Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
terlambat pulang
Sesampainya di rumah, Bagas membuka pintu dengan perlahan dan memasuki rumah. Ibu Bagas, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menyambutnya dengan senyuman.
"Kenapa baru pulang sekarang? Ibu udah nungguin dari tadi, loh," kata ibu dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada cemas.
"Maaf, Bu, tadi telat izin sama temen-temen. Nongkrong dulu sebentar," jawab Bagas sambil meletakkan jaketnya di kursi dan duduk di samping ibu.
Ibu Bagas mengangguk, meskipun terlihat sedikit khawatir. "Ibu tahu kok kalau kamu butuh waktu santai, tapi jangan terlalu sering, ya. Jangan sampai ganggu latihan kamu besok."
Bagas menghela napas, merasa bersalah karena tidak memberi kabar lebih awal. "Iya, Bu, gue janji nggak bakal sering kayak gini. Besok latihan, pasti fokus."
"Yah, ibu tahu kamu pasti mau yang terbaik. Tapi jaga juga kesehatannya, jangan sampai capek banget. Besok itu penting," ujar ibu dengan nada penuh perhatian.
Bagas hanya mengangguk, merasa nyaman dengan perhatian ibunya. "Iya, Bu. Gue akan jaga diri," jawabnya sambil tersenyum.
Ibu pun berdiri dan meraih segelas air untuk diberikan pada Bagas. "Ini, minum dulu. Sudah capek kan? Jangan lupa istirahat."
"Terima kasih, Bu," jawab Bagas sambil menerima gelas itu, kemudian menyesap air yang diberikan ibunya.
Sambil duduk santai, Bagas teringat pertandingan yang akan datang dan segala persiapan yang harus dilakukan. Ia tahu besok akan menjadi hari yang penting untuk timnya. Tapi, untuk malam ini, ia merasa lega bisa pulang ke rumah dan beristirahat sejenak bersama ibu.
Pagi itu, Bagas sudah berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya yang rapi, siap untuk memulai hari dengan penuh semangat. Meskipun pikirannya sedikit terganggu dengan pertandingan yang semakin dekat, ia tahu bahwa hari ini sangat penting. Selesai sarapan dan berpamitan dengan ibunya, ia pun berangkat ke sekolah dengan motor sportnya, sudah mempersiapkan diri untuk pertandingan uji coba melawan SMA Setia Bangsa.
Kegiatan belajar di sekolah pun berjalan seperti biasa. Di tengah materi pelajaran yang diajarkan, Bagas masih memikirkan persiapan tim basketnya. Ia tahu, pertandingan melawan SMA Setia Bangsa bukan hanya soal kebugaran, tetapi juga soal strategi dan kerjasama tim. Pelatih dan April sudah melakukan persiapan matang, termasuk menonton rekaman pertandingan terbaru SMA Setia Bangsa.
"Ini rekaman terakhir pertandingan mereka, Gas," ujar April sambil menyodorkan laptop kepada Bagas saat istirahat. "Kita pelajari pola permainan mereka, cari celah yang bisa kita manfaatkan."
Bagas mengangguk dan membuka rekaman video. Ia menyaksikan para pemain SMA Setia Bangsa yang besar dan kekar. Salah satu pemainnya yang paling mencolok adalah seorang pria tinggi besar, yang jelas sangat mengintimidasi. "Wah, ini dia 'Papa'," ujar Bagas, menyebutkan kode yang digunakan oleh pelatih untuk merujuk pada pemain yang paling berbahaya.
"Papa?" tanya April sambil menyimak.
"Ya, itu kode dari pelatih. Papa itu buat pemain yang paling dominan di tim lawan. Buat kita, 'Papa' ini harus jadi target utama, harus dihadang dan dijaga. Nggak boleh lengah," jawab Bagas sambil menatap layar laptop. "Tinggi dua meter, harus hati-hati."
"Wah, berat nih," ucap April dengan sedikit khawatir. "Tapi kamu bisa, Gas. Kamu emang paling siap, kita tahu kok."
