Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Kita Pernah Ketemu?
Valeska menatap wajah Vincent yang sangat tegang, seperti lagi nonton film thriller dengan ending yang penuh plot twist. Dia tahu betul, lelaki itu pasti serius menanggapi cerita randomnya barusan. Tapi, kok serius amat?
Tidak kuat lihat ekspresi seriusnya, tawa Valeska akhirnya meledak juga.
“Hahaha! Ampun, Pak Vincent! Wajah anda … priceless banget!” tawa Valeska pecah sampai dia harus memegangi perutnya.
Vincent yang tadinya fokus mencoba mencernanya, malah terdiam. What the hell?
“Kenapa ketawa, Val?” tanyanya bingung.
“Duh, Pak Vincent percaya aja gitu sama omongan saya. Itu lucu banget!” jawabnya sambil terus terkikik.
Vincent mendengus. “Excuse me? Siapa juga yang nggak kaget dengar cerita lo, Val. Anak SMA ke bar buat cari om-om? You’re out of your mind!”
Tapi Valeska malah tertawa lebih keras. Air mata mulai menggenang di ujung matanya. “Hahahaha. Serius, deh. Wajah Pak Vincent tuh kayak ... kayak polisi yang baru nangkep koruptor.”
“Lucu di mana sih?” Vincent mendekat, tatapannya menghakimi. “Ini lo serius atau becanda?”
Valeska mengusap air matanya, mencoba menguasai diri. “Pak, masa saya terlihat desperate sampai harus jual diri demi uang?”
Vincent mengerjap, merasa pertanyaan itu menjebaknya. “Err, bukan gitu. Tapi kan … sekarang banyak aja remaja yang ngelakuin itu.”
“Well, not me, sir. Saya lebih milih kerja bener aja,” jawabnya dengan nada yang jelas terdengar agak tersinggung.
Vincent mengangguk kecil, mencoba menyudahi topik yang mulai terasa sensitif. Tapi rasa penasarannya belum hilang. “Terus, kenapa lo ada di bar waktu itu?”
Valeska menghela napas sambil melirik Vincent. “Cuma kepo doang, Pak.”
“Kepo?”
“Iya. Waktu itu abis acara ulang tahun temen, saya diajak Sony ke bar. Katanya, ‘Eh, Val, pengin tahu nggak rasanya nongkrong sama orang-orang kaya yang buang duit nggak pake mikir?’ Yaudah, saya bilang mau aja.”
Vincent ingin tertawa mendengar itu, tapi dia harus serius mendengarkan cerita Valeska. “Terus, lo minum?”
“Ya, nyobain doang.”
“Hasilnya?” tanya Vincent sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Yah, mabok berat. Bangun-bangun udah pagi, dan ada di kamar bar,” jawab Valeska santai, kayak lagi cerita soal telat masuk kelas.
Vincent diam, matanya terpaku pada gadis itu. Dia kelihatan santai banget cerita kejadian segila itu. Padahal di malam itu adalah malam yang tak akan mungkin bisa dia lupakan seumur hidup.
“Val,” panggil Vincent, nadanya serius.
“Iya, Pak?”
“Waktu mabok, lo …” Vincent menggantung kalimatnya. Ada pertanyaan besar yang menggantung di tenggorokannya, tapi dia ragu untuk mengatakannya.
“Kenapa, Pak?”
“Gapapa.” Vincent akhirnya menggeleng. Dia tidak mau nambah beban pikiran gadis itu—setidaknya untuk sekarang.
"Ish, aneh."
Vincent hanya menghela napas panjang, kemudian berkata, “Gue minta satu hal sama lo, Val. Next time, lo nggak boleh lagi masuk tempat begitu. Ngerti, kan? Gue nggak suka.”
Valeska hanya diam dan menatap wajah Vincent yang serius. Kemudian dia tersenyum, jelas bukan senyum bahagia tapi senyuman yang menyimpan sejuta kepedihan.
“Iya, Pak … Saya nggak mungkin masuk ke tempat yang sudah bikin saya trauma seumur hidup,” ujarnya lirih..
Kalimat itu menusuk Vincent lebih dalam daripada yang dia kira. Hatinya terasa berat, seperti ada beban yang nggak bisa dia definisikan.
......................
Tas belanjaan yang jumlahnya lebih banyak dari ekspektasi Valeska sekarang sudah diangkut ke dalam penthouse Vincent. Dua orang petugas apartemen yang membantu membawanya, termasuk security berwajah galak tapi berhati peri, sudah kembali turun setelah menerima beberapa lembar uang dari Vincent.
