NovelToon NovelToon
Dr. Brain

Dr. Brain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi / Horror Thriller-Horror / Kehidupan di Kantor
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Here Line

Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20 : Masa Lalu Arya

Mobil melaju kencang menembus kota. Melaju semakin jauh dari jembatan layang terpotong yang meloloskan mereka dari kejaran pria misterius itu.

Di dalam mobil suasana terasa jadi lebih sunyi walau nyatanya terdengar deru mesin. Arya dan bibinya masih menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu setelah lompatan maut tadi.

Sementara Raisha di kursi kemudi masih dengan ketenangan luar biasa. Menggenggam setir dan mengamati jalan di depan. Wajahnya serius namun tenang.

"Kita harus ke markas NIMBIS," kata Raisha sambil melirik sekilas ke arah Arya. "Masih banyak misi yang harus kita selesaikan, dan bibimu perlu perawatan medis segera."

Arya tak punya pilihan. Pria itu mengangguk, lalu memandang bibinya di kursi belakang yang menahan sakit sambil memegangi perban di lengannya.

Bibinya meringis, namun berusaha terlihat tegar di hadapan Arya. Melihat itu, Arya merasakan tekad yang sama. Dia ingat di NIMBIS ada fasilitas medis yang siap menangani korban-korban seperti ini.

"Baiklah," jawabnya, suara nadanya menunjukkan bahwa ia siap menghadapi apa pun, termasuk menghadapi orang yang sampai kini tak memiliki hubungan terlalu baik dengannya di NIMBIS. "Kita ke NIMBIS."

Mobil pun dipacu lebih cepat, menembus kota. Saat itu kota berangasur-angsur tampak normal. Kemungkinan besar paparan gelombang kendali belum sapai ke tempat yang mereka tuju. Raisha bisa bernapas lega sekarang. Meski dia sadar ini belum berakhir.

Saat tiba di bangunan besar yang tampak seperti hotel biasa, Raisha melakukan prosedur otomatis untuk membuka portal menuju area parkir sebagaimana tamu dan pegawai hotel.

Mobil melaju lalu berbelok memasuki area parkir basement, melewati area parkir tamu dan karyawan hotel hingga mencapai area parkir terdalam.

Di salah satu sudut area parkir itu terdapat pintu baja yang sedikit menjorok ke dalam dinding. Setelah mengeluarkan kartu dan menempelkannya di pemindai, pintu baja itu mendengung, bergerak membuka secara elektronik.

Dengan tenang, Raisha mengarahkan mobilnya ke dalamnya, dan mereka masuk ke dalam sebuah lorong gelap panjang yang tiba-tiba terang benderang begitu dilewati.

Arya memandangi sekeliling, merasa aneh sekaligus familiar. Sudah bertahun-tahun ia tidak ke markas NIMBIS. Semua masih terlihat sama, tetapi perasaan berbeda kali ini menggantung di dadanya. Berbagai ingatan berkelebat, terutama pertemuan dan kebersamaan dirinya dengan seseorang di markas intelejen itu. Kini ia merasa gugup karena harus bertemu lagi dengan orang itu.

Begitu mobil berhenti, beberapa petugas datang membantu mereka. Raisha mengarahkan Arya dan bibinya menuju medical center yang sudah tersedia di markas. Mereka melewati lorong-lorong modern dengan lampu LED tersembunyi yang memancarkan cahaya lembut, memberikan kesan yang futuristik.

Di medical center, Arya dengan hati-hati menurunkan bibinya, sementara perawat datang membawa tandu.

"Bibi, bagaimana kondisimu?" Arya bertanya dengan lembut.

Bibinya tersenyum lemah. "Arya, bagaimana dengan pamanmu? Apakah, apakah dia akan menyusul kita?"

Arya terdiam sejenak, menyadari bahwa bibinya belum tahu kebenaran yang menyakitkan. Setelah menarik napas dalam, ia memandang bibinya, dan berkata pelan, "Maafkan Arya Bibi, Paman… sudah tidak ada. Dia… ditembak."

Wajah bibinya berubah pucat, matanya memancarkan kesedihan yang dalam.

"Oh, Arya…" gumamnya pelan, dan air mata pun jatuh di pipinya.

Arya menggenggam bahu bibinya erat-erat, mencoba memberi kekuatan di saat yang sulit ini.

Tak lama setelah meninggalkan bibinya di medical center, Arya dan Raisha pergi menuju lift dan turun beberapa lantai ke bawah tanah untuk menemui Greg, kepala NIMBIS sekaligus orang yang membuat Arya sangat gugup.

“Arya, kamu terlihat sangat gugup,” ucap Raisha menyadari reaksi Arya yang tampak tak tenang.

“Tidak, ini hanya karena aku sudah lama tidak ke tempat ini, itu saja,” jawab Arya mencoba mengalihkan.

Raisha tersenyum kecil, “Baiklah,” katanya.

Mereka sudah tiba di lantai bawah tanah. Begitu pintu baja terbuka otomatis keduanya segera melangkah mencari Greg. Mereka tak menemukan Greg di ruangannya maupun di ruang breafing. Hingga akhirnya mereka ke ruang pusat informasi.

