“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Amala bergeming, seolah kakinya dipaku. Hatinya menjerit ingin menyuarakan protes atas sikap kasar Wahyuni kepada Siron.
Tak mengapa bila Wahyuni membencinya, tapi tidak semestinya ia membentak sang anak yang tidak mau diam.
‘Siron … maafkan makwa La ya Sayang,’
Ita sampai kewalahan menggendong Siron yang terus berontak ingin turun ke tanah.
Brak.
Wahyuni membanting pintu kemudi, setelah memastikan anaknya duduk dalam pangkuan sang pengasuh, ia bergegas melajukan mobil.
‘Maaf Amala, aku belum bisa menerima keputusanmu. Biarlah kita saling menjauh dulu, agar rasa amarahku tidak berubah menjadi benci.’
Sambil menyetir, sesekali Wahyuni menghapus air matanya. Di bangku belakang, Siron tertidur akibat lelah menangis. Suara sedu-sedan nya sesekali terdengar.
"Maafkan Ibu ya Nak,” gumamnya lirih penuh rasa bersalah, tak semestinya ia melarang Siron bermanja dengan Amala. Putrinya itu sedari bayi seringkali digendong makwa nya.
Ita hanya diam, tangannya terus menepuk bokong Siron. Hatinya ikutan sedih, tetapi tidak berani bersuara apalagi bertanya.
Bidan Rani tersenyum culas melihat pemandangan mengiris hati, ia mendekati Amala yang masih belum bergeming dari posisinya. “Sepertinya, susuk pemikat yang kau pakai sudah habis masa berlakunya, ya?”
Amala berbalik guna berhadapan dengan wanita bermulut tak beradab.
“Bu bidan, apa sekarang sudah masuk jam istirahat, Anda?”
“Apa maksudmu bertanya seperti itu?”
“Saran saya, segeralah pergi berwudhu dan sholat! Saya perhatikan dari awal kita bertemu, Anda selalu menatap tak suka, berbicara ketus, lalu sekarang asal cakap saja. Bu … menuduh tanpa bukti itu jatuhnya fitnah loh,” kelakar Amala sambil bersedekap tangan.
Rani juga melipat tangannya di atas perut. “Cih … Jangan sombong kau, Amala! Bila aku sudah menikah dengan Bang Agam, kau orang pertama yang akan aku tendang dari lingkup keluarga baru ku!”
Amala mengulas senyum tipis, alisnya naik sebelah. “Masih bila ‘kan? Belum tentu juga terwujud. Bisa jadi hanya sebatas angan semata.”
Rani terlihat begitu kesal, emosinya terpancing, sebisa mungkin mencoba sabar agar tidak mempermalukan diri sendiri.
“Kau tunggu saja kartu undangan dariku! Saat waktu itu tiba, kau pasti akan menangis darah! Tak lagi bisa berteman dengan kalangan berada,” cibir Rani.
‘Bukan aku yang menangis darah, tapi kau Rani. Kau lihat saja nanti! Akan ku tunjukkan seberapa egois nya diri ini!’ janjinya dalam hati.
“Saya tak sabar menunggu hari itu tiba, Bu Bidan,” seru Amala dengan nada sedikit mengejek, yang berhasil memancing rasa geram Rani.
Kemudian Amala berlalu begitu saja, ia tak jadi meminta surat rujukan, lagipula tak guna juga. Niatnya hanya untuk membuat senang ibunya saja yang selalu menanyakan kapan ia periksa kesehatan.
Rani menghentakan kakinya, hatinya meradang penuh kebencian. Dirinya tak menyangka kalau Amala bisa membalas setiap ucapannya.
Rani sama seperti gadis-gadis lainnya yang menyimpan rasa iri dengki kepada Amala, semua itu disebabkan oleh kedekatan Amala dengan keluarga terpandang Agam Siddiq. Ia yang anak Lurah, sangat sulit mendekati mereka.
“Mbak Mala!” Nirma memanggil sang kakak.
Amala menghela napas panjang, kesabarannya benar-benar di uji. Ia pun memasuki pekarangan sebuah rumah tepat di seberang puskesmas.
“Ada apa?” tanyanya sambil menatap sekilas perut sang adik yang sudah membuncit.
“Mari masuk dulu! Ini rumah Nirma dan Mas Yasir, besok kami pindah ke sini. Mulai minggu depan, Nirma juga bekerja di puskesmas.”
Nirma memimpin jalan, ia masuk ke dalam rumah berlantai satu yang luasnya tak seberapa, tetapi sudah bangunan permanen.