Bagas tersenyum, meskipun sedikit merasa tertekan. Ia tahu tugasnya penting—menjaga Papa bukanlah hal yang mudah, tetapi ia sudah siap dengan segala persiapan dan strategi yang telah mereka rancang.
Setelah persiapan selesai, waktu yang dinanti pun tiba. Tim SMA Setia Bangsa akhirnya tiba di sekolah mereka. Bagas melihat mereka dengan seksama, para pemain yang terlihat sangat tinggi dan berotot, siap menghadapi mereka di lapangan. Ketika Bagas melihat "Papa", ia langsung mengenalinya—pria itu memang tampak jauh lebih besar dari pemain lain.
"Saatnya bertempur," bisik Bagas dalam hati, bertekad untuk menjaga "Papa" sebaik mungkin, apapun yang terjadi. Pelatih sudah memberi tahu Bagas bahwa tugas utamanya adalah menjaga pergerakan Papa, agar ia tidak menjadi ancaman besar bagi tim mereka.
Bagas menatap rekan-rekannya yang juga sudah siap dengan strategi. Mereka semua tahu, kali ini pertandingan bukan hanya sekedar uji coba, tetapi juga kesempatan untuk membuktikan kemampuan mereka melawan tim yang lebih besar dan lebih kuat.
.Pelatih berdiri di depan papan tulis yang sudah dipenuhi dengan nama-nama pemain. Semua mata tertuju padanya, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Di atas papan, nama-nama pemain tim pelatihan tertera jelas. Bagas bisa melihat namanya di urutan kedua, di bawah Dito, yang menjadi kapten tim.
“Baik,” ujar pelatih, mengangkat tangan untuk meminta perhatian. “Bapak akan memperlihatkan pemain yang akan bermain di kuarter awal. Nama-nama sudah tertera di papan. Dito, Rendi, April, Dika, Dino, kalian akan berada di kuarter pertama. Bapak ingin kalian mengeluarkan semua yang kalian bisa. Fokus, agresif, dan jangan terlalu banyak memberikan ruang bagi mereka.”
Bagas melihat ke arah papan, matanya memindai nama-nama yang tercantum. Dito berada di posisi pertama, yang berarti dia akan menjadi pemimpin di lapangan sejak awal. Rendi dan April juga berada di kuarter pertama, yang berarti mereka harus berjuang keras untuk memastikan tim mereka bisa unggul dari awal. Dika dan Dino, dua pemain yang cepat dan tangguh, juga akan bergabung di kuarter pertama untuk memperkuat serangan dan pertahanan tim.
“Jangan terlena,” lanjut pelatih. “Mereka punya pemain yang sangat besar dan kuat, terutama Papa. Kalian harus menjaga posisi kalian dengan baik. Fokus pada taktik, bukan hanya kekuatan fisik mereka. Kami bukan hanya ingin bertahan, kami juga harus menyerang.”
Bagas mengangguk, meresapi kata-kata pelatih. Ia tahu pertandingan kali ini akan jauh lebih sulit dari yang sebelumnya, dan dia harus siap menghadapi setiap tantangan. “Oke, Gas,” kata Dito sambil menepuk pundaknya. “Kita harus ngasih semua yang kita punya.”
“Ya, kita buat mereka terkejut,” jawab Bagas dengan senyum penuh tekad.
Setelah briefing singkat, tim segera menuju lapangan. Suasana semakin tegang ketika para pemain tim lawan dari SMA Setia Bangsa mulai bersiap. Pemain dengan tubuh besar dan kekar itu mulai berbaris, siap menunjukkan kekuatan mereka.
Bagas merasakan degup jantungnya yang semakin cepat. Saat ini, bukan hanya fisiknya yang diuji, tetapi juga kekuatan mentalnya. Ia harus bisa mengimbangi Papa yang tinggi besar itu dan menghalau setiap gerakan yang mencoba mengarah ke ring mereka.
Dengan peluit dari wasit yang menandai dimulainya pertandingan, tim SMA Pelita Bangsa langsung bergerak. Bagas langsung berfokus pada tugas utamanya, mengawasi setiap gerakan Papa yang sudah mulai melangkah maju.