Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
First Date (2)
Jae Hyun menyerahkan sebuah helm kepada Riin. Ia memegangnya dengan sedikit ragu, tangannya agak gemetar karena belum terbiasa dengan aktivitas seperti ini. Saat mencoba memasang chin strap, ekspresi frustasinya terlihat jelas. Jemarinya sibuk meraba-raba tali helm yang terasa asing baginya.
“Berikan padaku,” ujar Jae Hyun, suaranya datar namun terdengar tegas. Tanpa menunggu jawaban, ia mendekat dan mengambil alih tugas itu. Jemarinya yang cekatan memasangkan tali helm pada dagu Riin dengan teliti. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, membuat Riin mendadak merasa gugup. Ia menelan ludah perlahan, mencoba mengendalikan perasaan yang tiba-tiba muncul.
“Terima kasih,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia berusaha menjaga nada suaranya, meski jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Jae Hyun hanya mengangguk tanpa bicara. Setelah memastikan helmnya terpasang dengan benar, ia segera memakai helmnya sendiri. Mesin motor besar miliknya menggeram pelan saat dinyalakan, getarannya terasa hingga ke ujung jari Riin. Ia lalu memberi isyarat agar Riin naik.
“Pegangan,” katanya singkat. Saat Riin terlihat ragu, ia menarik tangan gadis itu ke pinggangnya. “Kalau tidak, kau akan jatuh,” tambahnya dengan nada dingin, seolah itu sekadar perintah, bukan perhatian.
Riin menurut, meski ia merasa canggung. Sentuhannya di pinggang Jae Hyun terasa kaku, membuatnya semakin sadar betapa jauh jarak emosional di antara mereka. Jae Hyun melajukan motor melewati jalanan kota Seoul yang mulai dipenuhi lampu-lampu malam.
Selama perjalanan, mereka terdiam dalam keheningan. Riin tidak tahu harus berkata apa, sementara Jae Hyun sepertinya lebih memilih fokus mengemudi. Suara mesin motor dan gemuruh angin menjadi satu-satunya pengisi suasana. Namun, bagi Riin, itu bukanlah masalah. Ia sibuk menikmati pemandangan di sepanjang jalan_deretan pohon sakura yang sedang bermekaran menghiasi sisi jalan. Kelopak-kelopak bunga beterbangan, tertiup angin seperti hujan kecil yang lembut. Riin tersenyum samar. Musim semi selalu menjadi favoritnya. Ada sesuatu yang menenangkan dalam warna merah muda bunga-bunga itu, seolah-olah menghapus kekhawatiran yang mengisi pikirannya.
Setelah beberapa menit, motor melambat dan akhirnya berhenti di area parkir Namsan Tower. Lampu-lampu kecil menghiasi sepanjang jalan setapak menuju menara, memberikan suasana romantis yang klasik. Tempat ini adalah destinasi populer untuk pasangan, dan Riin merasa sedikit aneh berada di sini bersama Jae Hyun.
Jae Hyun turun lebih dulu, lalu memutar ke sisi Riin. Tanpa diminta, ia membantu melepaskan helm gadis itu. Tangannya sekali lagi bergerak terampil, dan Riin hanya bisa diam, membiarkan pria itu melakukannya. Ia tidak tahu apakah ini adalah bagian dari skenario atau hanya kebiasaan Jae Hyun yang selalu bertindak efisien.
“Kenapa kau memilih tempat ini?” tanya Riin akhirnya, mencoba memecah keheningan. Suaranya terdengar datar, tapi ia benar-benar ingin tahu.
“Tak ada alasan khusus,” jawab Jae Hyun sambil melangkah lebih dulu. “Ini hanya tempat pertama yang aku pikirkan.”
Riin mendengus pelan. ‘Pasti sangat membosankan berkencan dengannya,’ pikirnya. Ia mengikuti Jae Hyun dengan langkah yang lebih lambat, matanya mengamati sekeliling. Kerumunan pasangan yang terlihat mesra di sekitarnya membuatnya semakin sadar betapa aneh situasi ini.
Setelah berjalan beberapa saat, Jae Hyun berhenti di depan stasiun cable car. Ia menunjuk ke arah kendaraan yang bergerak perlahan di atas mereka.
“Mau naik?” tanyanya tanpa ekspresi.
Riin mengangguk. Rasanya percuma menolak. Ia tahu ia tak memiliki pilihan dalam situasi ini. Baginya, malam ini bukanlah kencan sungguhan, melainkan pekerjaan yang harus dijalani demi menyelesaikan masalah.
***
Jae Hyun dan Riin duduk berhadapan di dalam cable car yang perlahan bergerak menuju puncak Namsan Tower. Dari jendela kaca besar, pemandangan kota Seoul terbentang luas, dihiasi ribuan lampu yang berkelap-kelip seperti hamparan bintang di daratan. Angin malam membawa udara dingin yang merayap masuk, meski pintu kabel tertutup rapat. Suasana terasa tenang, hanya suara mekanisme cable car yang berderak lembut menemani perjalanan mereka.
Riin, yang awalnya merasa canggung dengan keheningan itu, akhirnya terpesona oleh pemandangan di luar jendela. Matanya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja menemukan sesuatu yang indah. “Wah…” gumamnya pelan. “Pantas saja banyak orang datang ke sini untuk berkencan. Pemandangannya luar biasa indah.”