Greg berdiri di dekat salah satu koputer di ruang pusat informasi, wajahnya terkejut saat melihat Raisha dan Arya datang.

“Raisha, dan… Arya?” Greg mengangkat alisnya, tampak tidak percaya melihat mereka.

Raisha langsung menanggapi, "Maaf, Pak, saya dan Arya terpaksa ke markas menitipkan Bibi Arya di medical center. Dia terluka, dan… butuh perawatan."

“Bibi?” tanya Greg, seolah meminta penjelasan.

“Bibi angkat!” jawab Arya, dengan tegas dan dingin.

Greg menatap Arya. "Bibi angkat?" Greg tampak terkejut.

“Ceritanya panjang,” sahut Arya, lalu dia menjelaskan singkat. "Tangannya terluka, dan paman, suaminya… sudah tiada. Dia ditembak." Wajah Arya mengeras, mengingat kejadian itu.

Sekilas, ia bisa melihat bayangan paman angkatnya yang sudah terbujur kaku di depan jendela kala itu.

Greg terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun ragu. Raisha menyadari ketegangan di antara mereka dan merasa ada banyak yang belum ia ketahui.

Setelah pertemuan singkat itu yang terkesan dingin itu, Arya dan Raisha memutuskan untuk berkeliling markas sejenak sambil melepas lelah dan mendinginkan pikiran.

Arya mulai menceritakan bahwa dulu ia sering datang ke sini membantu Greg. Ketika Rasiha menanyakan apa hubungan mereka berdua, Arya menjawab bahwa Greg adalah ayah Arya. Ayah kandung. Raisha terkejut ketika mendengar itu.

“Greg ayahmu?”

“Ya, benar,” jawab Arya, singkat.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong yang berlapis kaca antipeluru dan dinding beton yang dipenuhi monitor pengawas. Di sebelahnya, Raisha memperhatikan dengan kagum betapa markas ini terkamuflase dengan sempurna dalam bangunan hotel, lengkap dengan beberapa ruangan yang terletak di bawah tanah, dengan akses lift khusus yang mereka gunakan tadi.

“Kamu membantu apa di sini?” tanya Raisha, heran. Mengingat reaksi Arya ketakutan dalma situasi-situasi genting membuat Raisha sedikit sangsi. “Sepertinya bukan sebagai agen rahasia, ya?”

“Ya, tebakanmu benar. Aku Di sini membantu dalam pengembangan teknologi, bersama para teknisi senior. Ya, sesuai dengan bidang kuliahku, di bidang komputer,” jawab Arya sambil tersenyum singkat. “Tapi sayang, hubunganku dengan ayahku berakhir seperti ini.”

“Memangnya, bagaimana?”

“Seperti yang kamu lihat tadi, tidak terlalu baik,”

Raisha menoleh penasaran. "Kenapa? Apa yang terjadi?"

Arya menarik napas dalam, menahan rasa sakit yang masih menghantuinya meski bertahun-tahun telah berlalu.

"Semuanya berawal sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu ibuku harus menghadiri pertemuan keluarga penting. Aku tahu dia tidak terlalu mahir menyetir, dan aku lebih parah lagi aku malah trauma menyetir. Jadi ia memintaku agar ayah mau mengantarnya. Tapi, waktu itu ayah terlalu sibuk di NIMBIS… terlalu sibuk dengan misi-misi rahasia ini. Akhirnya, ibu berangkat sendiri dan… terjadi kecelakaan. Aku kehilangan ibu."

Suasana terasa tegang, dan Raisha hanya bisa mengangguk mengerti, membiarkan Arya mengeluarkan perasaannya. Arya melanjutkan, "Sejak itu, aku tidak pernah mau ke sini lagi. Rasanya terlalu… menyakitkan."

Raisha menghela napas, memahami mengapa ada jarak menganga yang tercipta antara Arya dengan ayahnya. Diam-diam ia menatap Arya, melihat ada beban besar yang telah lama ia pikul sendiri.

“Sebenarnya aku tidak mau kembali ke NIMBIS.” Arya menghela napas. “Tapi melihat ada kasus sebesar ini, aku merasa ibu juga pasti mendorongku untuk membantu di NIMBIS. Jika ibu masih hidup, aku yakin beliau pasti menyuruhku membantu,” ucap Arya sambil tersenyum.

Rasiha mengangguk, seolah merasakan hal yang sama.

“Jadi, ayo kita tuntaskan kasus ini.”

“Dimulai dari?”

“Pemecahan kode di kalungmu! Kurasa kalungmu harus diperbanyak, karena… kita tak mungkin bekerja sendirian.”

“Aku setuju, bagaimana kalau kita memikirkannya di kantin?”

“Setuju, aku juga lapar nih,”jawab Arya seraya tertawa kecil, disambung Raisha yang juga tertawa.

Arya menarik napas panjang, menyadari bahwa beban dari masa lalu kini harus ia tinggalkan sejenak. Ada misi besar yang harus diselesaikan, dan mereka tak bisa melakukannya sendirian.

Di sisi lain, Raisha tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, baik misi NIMBIS maupun pertempuran Arya dengan perasaannya sendiri.

