Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Keluarga Aiman
Sejak pagi Billa tidak henti-hentinya berdoa untuk menenangkan hatinya yang sedang gelisah bercampur takut, karena akan bertemu dengan keluarga Aiman. Sepuluh menit yang lalu, Aiman sudah memberitahu jika dia akan segera menjemput Billa dan hal itulah yang membuat Billa entah sudah berapa kali ke kamar mandi untuk buang air kecil karena gugup.
Billa mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai, berusaha untuk mengurangi rasa gugupnya, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin, detak jantungnya jangan ditanya, sudah mengalahkan genderang perang. Ia sudah berusaha melakukan segala cara untuk menghilangkan rasa gugupnya ini, namun tidak ada yang berhasil. Lututnya seolah tidak sanggup lagi menopang tubuhnya.
Gugupnya semakin bertambah ketika mobil Aiman sudah terparkir di depan kostnya. Dengan langkah gontai ia berjalan keluar, raut mukanya terlihat pucat. Aiman mengerutkan dahi begitu melihat Billa, ia sedikit khawatir melihat wajah pucat Billa.
“Kamu sedang sakit?” Tanya Aiman dengan nada khawatir.
Billa menghelas nafas dengan berat, “Gak Pak, saya sehat, sehat banget malah pak.” Billa menjawab dengan lesu.
“Tapi tampang dan suara kamu tidak terlihat sehat,” ujar Aiman.
“Saya jadi seperti ini gara-gara bapak?” Billa berbicara tanpa melihat ke arah Aiman, raut wajah Aiman jelas terlihat heran mendengar jawaban Billa.
“Maksud kamu apa? Saya tidak mengerti.” Sahut Aiman bingung.
“Saya takut pak,” ucap Billa dengan nada ingin menangis.
“Takut bertemu keluarga saya?” Tanya Aiman memastikan, dan hanya mendapatkan anggukan kepala dari Billa.
“Kan saya sudah bilang tidak akan terjadi apa-apa, percaya sama saya.” Tegas Aiman untuk meyakinkan Billa.
“Di Drama-drama kalau ada kejadian seperti ini, pasti si ceweknya bakalan di hina sama keluarga cowoknya.” Billa menyandarkan kepalanya ke dashboard mobil.
“Kebanyakan menonton drama membuat otak kamu tidak beres.” Ucap Aiman sambil melirik sinis ke arah Billa.
“Pokoknya bapak harus tanggung jawab,kalau seandainya mental saya rusak nanti karena dicaci maki oleh keluarga bapak.” Tuntut Billa.
“Iya saya akan tanggung jawab buat nanggung biaya kamu ke Psikiater nanti.” Ujar Aiman santai. Dan mendapat balasan tatapan tajam dari Billa.
Kini mobil Aiman sudah terparkir di depan rumahnya, dan ia mengajak Billa untuk turun dan segera masuk ke rumahnya. Namun Billa masih belum memiliki keberanian untuk melangkah.
“Tidak akan terjadi apa-apa, percaya sama saya. Sekarang ayo masuk!” Ajak Aiman namun Billa tetap bergeming di tempatnya.
Berulang kali ia menelan ludah dan mengatur nafasnya agar menjadi lebih teratur.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” Tanya Aiman menahan kesalnya melihat Billa belum beranjak satu senti pun dari tempatnya berdiri.
“Kaki saya gak bisa diangkat pak, berat banget rasanya.” Ucap Billa tertahan.
“Perlu saya gendong?” Goda Aiman, dan langsung membuat Billa membelalakkan matanya.
“Stress.” Gumam Billa begitu ia berjalan melewati Aiman yang tengah mengulum senyumnya karena melihat kekesalan di wajah Billa.
Aiman sedikit berlari untuk mensejajarkan langkahnya dengan Billa, “Tadi kamu bilang takut jumpa keluarga saya, sekarang malah buru-buru sekali mau masuk rumah.” Ledek Aiman. Dan membuat langkah Billa refleks terhenti.
Ia melirik ke arah Aiman dengan sedikit mendongak, mukanya langsung berubah pucat.
“Pak,” suara Billa tertahan.
“Kenapa lagi?” Tanya Aiman.