Jae Hyun menoleh sekilas, menatap Riin yang tampak terkejut. Sebuah senyum kecil nyaris terlukis di wajahnya, tetapi ia dengan cepat mengalihkan pandangan. “Ibuku selalu ingin melihat bukti kalau aku benar-benar punya kekasih,” katanya tiba-tiba sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. “Kita perlu berfoto. Mendekatlah.”
Nada suaranya terdengar lebih seperti perintah daripada permintaan. Riin menatapnya, agak kesal karena sikap otoriter pria itu, tetapi ia memilih menurut. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, hampir menyentuh bahu Jae Hyun. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah pria ini pernah tahu caranya membuat suasana terasa santai.
“Lihat ke kamera,” ujar Jae Hyun sambil menyesuaikan posisi ponsel untuk menangkap sudut terbaik. Cahaya lembut dari lampu di dalam kabin membuat wajah mereka tampak lebih hangat dalam frame. Setelah beberapa jepretan, Jae Hyun memeriksa hasilnya dengan seksama. Ia memilih foto yang paling terlihat natural_setidaknya cukup untuk meyakinkan ibunya.
“Kau benar-benar serius dengan semua ini, ya?” Riin bergumam sambil menyilangkan tangan, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya.
Jae Hyun menatapnya, ekspresinya tetap datar. “Aku harus memastikan ini berhasil. Kalau tidak, ibuku akan terus mengatur kencan buta untukku, dan aku sudah muak dengan itu.”
Riin tertawa kecil, suaranya terdengar ringan seperti dentingan bel. “Lucu. Kau terlihat seperti pria yang tidak peduli dengan pendapat orang lain, tapi ternyata ibumu bisa membuatmu seperti ini.”
Jae Hyun tidak menanggapi. Sebaliknya, ia hanya memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ketika cable car berhenti di stasiun puncak, ia bangkit dan memberi isyarat agar Riin mengikutinya.
Di luar, udara terasa lebih dingin, tetapi lampu-lampu yang menghiasi area sekitar menara membuat suasana terasa hangat. Banyak pasangan yang berjalan bergandengan tangan, tertawa, dan berbagi momen kebersamaan. Di sudut area, dinding besar yang dipenuhi gembok warna-warni menjadi pusat perhatian.
Jae Hyun melangkah ke arah kios kecil yang menjual gembok dengan berbagai warna dan ukuran. Ia memilih sebuah gembok biru muda, lalu mengambil spidol dari meja penjual. Dengan gerakan tegas, ia menuliskan inisial namanya dan Riin di permukaan gembok tersebut.
“Ini, kau yang pasang,” katanya sambil menyerahkan gembok itu kepada Riin.
Riin mengerutkan dahi. “Kita benar-benar harus sedetail ini?” tanyanya, nada suaranya setengah bercanda tetapi juga sedikit heran.
“Ya,” jawab Jae Hyun tanpa ragu. “Ibuku akan memperhatikan setiap detail. Lagipula, hanya inisial. Tidak masalah, kan?”
Riin menghela napas pelan. Ia menerima gembok itu dan mendekati dinding besi yang sudah penuh sesak dengan gembok lainnya. Saat tangannya mengaitkan gembok di salah satu celah, ia merasakan sedikit getaran aneh di dadanya. Bukan perasaan romantis_melainkan kesadaran bahwa hubungan ini hanyalah ilusi.
“Apa aku juga harus membuang kuncinya?” tanyanya, mencoba menjaga nada bicara tetap ringan.
“Buang saja,” jawab Jae Hyun sambil berdiri di belakangnya. “Lagipula, petugas di sini juga membersihkan gembok-gembok ini secara berkala.”
Riin tersenyum tipis. “Romantis sekali,” gumamnya dengan nada sarkastik. Ia berjalan ke tepi pagar dan melemparkan kunci itu ke kejauhan. Suara kecil dari kunci yang jatuh ke dalam lembah di bawah hampir tidak terdengar, tetapi gerakan itu meninggalkan rasa kosong di hatinya.
Jae Hyun mengeluarkan ponselnya lagi, mengambil beberapa foto dari gembok yang baru saja mereka pasang. Setelah memilih foto yang sempurna, ia mengetik pesan singkat untuk ibunya, menyertakan gambar sebagai bukti.
Selesai dengan urusannya, ia mematikan ponselnya tanpa ragu.
Riin memperhatikan dengan alis terangkat. “Kenapa kau mematikannya? Bukankah ibumu akan langsung menelepon setelah ini?”
Jae Hyun menyandarkan tubuhnya ke pagar, menatap lampu kota di bawah. “Tepat. Dan aku tidak ingin menjawab seribu pertanyaannya sekarang. Lebih baik menghindarinya sementara waktu.”
Riin menggeleng pelan, sedikit terhibur oleh ketidaksediaan Jae Hyun menghadapi ibunya sendiri. “Jadi, apa sekarang kita sudah selesai?”
Jae Hyun menoleh, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit kehangatan dalam suaranya. “Belum. Aku lapar. Ayo kita makan malam.”
Riin mengerutkan dahi. “Apa itu juga bagian dari hubungan kontrak ini?”
“Tidak,” jawab Jae Hyun singkat. Ia berbalik dan mulai berjalan ke arah restoran terdekat. “Aku hanya lapar.”
***