Di ujung lorong, mereka berdua melangkah ke arah lift, lalu bergerak naik.

Raisha menatap Arya, mata tajamnya menyelidik, seperti mencoba mengurai sisa-sisa luka di balik wajah dingin Arya.

"Lalu setelah kecelakaan itu… apa yang kamu lakukan?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu.

Arya menghela napas, seakan-akan napas itu membawa kembali kenangan berat yang sudah lama ia simpan.

"Aku kabur dari rumah," jawabnya dengan nada hambar. "Kuhapus semua jejak yang pernah kutinggalkan. Data, catatan, riwayat digital… semua aku blokir dengan caraku. Seolah aku hilang dari dunia, baik di dunia nyata maupun maya."

Raisha memperhatikan Arya dengan rasa kagum campur prihatin. Tak mudah bagi seseorang untuk menghilang total, apalagi di zaman serba digital seperti sekarang.

“Bagaimana kamu bertahan hidup?” Raisha bertanya, suaranya terdengar tulus.

Arya tersenyum pahit. “Aku melakukan apa saja, kerja serabutan, semua yang bisa memberi penghasilan. Aku kembali kuliah, menyelesaikan jurusan komputer yang sempat tertunda. Tapi aku juga harus menyambung hidup, jadi aku mengambil pekerjaan apa pun yang bisa kudapat, termasuk di perusahaan asuransi yang tidak ada kaitannya dengan bidang keahlianku. Itu bukan pilihan yang nyaman, tapi setidaknya itu membuatku bisa makan dan bayar sewa.”

Raisha mengangguk, masih menyimak setiap kata Arya dengan perhatian penuh. "Dan setelah itu?" tanyanya lagi, seolah ingin memahami setiap potongan cerita yang Arya tinggalkan.

“Setelah beberapa tahun kerja keras, aku akhirnya bisa menabung cukup banyak untuk beli rumah sederhana. Tidak besar, tapi cukup untuk hidup sendiri tanpa harus khawatir tentang tempat tinggal.”

Arya tampak tersenyum samar, sedikit lega mengenang saat-saat itu. Saat itu juga lift berhenti dan pintu terbuka.

"Aku mulai membeli peralatan elektronik dan peralatan workshop. Semua alat yang kupakai untuk membangun hal-hal yang dulu jadi hobiku: merakit perangkat, membuat alat-alat elektronik, termasuk alat intelijen. Hanya saja kali ini aku melakukannya untuk diriku sendiri,” tutur Arya sambil berjalan keluar dari lift menuju sebuah koridor.

Raisha tersenyum kecil, mengagumi tekad Arya yang besar. "Dan soal Bibi dan Pamanmu?" tanyanya pelan.

Arya menghela napas, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Mereka bukan keluarga kandungku. Mereka hanya dua orang asing yang tidak tega melihatku hidup seperti gelandangan, tertatih-tatih menggendong tas besar tanpa tujuan di Jakarta. Saat pertama kali kabur itu, aku benar-benar terpuruk… kehilangan arah dan harapan."

Raisha tertegun, mendengarkan dengan seksama. Arya melanjutkan dengan nada pelan, seakan kembali ke masa-masa sulit itu.

"Mereka menyewa rumah kecil di Jakarta dan memberiku tempat untuk tinggal secara gratis. Tapi aku tak tega akhirnya, aku pun ikut patungan, membantu mereka membayar sewa. Aku tahu, hidup mereka sendiri sudah sulit, tapi mereka tetap memberiku kesempatan untuk berteduh. Jadi ketika aku akhirnya bisa beli rumah sendiri, aku ajak mereka tinggal bersama. Paling tidak, itu balas jasa kecil yang bisa kuberikan atas kebaikan mereka."

Raisha mengangguk, kini mengerti. "Jadi itu alasanmu begitu menjaga mereka, ya?"

Arya menatap Raisha dengan pandangan tegas. "Mereka memberiku kehangatan sebuah keluarga ketika aku sudah kehilangan segalanya. Paman dan Bibi angkatku adalah orang-orang yang tidak pernah meminta apa pun dariku, tapi memberikan segalanya yang mereka bisa. Kalau bukan karena mereka menguatkanku, aku mungkin sudah tenggelam dalam hidup yang kacau sejak dulu."

Raisha menepuk bahu Arya perlahan, memberi dukungan yang ia yakin tidak sering dirasakan Arya. "Aku mengerti sekarang, Arya. Tidak mudah menjalani semua ini sendirian."

Mereka terdiam beberapa saat. Hening, hanya suara langkah mereka yang terdengar menggema di sepanjang koridor.

Arya menarik napas panjang, melepaskan semua emosi yang tadi menggantung di hatinya. "Waktunya kembali ke dunia nyata," gumamnya.

Raisha tersenyum tipis. Gadis itu tahu betul bahwa di balik semua ini, Arya adalah seseorang yang kuat.

“Ya, kita harus segera memecahkan kasus ini,” ucap Raisha.

“Setuju,” timpal Arya sambil memimpin langkah menuju kantin yang tinggal beberapa meter lagi.

TBC

Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!