Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tingkah Aneh
Malam semakin larut, dan efek dari minuman yang dikonsumsi Naya semakin terasa. Mulanya, ia hanya tertawa lebih lepas dari biasanya, berbicara lebih cepat, dan sesekali terdiam lama, seperti tengah terperangkap dalam pikirannya sendiri. Dante, yang duduk di sebelahnya, terus memperhatikannya dengan tatapan waspada, merasa situasinya bisa lepas kendali kapan saja.
Naya, yang biasanya tenang dan penuh kendali, mulai menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Ia mulai memeriksa rambutnya dengan gerakan berlebihan, memainkan ujung-ujungnya dan sesekali melemparkan tatapan aneh kepada Dante.
“Dante,” katanya tiba-tiba dengan nada penuh misteri, “Kamu tahu, nggak? Aku... aku kayaknya punya kekuatan super.” Naya menatap tangan-tangannya seakan-akan dia baru saja menemukan bahwa mereka bisa melakukan sesuatu yang luar biasa.
Dante mendengus pelan, mencoba untuk tidak memperlihatkan keterkejutannya. "Oh ya? Kekuatan super apa, Nay?"
Naya mengangguk serius, seolah-olah ingin membuktikan ucapannya. "Aku bisa... mengendalikan pikiran orang," katanya dengan nada yang penuh keyakinan. "Tuh, lihat!" Naya lalu menatap Dante dengan intens, matanya sedikit terbelalak, dan mendekatkan wajahnya padanya, hanya beberapa inci dari wajah Dante. "Kamu pasti sekarang lagi mikir... kenapa aku secantik ini, kan?"
Dante mengerjapkan matanya, berusaha keras menahan tawa. Dia bukan tipe orang yang mudah merasa malu, tapi tingkah Naya membuatnya merasa sedikit canggung, terutama karena beberapa orang di sekitar mereka sudah mulai memperhatikan.
"Aku—umm, tentu saja," jawab Dante, meski suaranya terdengar seperti berusaha keras untuk tetap tenang. "Tapi mungkin sebaiknya kita kurangi minumannya, ya?"
Namun, Naya malah tertawa terbahak-bahak, seolah-olah itu adalah hal paling lucu yang pernah ia dengar. “Kamu nggak ngerti, Dante. Aku itu... aku spesial!” serunya sambil melambai-lambaikan tangan, membuat beberapa orang yang berada di sekitar bar menoleh.
Sementara itu, di lantai dansa, Widuri yang juga sudah mabuk parah, tampak sedang tersesat di tengah kerumunan pria-pria tampan. Dia melambai-lambaikan tangannya seperti bendera, seolah sedang mengajak mereka menari, meski gerakannya tampak lebih seperti orang yang kehilangan keseimbangan.
Widuri memandang salah satu pria tampan yang menari tak jauh darinya, lalu mendekat dengan langkah goyah dan mulai bertingkah lebih aneh lagi. “Hey, kamu... kamu mirip banget sama... aktor favoritku!” ujarnya sambil menunjuk wajah pria itu tanpa keraguan. Pria itu tampak terkejut tapi tetap tertawa, mungkin merasa terhibur oleh tingkahnya yang konyol.
“Siapa, ya?” tanya pria itu sambil tersenyum ramah.
“Lupa, pokoknya tampan kayak kamu!” Widuri tersenyum dengan ekspresi puas, seolah telah memenangkan sebuah permainan, lalu tiba-tiba berusaha memeluk pria itu, yang segera mundur untuk menghindar, tapi tak ingin terlalu kasar. Teman-teman pria itu mulai tertawa, menambah suasana kacau di sekelilingnya.
Di sisi lain, Dante mulai merasa situasi semakin tidak terkendali. Naya masih berperilaku aneh, berbicara pada dirinya sendiri tentang hal-hal yang tidak masuk akal, dan menarik perhatian lebih banyak orang. Dia bahkan sesekali berdiri di atas kursi bar, seolah-olah mencoba untuk memberi pidato besar kepada orang-orang di club.