Sementara itu, Valeska berdiri di depan meja makan yang penuh dengan hasil buruannya tadi. Matanya berbinar melihat semua bahan makanan yang akhirnya bisa dia pilih sendiri tanpa mikirin harga.
“This is gonna take forever,” gumamnya sambil memutar otak harus mulai dari mana dulu.
“Val.” Suara Vincent memanggil sambil tangannya sibuk di layar ponsel.
“Ya?” Valeska melihat ke arah Vincent.
“Lo mau makan siang apa?”
Valeska menoleh, alisnya terangkat. “Bukannya harusnya saya yang nanya itu ke Pak Vincent?”
Vincent hanya mengibaskan tangannya. “Nope. Hari ini cukup sampai belanja aja. Lo nggak usah masak lagi. We'll order.”
“Tapi—”
“Nih, restoran kemarin? Lo suka?” potong Vincent tanpa memperhatikan keberatan Valeska.
Valeska menghela napas. “Pak, saya bisa makan di rumah nanti. Gak usah repot-repot.”
“Kalau gitu, ganti restoran, ya?” Vincent tetap asyik scroll layar ponselnya. “Seafood oke?”
“Pak Vincent, saya—”
“Done. Udah gue pesen.”
“Hah?” Valeska menatap lelaki itu dengan mulut setengah terbuka. “Tapi saya gak perlu dipesenin makanan, Pak.”
“Yah, udah telanjur.” Vincent menatapnya dengan ekspresi fake guilty yang jelas nggak tulus sama sekali. Senyum di ujung bibirnya udah nggak bisa disembunyikan lagi.
Valeska hanya bisa menghela napas panjang. This guy is unbelievable! Tapi ada sesuatu yang bikin dia sedikit geli melihat sisi santai dari seorang CEO. Valeska pikir selama ini kaau menjadi CEO maka akan selalu terlihat serius dan dingin seperti di drama-drama korea atau novel yang dia baca.
“Gue bantu apa, Val?” Vincent menawarkan diri.
“Kalau mau, cucikan buah aja, Pak.”
Vincent langsung bergerak. “On it!” Dengan penuh percaya diri, dia mulai membuka pintu-pintu lemari dapurnya. Tapi setelah sekian banyak pintu dia buka, nggak satu pun wadah untuk buah yang ketemu.
Valeska menahan tawa sambil mengamati kekacauan itu. “Pak Vincent,” dia akhirnya bertanya dengan nada menggoda. “Kapan terakhir kali masuk dapur?”
“Setiap hari,” jawab Vincent tanpa malu. “Ngambil air di kulkas.”
Valeska akhirnya meledak tertawa. “Astaga! Pak Vincent, serius deh!” Dia meletakkan pisau dan sayur di tangannya, lalu membungkuk untuk membuka lemari paling bawah. Instingnya benar: wadah besar untuk buah ada di sana.
“Nah, ini ada—” Valeska berdiri, tapi nggak sadar kalau Vincent ternyata ikut membungkuk ke arahnya.
DUGH!
“Aduh!” seru Valeska sambil memegang kepalanya.
“Akh!” Vincent meringis sambil memegangi dagunya yang kena benturan.
“Oh, ya ampun, maaf! Saya nggak sengaja, Pak!” Valeska langsung panik. Dia refleks mengusap dagu Vincent dengan lembut.
Sentuhan itu bikin Vincent langsung lupa sama rasa sakitnya. Fokusnya sekarang cuma pada tangan Valeska yang terasa hangat di kulitnya, dan wajah gadis itu yang begitu dekat sampai dia bisa lihat jelas setiap detailnya—dari alis yang sempurna sampai bulu matanya yang lentik.
Valeska merasa tatapan Vincent terlalu intens, dan itu bikin dia sadar kalau tangannya masih memegang dagu lelaki itu. Dengan gugup, dia menghentikan gerakannya, tapi nggak langsung menarik tangannya. Tatapan mereka terkunci lagi, persis seperti waktu di supermarket.
“Pak?” bisik Valeska pelan, nyaris nggak terdengar.
“Hm?” balas Vincent dengan suara serak.
“Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya Valeska ragu. Matanya menatap langsung ke dalam mata Vincent.
...****************...
bpak mau daftar??🙂