Salahkah jika aku penasaran dengan yang namanya cinta dan kasih sayang? Salahkah jika aku sangat haus akan dua rasa itu? Sebenarnya, apa itu kasih sayang? Apa itu cinta?
Disinilah aku, tinggal sebagai seorang keponakan, sepupu, serta orang asing dalam keluarga paman yang sangat membenci kehadiranku. Berbagai cacian, siksaan, serta hinaan, semuanya aku terima. Sampai dimana... dia datang. Tiba-tiba saja, tangannya terulur, membawaku entah kemana dengan kata-katanya yang begitu hangat namun menakutkan.
"Jika kamu sangat ingin merasakan cinta dan kasih sayang, mari kita buat bersama. Mulai sekarang, sampai selamanya... akulah tempatmu untuk pulang."- Adam.
"Jika Anda benar-benar rumah saya, izinkan saya untuk selalu pulang dalam dekapan Anda. Saya mohon, jadilah rumah untuk tempat saya pulang, Tuan Adam."- Ayna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wawawiee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Ambisi Besar
***
Sebelumnya...
"Apa? Kok bisa cepat ma? Ayah... Percaya sama mama kalau bilang aku ini korban?"
Sungguh, Alea terpukau dengan kecepatan Yuliana melakukan siasat liciknya. Bahkan ini masih hari kedua.
"Ya. Jangan khawatir, mama sudah membayar orang yang untuk membuat rekaman palsu dimana kamu itu seperti menolak ajakan mereka bertiga. Sekarang ngga perlu khawatir lagi dan mereka sudahpun dipecat. Ya sudah, ayo pulang. Kamu hadapi ayahmu itu. Ingat juga ya! Buat ekspresi habis menangis. Ayahmu pasti aja merasa menyesal karena sudah membuang putrinya."
Dalam diam, Alea menyeringai senang. Ia juga memeluk ibunya dengan erat.
"Makasih ma... Makasih banyak. Alea ngga tahu harus berbuat apa kalau ngga ada mama..." ucapnya.
"Ini masih permulaan anakku. Setelah ini... Setelah kamu mendapatkan gelar Nyonya Ardiansyah dan juga kekuasaan besar di Triantara Corporation, ngga akan ada yang bisa menjatuhkan mu. Siapapun itu." ucap Yuliana penuh ambisi.
"Ma. Jika aku... sudah bergelar Nyonya Ardiansyah, apa aku bisa menjatuhkan Ayna? Sungguh, aku sangat dendam kepadanya."
"Kan mama bilang barusan. Ngga ada yang bisa menjatuhkanmu dan kamu akan jadi orang yang berkuasa. Dia sudah tentu akan jatuh bersama Chairul dan Tiana itu. Jangan khawatir."
Alea mengangguk, ia sudah benar-benar bertekad akan menghabisi Ayna dan itu pasti. Entah bagaimanapun caranya.
***
Sekarang...
"M-Mendapatkan tanda tangan kerja sama Emanuella Corporation? tapi gimana caranya? CEO nya saja kita ngga tahu seperti apa rupanya, lalu komisarisnya juga." ucap Alea bingung.
"Huh, padahal ini kesempatan yang bagus tapi belum apa-apa kamu sudah mengeluh begini. Ya sudahlah kalau kamu ngga mau-..."
"Jangan! Iya kak, iyaaa! Alea... Akan membantu kak Hendry bagaimanapun itu caranya."
Hendry tersenyum puas dengan jawaban Alea. Ia merasa telah menemukan boneka yang cocok untuk dikendalikannya.
SRET
SRET
"Bagus, istriku sayang. Lakukan perintah suamimu ini, dan kita akan bersinar gemilang di puncak kekuasaan tak lama lagi."
"Puncak kekuasaan..."
Hendry mengelus kepala Alea. Seketika pula, Alea membayangkan dirinya dikelilingi oleh wanita-wanita sosialita yang memuji akan cantiknya dirinya serta betapa hebatnya pasangan suami istri itu berada di puncak kesuksesan serta kekuasaan. Mengalahkan Emanuella Corporation.
'Ya... selangkah lagi... Bersama suamiku... Ngga lama lagi, kami ada di atas...'
***
Setelah mengunjungi Hendry, Alea kembali pulang ke mansion. Semua pelayan menyambut kedatangannya. Di ruang tamu pula, sang ayah dan ibu menunggu kedatangan dirinya. Alea tersenyum lebar. Ia mendudukkan dirinya tepat di samping ibunya, Yuliana.
"Jadi, bagaimana nak?" tanya Yuliana penuh harap.
"Hehehe, tentu saja lancar dong ma. Kak Hendry sudah memaafkanku. Sekarang, kami akan rujuk kembali sebagai sepasang suami istri." ucap Alea senang.
Yuliana menutup mulutnya saking gembiranya akan berita baik ini. Tapi, lain halnya dengan Robi. Ia menghela nafas cukup panjang, tak tahu harus berbuat apa lagi.
