Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oh, Amirah..
Setelah kejadian malam itu, entah apa yang terjadi pada Tristan hingga dia langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun pada Amira.
Kepercayaan diri Amira langsung ciut. Dia jadi tidak enak hati kenapa Tristan pergi tiba-tiba dengan ekspresi wajah yang tidak enak dipandang begitu.
Hingga keesokannya Amira pulang kampung untuk menemui ibu dan adiknya. Amira sudah memberitahu Tristan melalui pesan singkat, tapi Tristan hanya membacanya saja, tidak membalas.
Dia tidak mau ambil pusing. Lebih baik fokus memperhatikan ibu dan adiknya dulu.
Amira mengambil air hangat dalam ember kecil dan dia basuh tubuh ibunya yang masih koma, mulai dari wajah, leher, lengan, hingga kaki menggunakan handuk kecil dengan sangat hati-hati.
Lengan ibunya yang sudah keriput, ikut terbawa saat Amira mengusapnya dengan handuk. Banyak bekas tusukan jarum di beberapa titik lengannya. Napas dibantu dengan alat dan makan pun pakai alat.
Mata amira berkedut memerah panas. Tak kuasa hatinya setiap melihat sang ibu terbaring kaku di atas bangsal rumah sakit dengan selang infus dan beberapa alat bantu di tubuhnya.
"Bu, cepet bangun, cepet sembuh. Amira bawain Ibu anting sama kalung emas. Gantiin emas Ibu yang kejual waktu ngelunasin hutang Bapak. Amira titipin ke Bi Desi dulu ya, nanti kalau Ibu udah sehat, Ibu pake. Amira juga udah nabung dari jauh-jauh hari. Kita pindah ke rumah yang lebih luas nanti, yang ada taman sama kolam ikannya kayak yang Ibu mau. Tapi, Ibu harus berjuang buat sembuh. Kita berjuang sama-sama ya, Bu," ucap Amira lirih sambil memasukan handuk ke dalam ember karena telah selesai membersihkan tubuh ibunya.
Dia beranjak bangun dan pergi untuk mengembalikan ember yang dia pinjam dari salah satu petugas kebersihan rumah sakit.
"Makasih ya, Pak," ucap Amira pada petugas kebersihan seraya menyerahkan ember berisi air yang sudah mendingin.
Begitu Amira berbalik, dia melihat Bi Desi yang sedang menyuapi Syifa makan siang di taman rumah sakit. Mereka tidak tahu kedatangan Amira.
"Ayo dong, makan Syifa. Nanti kalau kamu gak mau makan terus, Bibi yang kena marah sama Kakak kamu lho. Gak kasihan apa kamu ke Bibi?" bujuk Bi Desi yang terdengar oleh Amira sambil menyodor-nyodorkan sesendok nasi beserta sup ayam.
Amira tidak langsung menghampiri, dia melihat ada penjual permen kapas di depan gerbang rumah sakit yang memang tempatnya bersebelahan dengan taman.
Amira segera membeli satu dengan request dibentuk bunga mawar yang besar. Setelahnya dia bawa permen kapas itu menghampiri Syifa dan Bi Desi.
"Syifa?" panggil Amira sambil menyembunyikan wajahnya di balik permen kapas bunga mawar.
Syifa dengan tubuh yang mungil nan kecil menoleh ke sumber suara. Keningnya mengerut. Bola matanya memeriksa dari ujung kaki, siapa gerangan yang memanggilnya?
"Ayo, tebak, siapa ini?" kata Amira yang masih menyembunyikan wajahnya.
Kedua kalinya suara Amira terdengar, Syifa sudah dapat mengenali.
"Kakak!" seru gadis berusia 17 tahun berambut pendek itu dengan begitu antusias. Dia berharap dugaannya benar, kakaknya yang datang.
Barulah Amira memperlihatkan wajahnya dan Syifa pun berjalan cepat untuk memeluknya.
Amira membalas pelukan itu dengan erat dan lembut sambil memejamkan mata. Sudah hampir 2 bulan kakak-beradik ini tidak bertemu. Rindunya bukan main.
"Amira, kamu gak bilang sama Bibi mau dateng hari ini," ucap Bi Desi yang masih terkejut.
"Iya, Bi. Mau ngasih kejutan buat Syifa," ujar Amira sambil merekahkan senyumnya.
"Eh, kenapa tangan kiri kamu nyampe diperban gitu?" tanya Bi Desi yang baru sadar mengenai luka di telapak tangan Amira.
"Oh ini, gak apa-apa, Bi. Gaya-gayaan doang biar keliatannya keren, hihi," bualnya sambil cengengesan.
"Dek, Kakak bawain permen kapas. Bentuk bunga yang besar banget. Mau gak, nih? Kalau gak mau buat Bi Desi aja, ya?" goda Amira sambil menyodorkan permen kapas itu pada Syifa.
"Mau, mau!" Syifa langsung menyambarnya tanpa perhitungan, seperti anak kecil yang disodorkan mainan. Namun, Amira tidak membiarkan Syifa mendapatkannya dengan mudah.
"Ets, makan dulu. Baru nanti Kakak kasih," ucap Amira sambil menjauhkan permen kapas itu dari Syifa.
"Coba sini liat mangkuk supnya, Bi. Udah segimana makannya?" pinta Amira sambil merebut mangkuk dari tangan Bi Desi.
"Belum ada satu suap, Amira. Udah beberapa hari susah makannya," adu Bi Desi sambil menghela napas hampa.
"Haduh, haduh ... ini sih, masih utuh, Dek. Tadinya sekarang mau Kakak ajak kamu main ke pasar, beli baju baru sama sendal baru, tapi hmmm ... gak jadi deh. Kalau gak makan gimana mau ada tenaga main ke pasarnya?" sindir Amira sambil menatap Syifa penuh maksud.
"Ke pasar, Kak? Beli baju sama sendal?" Kedua mata Syifa langsung berbinar-binar.
Amira mengangguk.
"Emangnya Kakak punya uang?" celetuk Syifa dengan tatapan polos.
"Wah, udah pinter ngeledek ya, kamu. Uang Kakak banyak sekarang. Syifa mau apa aja, Kakak beliin. Tapi, harus makan dulu. Kalau gak makan, gak Kakak ajak ke pasar!"
"Iya, iya, Adek makan! Suapin ma Kakak, ya?" ucap Syifa manja sambil menarik sudut bibirnya.
"Huh, udah gede juga masih minta disuapin. Nanti makan sendiri, jangan nyusahin Bi Desi, ya. Nih, pegang dulu permen kapasnya." Amira menyerahkan permen kapas pada Syifa.
Bi Desi yang melihatnya dari samping hanya diam sambil senyum-senyum saja.
...
Dukung karya ini dengan Like & Komen ya, manteman...
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor