung mengulurkan tangan, ku kecup punggung tangannya dengan di iringi jantung yang berdetak tak tahu aturan.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Sebelum melangkah, mas bima sempat menarik napas panjang.
"Ingat semua pesanku"
"Iya" Entah pesan apa, yang pasti pesan untuk menjaga Lala dan pesan untuk tidak menemui pria lain yang terus terngiang "Hati-hati, mas!"
"Hmm... Titip Lala"
"Iya" balasku cepat sembari menganggukkan kepala.
Mas Bima langsung melangkah menuju mobil yang di bawa oleh anak buahnya. Sementara aku masih berdiri menatapnya dari sini.
Bersambung.
Semangat berkarya