"Jangan senang dulu, Alea. Kadang dia akan meminta syarat ini itu yang memberatkan atau apa." ucap Robi datar.
"Eyyyy mana ada! Alea dibilangin, lain kali jangan mau diajak begitu. Kalau ada apa-apa lagi padaku, segera lapor begitu. Jangan mau menuruti ajakan mereka." apa yang dikatakan Alea adalah kebohongan semata. Karena ia sudah disumpah untuk menjaga rahasia persyaratannya di depan orang tuanya.
"Terserah kamu saja sudah, Tuan Tono dan Nyonya Maya bagaimana? Jangan lupa, ayah juga perlu kerjasama dengan mereka."
"Ayah tenang saja. Ayah mertua percaya padaku. Tinggal ibu mertua saja yang ngga sama sekali percaya. Ah kalau ibu mertua ngga perlu diurus yang penting ayah mertua. Kan secara beliau yang pemilik perusahaan. Oh ya, aku hampir lupa. Ayah, ayah mertua pengen bicara empat mata dengan ayah. Katanya buat membahas tentang proyek kerja sama... Atau apalah itu. Beliau bilang juga, ayahmu bakal mengerti proyek yang mana, begitu."
"Proyek? Jangan bilang proyek itu..." Robi bangkit dari duduknya, ia terkejut dengan pesan dari Robi.
"Proyek apa sayang? Kenapa kamu kaget begini?" tanya Yuliana.
"Proyek itu, Yuliana! Masa kamu ngga ingat?! proyek ituuu! Kita pernah membahasnya!" ucap Robi heboh.
"P-Proyek perluasan lapangan golf? Dan juga pembangunan mall terbesar se negara? Proyek itu kan?!" akhirnya, Yuliana paham maksud proyek itu.
"Iya! Ahahahaha! setelah sekian lama, ditolak sana sini oleh banyak perusahaan, akhirnya besan kita... Mau bekerja sama dengan kita buat proyek ini! Bagus Alea! Kamu sudah mengambil hati ayah dan ibu mertuamu, ayah bangga padamu!"
Alea hanya tersenyum. Ternyata proyek itulah yang ayahnya lakukan sedari dulu. Dan di sedari dulu itu juga, ia terus menerus mencari perusahaan besar yang mau diajak kerja sama. Namun hasilnya sama, selalu ditolak dengan alasan yang sama pula. Akan merugikan masyarakat sekitar. Jika memperluaskan lapangan golf, otomatis rumah-rumah warga sekitar akan digusur besar-besaran. Begitupun mall terbesar.
***
"Kenapa kamu harus rujuk dengannya? Kamu percaya begitu saja dengan rekaman baru ini dan ucapan manisnya itu? Mana otakmu Hendry?"
Sang ibu, Maya, nampak murka dengan ucapan Hendry yang ingin rujuk dengan Alea. Maya masih tidak mempercayai wanita muda itu.
"Ibu, Alea ini jujur Bu. Sudah tentu rasanya sakit, apalagi dia itu dipaksa oleh pelayan-pelayannya. Ngga mungkin juga Alea berbohong." sanggah Hendry.
"Itu karena dia pakai pakaian yang terbuka. Kamu tahu, tiga hari yang lalu ibu ngga sengaja melihat tatapannya yang menggoda ke arah kawanmu itu. Dia sampai menyentil lengan kawanmu. Dan tahu kamu itu artinya apa? Dia menggodamu! Ibu tetap ngga mau merestui kalian buat bersatu kembali!" ucap Maya mutlak.
"Ibu! jangan beginilah! Aku akan tetap rujuk dengan Alea dan itu pasti. Ibu ini seorang wanita, harusnya paham bagaimana rasanya dilecehkan oleh pria-pria yang sudah jadi kepercayaan keluarga! Kenapa ibu egois begini?"
"Yang egois itu kamu, Hendry! Ibu ngga pernah merasakan atau ngga mau sama sekali merasakan yang namanya dilecehkan! Karena ibu sangat menjaga diri ibu dan itu pesan dari mendiang kakekmu. Aku ini ibumu, dan aku paling mengerti serta paling tahu wanita yang baik itu gimana dan wanita yang buruk itu gimana. Alea adalah wanita yang buruk, dan ibu minta kamu jangan rujuk dan cari wanita yang lain."
"Ngga. Aku ngga mau. Ternyata benar ya yang dibilangin Alea. Ibu ini pemikirannya kolot, ketinggalan zaman. Kenapa aku baru tau hal ini ya? Semakin aku menuruti ucapan ibu, bukannya semakin maju tapi semakin mundur. sudahlah, kalau ibu ngga mau merestui, it's okay. Asal ayah sudah merestui itu cukup buatku. Aku pergi ke rumahku sekarang."
Hendry bangkit dari sofa dan ia akan keluar. Namun saat langkahnya berada di depan pintu, Maya kembali lagi memanggilnya dengan lantang.
