Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Jika di Paris waktunya makan siang, di Jakarta, Alex baru saja pulang dari kantornya. Istri tercintanya sudah menunggu di depan pintu saat pria yang masih saja terlihat tampan meski sudah memiliki dua cucu tersebut keluar dari mobilnya.
"Abang mana? Nggak mampir dulu?" tanya Anes mencari keberadaan David.
"Tidak, dia bilang malam nanti Rega akan pulang ke rumah untuk makan malam, jadi dia langsung pulang," ucap Alex.
"Terus gimana mas?" tanya Anes.
"Ya nggak gimana-gimana. David pulang ke rumahnya, apa masalahnya, sayang?" Alex mengusap lembut rambut Anes.
"Bukan itu maksudku, ih mas nih. Selalu begitu. Masih aja nggak peka sama aku!" ucap Anes.
"Lho kok malah marah? Kenapa, hem? Sini cerita sama mas," Alex menarik tangan Anes untuk duduk di sofa. Anes hanya manut, ia duduk diam, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan sebuah kekhawatiran.
"Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Alex lembut.
"Gimana, mas udah bilang sama abang kalau Gisel akan pulang?" tanya Anes.
"Sudah..." jawab Alex singkat.
"Terus bagaimana tanggapan abang?" tanya Anes penasaran.
"Ya, senang. Orang Anak gadisnya mau pulang," jelas Alex.
"Hanya itu?" Anes tak puas dengan jawaban Alex.
Alex mengernyit bingung.
"Mas nggak bilang kalau Gisel pulang karena akan menikah?" tanya Anes lagi.
"Bilang, bagaimanapun kan David dan Amel juga orang tua Gisell," ujar Alex.
"Terus?"
"Ya nabrak, kalau terus...." Alex tersenyum jahil.
Plak!
Sebuah tabokan mendarat di kengan Alex, "Malah bercanda! Aku serius mas!" ucapnya.
Alex menghela napasnya panjang. Ia menarik tangan Anes dan mengajak untuk duduk, "Sini, duduk sebelah mas," ucapnya.
Anes menurut, ia duduk di sisi kana Alex. Pria paruh baya itu merengkuh bahunya.
"Kau tahu, sebagai daddinya, aku juga menginginkan yang terbaik untuk putri kita, sayang. Dan kau tahu sendiri bukan, aku sama sekali tidak memaksanya. Aku hanya memberinya sedikit nasihat, dan dia yang memutuskan sendiri menerima pernikahannya," jelas Alex.
" Tapi kan mas tahu, Gisel mungkin tidak mencintainya, kenapa mas jodohin mereka sih. Bukannya ku nggak suka, tapi... "
" Kau ragu cinta bisa datang seiring berjalannya waktu? Contohnya ada di depan mata. Kita dan putra kita Elang, adalah contoh nyatanya, menikah karena dijodohkan tapi sejauh ini kita bahagia, lalu apa yang kamu takutkan? Putri kita sudah dewasa, sayang. Dia tahu dengan keputusan yang ia ambil, dia bukan Gisemu yang manja, segalanya pasti sudah ia pikirkan ke depan,"
"Entahlah, mas. Aku hanya merasa menikah dengan pria yang mencintai kita itu baik, tapi jika kita juga mencintai pria itu, saling mencintai, itu akan jauh kebih sempurna kebahagian yang di dapat,"
"Justru karena itu, aku khawatir putri kita akan menjadi perawan tua jika menunggu dia jatuh cinta lagi. Kau tahu sendiri sekarang bagaimana putrimu itu, antipati sama cowok. Dia terlalu mandiri dan merasa bisa melakukan semuanya sendiri Semoga dengan menikah nanyi, dia bisa kembali membuka hati untuk mencintai lagi, dan yang paling mas khawatirkan adalah karena trauma, Gisel jadi belok,"
" Belok gimana? Nggak belok ya nabrak,"
" Suka sama wanita, sayang maksudnya, "
" Ih mas buat au takut deh," Anes terdiam, ia larut dalam pikirannya sendiri.
"Daripada melamun, mending buatkan suamimu ini secangkir teh, sayang. Suami pulang kerja capek, eh di malah di cemberutin, senyum dong!" ujar Alex lembut, ia menjawel dagu sang istri.
"Eh, iya. Maaf, mas. Aku sampai lupa," balas Anes yang langsung beranjak menuju ke dapur.
.
.
.
Di saat dalam perjalanan menuju cafe untuk makan siang serta mendengarkan live music kesukaannya saja, Gisel masih di sibukkan dengan benda pipih buatan negeri ginseng tersebut.
Melisa tak berani mengganggu jika atasannya sudah larut dalam pekerjaannya seperti ini.
Gisel yang merasa di perhatikan oleh asistennya yang duduk di samping sopir menatapnya, "Ada apa? Ada yang ingin kau katakan, Mel?" tanyanya.
"Em, itu nona. Apa benar Anda akan kembali ke Jakarta bukan hanya karena pekerjaan, tapi juga karena akan menikah?"
Gisel menyimpan gadgetnya ke dalam tas sat mendengar pertanyaan Melisa. Entah bagaimana rumor itu bisa menyebar secepat ini, perasaan dia belum cerita ke siapapun. Apa mungkin gadis berkaca mata itu mendengar obrolannya dengan mommy, mungkin saja.
" Ya, kau benar. Apa ada yang salah?" jawab Gisel.
"Tidak nona. Hanya saja, saya tidak menyangka di sela-sela kesibukan nona ini, nona ternyata memiliki kekasih. Saya kira..."
Gusel langsung tergelak mendengarnya, "Tebakanmu benar, aku memang tidak punya kekasih. Berpacaran hanya membuang-buang waktu dan tenaga, toh belum tentu pada akhirnya jodoh juga,"
Melisa hanya bisa melongo, seorang Gisel mau di jodohkan? Masa sih?