“Kalian semua harus tahu... seni itu bukan cuma tentang uang! Seni itu... tentang jiwa, tentang cinta, tentang... tentang perasaan!” serunya dengan penuh semangat, meskipun sebagian besar orang di sekitarnya tidak benar-benar mendengarkan.
Dante memijat pelipisnya, merasa sedikit malu dan kesal. Meskipun ia tidak benar-benar bertanggung jawab atas Naya, ia merasa sedikit harus menjaga gadis itu. Lagi pula, Widuri, satu-satunya teman Naya di sini, juga tidak bisa diandalkan karena sibuk tersesat di kerumunan pria tampan yang lain.
“Naya,” Dante berkata pelan namun tegas, menarik tangan Naya agar dia turun dari kursi. “Mungkin sekarang waktunya kita pergi. Kamu sudah terlalu banyak minum.”
Namun, Naya menatapnya dengan senyum lebar dan penuh arti, seolah-olah baru saja menemukan sesuatu yang sangat penting. “Dante, kamu tahu apa yang aneh?” tanyanya tiba-tiba, dengan mata yang sedikit berbinar karena alkohol. “Kamu sebenarnya nggak seburuk itu.”
Dante hanya menghela napas panjang. "Terima kasih... kurasa?" jawabnya, tak yakin apakah itu pujian atau sekadar halusinasi akibat mabuk.
Tiba-tiba, Naya menyenderkan kepala di bahu Dante, membuat pria itu terkejut. “Kamu hangat,” gumam Naya pelan, sambil tertawa kecil seperti anak kecil yang baru menemukan selimut nyaman.
Dante merasa pipinya mulai memerah karena situasi yang canggung. Ia menoleh ke sekitar, memastikan tidak terlalu banyak orang yang memperhatikan mereka. "Oke, cukup. Kita harus pergi sekarang."
Sementara itu, Widuri masih tersesat dalam kegembiraannya sendiri di lantai dansa, menari dengan pria-pria tampan yang entah dari mana muncul. Dengan langkah yang semakin tak seimbang, ia hampir terjatuh beberapa kali, tapi tetap terus mencoba menari meskipun jelas-jelas sudah tidak bisa lagi menjaga keseimbangan.
Dante memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tahu jika ini dibiarkan, Widuri mungkin akan membuat keributan yang lebih besar. Ia menaruh Naya dengan hati-hati di kursi bar dan berjalan ke arah Widuri. Setelah menarik napas dalam, ia menarik lengannya dan berbicara dengan nada tegas, "Widuri, kamu sudah cukup bersenang-senang. Waktunya kita pergi."
Widuri menatap Dante dengan mata setengah tertutup, lalu tertawa keras. "Kamu siapa? Pangeran penyelamat? Ah, iyaaa! Aku... aku butuh pangeran!" Widuri kemudian mencoba menari lagi, tetapi Dante dengan cepat menghentikannya.
“Sudah cukup, ayo kita keluar,” desaknya sambil memandang ke arah Naya, yang sekarang sudah tertidur di meja.
Dante menyeret Widuri keluar dari lantai dansa dengan susah payah, sementara dia terus berceloteh tidak jelas tentang betapa tampannya para pria yang baru ia temui. Setelah berhasil membawa Widuri keluar dari kerumunan, ia kembali ke Naya, yang masih tertidur pulas.
Akhirnya, Dante berhasil membawa kedua wanita itu keluar dari club. Udara malam yang dingin membuatnya sedikit merasa lebih segar, tetapi juga menambah beban dengan dua orang mabuk di tangannya. "Ini akan menjadi malam yang panjang," gumamnya pada diri sendiri sambil menghela napas panjang, lalu memesan mobil untuk membawa mereka kembali ke tempat aman.