“Bagaimana menurutmu rumah ini, Mbak? Lebih bagus daripada gubuk peninggalan Bapak ‘kan?” Nirma berbalik guna melihat ekspresi Amala, begitu mendapati sang kakak biasa saja luntur sudah senyum bangga nya tadi.
Amala berdiri di ruang tamu, tak mau melangkah lebih jauh lagi. Sudah cukup baginya mengikuti keinginan Nirma yang ingin pamer.
“Biasa saja. Luasnya pun tak jauh berbeda dari kandang Kambing kita,” celetuk nya tenang.
“Halla … Mbak pasti iri ‘kan? Makanya menghina rumah ku.” cemooh Nirma begitu kesal.
Amala mengedikkan bahunya. “Memangnya kelebihanmu apa? Sehingga begitu percaya diri menuding ku iri.”
“Yang barusan itu, kalau bukan iri apa namanya? Mbak menghina rumah ini, jelas-jelas lebih bagus daripada gubuk mending Bapak.” Nirma mengusap perutnya dengan bangga, seolah ingin menunjukkan kalau ia telah menjadi wanita sempurna.
Amala mendengus kasar, ia mundur satu langkah demi memindai setiap hal yang tampak mata.
“Patut kah kau membanggakan sesuatu yang dibeli dari hasil uang warisan? Membandingkan bangunan petak ini dengan rumah masa kecilmu, masih waras kah kau, Nirma?”
“Bu_kan begitu maksud_”
“Cukup! Muak aku setiap kali mendengar mu mencoba berkelit. Bukan begini, tidak begitu … kau simak baik-baik ya, Nirma! Sedikitpun aku tak iri. Mau kau memiliki harta berlimpah pun, bukan urusanku. Hanya sedikit miris melihatmu yang begitu memaksakan diri agar terlihat seperti wanita berkelas,” Amala berdecak malas.
“Orang kaya yang sesungguhnya itu, tak kan berkicau. Tanpa mereka bercerita, orang lain yang berkisah tentang seberapa banyak harta si kaya. Mereka tidak norak apalagi haus validasi, demi memenuhi ego dan gengsi. Menurut ku, apa yang kau lakukan ini hanya sia-sia ….”
“Mbak, sok tau,” kilah Nirma, padahal hatinya juga membenarkan perkataan Amala.
“Anggap saja aku begitu. Coba kau gunakan logikamu! Kebun karet yang seharusnya bisa mendatangkan uang setiap minggunya malah kau jual, lalu membeli rumah ini yang menurutmu bisa menaikkan derajat. Apa itu tidak sia-sia? Pujian takkan bisa membuatmu kenyang, tetapi simpanan uang bisa menyelamatkanmu di masa depan! Sayang sekali kau tak sepintar gelar mu.”
Amala berbalik badan, ia keluar dari rumah Nirma. Malas berdebat lagi yang ujung-ujungnya adiknya tetap bodoh.
“Eh … ada Mbak ipar, apa kabarnya calon manten dari pria malas?” Yasir begitu senang melihat Amala, ia gegas mendekati mantan tunangannya.
Lain halnya dengan Amala, ia sudah kehabisan daya setelah menghadapi Nirma, Rani dan juga Wahyuni. Amala pun hendak melenggang begitu saja, tetapi dihalangi oleh tubuh besar Yasir.
“Amala … Amala, tak ku sangka selera mu terjun bebas. Lepas dari seorang PNS, kau banting setir memilih seorang pemalas. Sebegitu frustasi nya kah dirimu?” bisiknya, agar tak didengar oleh Nirma.
“Daripada menikahi Hendi, lebih baik menjadi Gundik (Simpanan) ku saja. Ku pastian kehidupanmu jauh lebih baik, bagaimana?” imbuhnya dengan seringai culas.
“NIRMA!!” Amala berteriak sekuatnya, membuat Yasir panik seketika.
Nirma yang tadi di dapur, cepat-cepat menghampiri sumber suara. “Ada apa Mbak? Loh ... Mas, jam segini kok sudah pulang?”
“KAU URUS SUAMI GATAL MU INI!!” Amala menunjuk wajah Yasir, suara lantangnya berhasil menarik perhatian tetangga Nirma yang sedari tadi menguping dengan pura-pura mengorek telinga di bawah pohon rambutan.
“Benar begitu, Mas ...?”
.
.
Bersambung.
Next : Amala sudah melibatkan bang Agam.
Bagi yang penasaran kelanjutannya, Tolong jangan lupa klik permintaan update ya❤️
Terima kasih banyak semuanya 🌹🌹❤️❤️
bu bidan mati kutu
karya ini luar biasa