"Pengalaman mengajarkan aku banyak hal, Mel. Lagian aku nggak mau buat daddy berpikir kalau aku nggak laku. Bahkan daddiku khawatir aku jadi belok, suka sama wanita," kalimat Gisel di akhiri dengan senyum geli. Mengingat bagaimana ayahnya yang posesif mewanti-wantinya untuk tidak salah jalan.
" Setidaknya, jika belum bisa membuka hati lagi untuk pria, jangan sampai berubah haluan dengan nyaman dan menyukai wanita. Daddy hanya khawatir, tidak, bukan hanya daddy tapi juga mommimu khawatir kalau akibat trauma yang kamu alami di masa lampau, membuat kamu jadi salah arah," begitulah kata-kata Alex yang selau membuat Gisel tersenyum miris, bagaimana bisa ayahnya kepikiran seperti itu. Tentu saja ia masih wanita normal, akan tetapi untuk urusan hati, ia belum mau membukanya.
Sebenarnya, pernikahan bukanlah hal utama lagi dalam hidup Gisel saat ini. Ia merasa hidupnya sekarang ini sudah cukup. Ia tak membutuhkan seorang pria yang hanya akan menyakiti perasaannya. Namun, demi menyenangkan dan menenangkan kedua orang tuanya, ia akan menikahi pria yang daddinya jodohkan dengannya.
Ya, Gisel akan menikah dengan pria yang di rekomendasikan oleh Alex. Saat pria itu memintanya untuk mempertimbangkan untuk menikah, Gisel langsung setuju. Ia yakin pilihan sang ayah adalah yang terbaik.
Kalau tidak memikrkan kedua orang tuanya, Gisel pasti memilih untuk melajang seumur hidup.
Tak terasa mobil yang mereka tumpangi sampai di cafe tujuan. Itu adalah cafe favoritnya selama di Paris. Dan mungkin ini akan menjadi kali terakhir ia makan di sana.
.
.
.
Setelah puas menikmati makan siang sekaligus libe music band kesukaannya, Gisel dan Melisa bersiap kembali ke kantor.
Namun, di depan cafe, mereka berpapasan dengan seorang pria yang sangat Gisel kenal.
"Nah, benar kan tebakanku. Kamu pasti makan siang di sini, tahu hitu tadi nggak ke kantor kamu dulu," ucap pria bernama Wilson tersebut.
"Dokter Wilson, ada perlu apa mencari nona?" Melisa bertanya mewakili Gisel karena wanita itu tampak tak berniat menyahut.
"Kangen," jawab Wilson.
Membuat Melisa mengernyit bingung. Berbeda dengan Gisel yang tampak biasa saja.
"Saya kangen sama bos kamu, Mel. Bukan sama kamu," jelas Wilson.
"Saya tidak berharap dokter kangen sama saya," sahut Melisa. Yang mana membuat Wilson menjeb.
"Kamu telat datangnya, aku udah mau balik ke kantor. Permisi!" ucap Gisel.
"Masuk lagi yuk, Sel. Udah lama kita nghak ngobrol berdua,"
"Maaf, Wil. Aku sibuk. Masih banyak pekerjaan,"
Wilson tampak kecewa, sangat sulit sekali mendekati wanita jutek di depannya tersebut.
Wilson menatap Melisa, "Beneran, Mel? Dia sibuk?" tanyanya berharap Melisa menyanggah.
Melisa mengangguk, "Benar, dok. Nona harus menyelesaikan banyak sekali pekerjaan sebelum kembali ke Jakarta," ucapnya.
"Ke... Jakarta? Mau liburan ya? Ikut dong!" ucap pria yang berprofesi sebagai dokter tersebut.
"Bukan untuk liburan, tapi kemungkinan aku tidak akan kembali lagi ke sini," ucap Gisel.
"Kenapa?" Wilson terkejut.
"Karena nona akan menikah, dokter," bukan Gisel yang menjawab melainkan Melisa.
"What? Jangan bercanda, aku lagi nggak mood untuk tertawa ini, apalagi oatah hati, aku belum siap" ujar Wilson.
Tak ada suara yang membenarkan jika itu adalah sebuah candaan, membuat Wilson langsung diam, "Beneran, Sel?" tanyanya dan Gisel mengangguk.
"Kok bisa? Sama siapa? Perasan kamu jomblo, kenapa tiba-tiba menikah?" terlihat raut kecewa pada wajah Wilson.
"Aku tidak harus menjawabnya kan, Wil? Sama siapa dan kenapanya? Maaf aku buru-buru!" Gisel hendak membuka pintu mobil, namun di cegah oleh Wilson.
"Kenapa begini? Kamu bilang tidak akan pernah menikah, kenapa sekarang tiba-tiba jadi seperti ini. Apa yang salah dengan profesiku sebagai dokter?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kamu, Wil. Mau kamu dokter atau bukan, Kita emang cocoknya cuma jadi teman," ujar Gisel lalu masuk ke dalam mobil diikuti oleh Melisa.
"Heh, betty Lape'a!" Wilson memanggil Melisa.
"Ya, dok?" sahut Melisa sebelum masuk ke mobil sembari membenarkan kaca matanya.
"Ganteng siapa aku sama calon suaminya?" tanya Wilson. Membuat melisa menurunkan kaca matanya dan mengamati Wilson dadi atas kepala hingga kaki.
"Tidak tahu, saya juga belum pernah melihatnya," ucap Melisa, ia langsung masuk ked dalam mobil.
Wilson, menatap kepergianmobil yang di tumpangi Gisel dan Melisa, "Siapa sih pria yang udah nikung doaku?" gumamnya.