"Hendry! Kalau kamu keluar dari pintu itu dan ngga mengindahkan ucapan ibu ini, jangan anggap lagi aku ibumu. Hidup yang penuh penderitaan tiada akhir akan menantimu di luar sana. Kalau kamu ngga mau hidupmu penuh penderitaan, kembali duduk kesini dan tarik kembali ucapanmu. Ingatlah, ucapan ibumu ini adalah doa, doa yang langsung didengar oleh Tuhan! Murkanya ibu adalah murkanya Tuhan juga!"
Hendry menatap Maya sengit. Ia sudah muak sekarang.
"Hah! Hidup hidupku sendiri. Apanya yang penuh penderitaan? Justru aku yang akan menjadi penerus perusahaan setelah aku punya keturunan. Aku akan berada di puncak kejayaan! Puncak kekuasaan! Aku ngga akan jatuh sebegitu mudahnya apalagi akan penuh penderitaan. Ngga!"
Keluarlah Hendry dari mansion mewah itu. Maya hanya bisa melihat punggung anak bungsunya yang sudah masuk ke dalam mobil dan kendaraan itu keluar dari pagar. Ia menghela nafas berat, air mata keluar dari matanya.
"Kenapa... Kenapa jadi seperti ini? Anak kami, satu-satunya kebanggaan kami... Kenapa jadi begini? apa yang salah?"
Di dekat tangga, seorang pria berusia sekitar 25 tahun menatap Maya dengan sendu. Ia memilih untuk kembali ke kamarnya lagi dan merebahkan diri di atas ranjang.
"Sudah tahu Hendry seperti itu... tapi kenapa ibu dan ayah... Seperti ngga sadar? Dikira anaknya hanya Hendry apa? Lalu aku ini apa? patung?"
"Benar kata senior Adam. Daripada kena mental terus, lebih baik keluar dari rumah ini. Cari kost dan urus restoran sendiri. Lama-lama bisa gila aku."
"Oh ya, ngomong-ngomong senior Adam pasti lagi menikmati bulan madu dengan istrinya. Enaknya... Kayaknya aku harus memikirkan buat cari istri deh. Tapi... Nanti dulu saja sudah kalau benar-benar mapan. Benar juga, kakek Chairul!"
Pria itu melaporkan beberapa rekaman yang ia rekam diam-diam saat Tono berbicara dengan Alea, saat berbicara dengan Hendry, dan juga Hendry dengan Maya. Tidak diketahui oleh penghuni di mansion ini bahwa pria itu adalah salah satu sumber mata-mata Emanuella Corporation.
"Maaf ayah, ibu, Hendry. Darren sudah berbuat seperti ini. biar kalian tahu dan menyesal sudah mengabaikanku sejak aku kecil. Kalian bukan seperti keluarga, tapi orang asing buatku. Mentang-mentang aku ngga berbakat seperti adikku sendiri, kalian berdua membuangku. Aku sudah muak akan hal ini."
***
"Wuaaaahhhh! Mas Adam! Air terjun!"
Beberapa hari kemudian, bulan madu dimulai. pasangan baru menikah itu berbulan madu dengan dimulai ke air terjun Tumpak Sewu. Lihatlah Ayna, sangat bahagia tak terkira saat melihat air terjun itu.
"Ngga ramai juga dan ngga sepi juga. Baguslah kita datang di hari normal." gumam Adam tenang.
"Ayo mas! Kita turun ke air! Ayooo!"
"Aihhh, sabar sayang. Sebentar dulu kita tatoh barang-barangnya."
Setelah meletakkan tas-tas ransel mereka, Ayna dengan cepat melepaskan kaos kaki dan sepatunya, lalu melempar tongkat kayunya ke sembarang arah.
"Aduh! Tenang sayang, ngga bakalan ketinggalan jalur." sungguh, Adam kewalahan dengan semangat membara istrinya. Sampai tongkat kayunya terkena dada Adam.
CPAK
CPAK
CRAAASSSHH
"Hahahaha! Mas Adaaammmm! Ayooo!"
Langkahnya memang tertatih-tatih karena keadaan kakinya yang cacat, tapi tidak menyulutkan api semangat Ayna untuk bermain air di pinggiran. Adam memilih untuk ikut, menjaga sang istri agar tidak terlalu jauh ke tengah.
"Haaahhh sejuk sekali..." gumam Adam.
"Hehehe, ya kan? Oh ya, Mas kalau mau tahu dimana ayah melamar ibu, itu di bebatuan dekat tas-tas kita." tunjuk Ayna.
"Disana itu? Pasti romantis sekali mereka ya."
"Hehehe, iya Mas. Kata ibu waktu itu, banyak yang menyoraki sampai bertepuk tangan. ternyata batuannya masih sama ya, ngga berubah sejak dulu." ucap Ayna.
Adam menyetujui ucapan istrinya itu. Ia menatap ke arah istrinya yang masih saja menikmati bermain air. sebuah ide muncul di otaknya.
"Ayna."
"Ya?"
"Duduklah di dekat bebatuan itu. Biar aku fotokan kamu."
~Bersambung~