“Saya kebelet pipis,” rengek Billa, yang merasa jika ia harus segera buang air kecil. Aiman mengerjap, tidak menyangka akan apa yang Billa ucapkan.
“Ya sudah ayo masuk!” Ajak Aiman.
Billa seolah lupa bagaimana caranya bernafas begitu melihat Aiman membuka pintu rumahnya, kini bukan hanya ingin buang air kecil, Billa sepertinya juga ingin buang air besar. Perutnya benar-benar seperti diaduk dan akan mengeluarkan semua isinya.
Mata Billa melihat ada empat orang yang kini tengah tersenyum ke arahnya, laki-laki dan perempuan paruh baya namun tetap terlihat menawan itu pastinya orang tua Aiman, dan yang menggunakan jilbab berwarna mauve itu pasti lah kakak perempuan Aiman, dan yang menggunakan jilbab mocca itu sudah pasti adiknya, karena dialah yang terlihat paling muda di antara mereka.
Aiman mencium tangan kedua orang tuanya dan juga kakak perempuannya, sedangkan Billa masih terpaku di tempatnya.
“Sini sayang, ngapain bengong disitu.” Perempuan yang di tebak Billa sebagai mamanya Aiman, berbicara ramah ke arahnya.
Dengan dada yang bergemuruh, Billa mendekat ke arah mereka dan menyalami dengan sopan.
“Pasti Billa kan?” Tanya perempuan berjilbab mauve itu kepada Billa.
“Iya, saya Billa.” Ucap Billa yang tidak dapat menyembunyikan nada gugupnya.
“Kenalkan saya Rania, Mbaknya Aiman, ini Khalisa, adik bungsu kami.” Ujar Rania begitu ramah ke arah Billa.
“Salam kenal mbak, saya Billa, Salsabilla.” Detak jantung Billa menjadi sedikit lebih normal setelah mendengar bagaimana sambutan awal yang ia terima.
“Ayo duduk dulu Billa,” Papa Yusril mempersilahkan dengan ramah.
Billa merasa sedikit salah tingkah karena ditatap terus-terusan oleh keluarga Aiman.
“Gak salah sih kalo mas terpikat, wong ayu gini,” ucapan Mama Rumi membuat Billa berbunga-bunga.
“Ishh mama jangan di gituin nanti Billa malu loh,” canda Rania.
“Eh Bil, kok mau sama Aiman, dia kaku banget loh kayak ranting pohon,” Rania bertanya dengan santainya ke arah Billa, seolah-olah mereka sudah kenal lama.
Billa tidak tahu harus menjawab apa, ia hanya melemparkan senyum canggungnya ke arah Rania yang bertanya.
“Kak Billa gak di ancam kan sama mas Aiman untuk terima dia?” Kali ini Khalisa yang bersuara, dan mengundang tawa dari mereka.
“Udah dek jangan di ledek lagi mas kamu, lihat itu mukanya udah pengen nelan orang rasanya.” Ucapan mama Rumi menambah kekesalan di wajah Aiman.
Semua kekhawatiran Billa tentang keluarga Aiman menguap begitu saja, ia tidak menyangka akan diterima seperti ini di tengah-tengah mereka. Aiman persis terlihat seperti papanya, baik dari segi tubuh maupun sifat pendiamnya, namun papanya terlihat sedikit lebih hangat dibandingkan dengan Aiman yang memang terlihat seperti kutub utara.Kalau urusan wajah, Aiman mendapatkan itu dari mamanya.
Mama Rumi dan Mbak Rania tidak henti-hentinya membuka aib Aiman di depan Billa, dan itu sukses menjadi bahan tertawaan mereka. Namun Aiman seolah tidak peduli dengan itu, ia hanya senang bisa melihat Billa nyaman berada di tengah keluarganya.
Obrolan mereka terhenti karena kedatangan 3 orang tamu, Billa menebak jika yang datang itu adalah sepasang suami istri dan anak gadis mereka, mata Billa menyipit melihat perempuan cantik dengan dress sebetis berwarna sage yang seolah familiar di matanya. Billa mengingat perempuan yang sudah dua kali ditemuinya itu, di Cafe dan di Mall, ya itu adalah Aruna.