Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinding
Nurlela dan Ellena pulang dengan wajah ditekuk masam. Itu dikarenakan kabar yang beredar bukan sekedar isapan jempol semata, tapi kenyataan. Nurlela dan Ellena akhirnya benar-benar merealisasikan rencananya untuk mencari kebenaran siapa pemilik Kampung Kita Resto. Mereka bahkan sengaja mendatangi cabang restoran yang lain sebab menurut Ellena, bisa jadi pegawai di restoran yang kerap mereka datangi sudah kongkalikong dengan Yaya. Mereka akan mengaku-ngaku kalau Yaya-lah owner Kampung Kita Resto. Alhasil, mereka pun datang ke cabang lain meskipun jaraknya memang sedikit jauh dari kediaman mereka.
"Pelayan, ke sini sebentar!" panggil Ellena pada pramusaji yang baru saja lewat.
"Iya, Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya pramusaji itu sopan.
"Em, saya mau tanya, owner Kampung Kita Resto ini siapa ya? Kami suka dengan konsep restorannya. Kami ingin sekali bekerja sama dengan beliau. Siapa tahu 'kan ownernya mau bekerja sama kayak sejenis frenchise gitu." Ellena berucap dengan wajah meyakinkan. Namun pramusaji itu justru menatapnya dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa liatin saya kayak gitu? Kamu nggak percaya kalau saya punya uang dan mau bekerja sama dengan owner Kampung Kita Resto ini? Kamu itu hanya pramusaji, jangan sok menilai orang lain." Ellena kesal karena pramusaji itu menatapnya seperti itu.
"Jawab saja apa susahnya sih! Kalian itu digaji untuk bekerja bukan untuk menilai orang lain seenaknya. Apa kau ingin saya laporkan atau viralkan di sosial media biar malu sekalian," ketus Nurlela yang angkat bicara.
"Eh, i-iya, maafkan sikap saya barusan, Bu. Saya tuh tidak berniat seperti yang ibu tadi katakan."
"Ya sudah, jawab aja dengan cepat, siapa nama ownernya. Jangan-jangan saya kenal 'kan!" ucap Nurlela.
"Nama owner Kampung Kita Resto itu Bu Rayana, Bu. Atau lebih sering dipanggil Bu Yaya," ucap pramusaji itu.
"A---apa? Kamu beneran 'kan? Kamu ... nggak salah orang 'kan!" Ellena bahkan mengeluarkan ponselnya dan mencari foto Yaya saat acara pernikahan. Pramusaji itu melihat, kemudian mengangguk dengan sedikit raut keheranan.
Namun beda dengan raut wajah Nurlela dan Ellena, mereka benar-benar speechless. Tak tahu harus berkomentar apa lagi.
...***...
Semakin hari, Yaya dan Rafi semakin dekat saja. Apalagi setelah Rafi tahu kalau Yaya memilliki projek pembangunan restoran di sekitar sana. Namun Yaya tidak secara gamblang menyebutkan kalau itu merupakan cabang restoran miliknya sendiri.
"Astagfirullah," pekik Yaya terkaget-kaget saat membuka pintu apartemen, ia justru mendapati seseorang yang berdiri dengan tangan menggantung di udara.
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang yang tak lain adalah Rafi itu. Ia berdiri menjulang dengan setelan celana pendek berwarna navy dan kaos tanpa lengan berwarna putih. Otot-ototnya yang kencang terlihat memukau. Apalagi ditambah kulitnya yang kuning langsat plus senyum cerah membuat Yaya sedikit terpana.
"Wa'alaikumussalam. Kamu Raf, bikin kaget saja." Yaya berdecak. Rafi justru terkekeh. Rafi memang sudah tahu dimana unit milik Yaya. Mereka ternyata tinggal di satu gedung apartemen yang sama. Hanya saja, mereka berbeda lantai. Unit Rafi ada satu lantai di atasnya.
"Maaf, Mbak. Rafi tadi tuh mau tekan bel, eh keduluan pintu dibuka. Jadi jangan salahkan Rafi dong!"
Yaya mendengus, kemudian tersenyum. "Ada apa nih pagi-pagi udah berdiri di sini?"
"Mau ajak Mbak joging. Kayaknya kita sehati deh, buktinya Mbak juga pakai setelan olahraga. Warnanya pun sama. Cuma beda aku celana pendek, Mbak pake training. Baju kaosnya pun warnanya sama. Kayaknya itu sinyal jodoh deh," seloroh Rafi membuat Yaya tergelak. Hari itu memang weekend. Daripada bengong karena tak ada kesibukan, Yaya pun memilih untuk joging sendiri. Sebenarnya ia ingin mengajak Anjani, tapi gadis itu sedang datang bulan. Alhasil, ia sedang tidak mood untuk joging dengan Yaya.
"Ngarang, kamu. Udahlah. Kebetulan Mbak emang mau lari ini. Ayo, entar keburu siang."
Rafi pun mengangguk. Mereka pun segera beranjak untuk joging bersama di taman dekat apartemen tempat mereka tanpa sengaja bertemu beberapa malam yang lalu.
Yaya dan Rafi berlari santai sambil bercengkerama. Keduanya tampak ceria. Tawa lepas terus terukir di bibir Yaya. Seolah tak pernah ada masalah yang membelitnya. Sepintar itu ia memang menyembunyikan luka-lukanya. Namun saat sedang sendiri, luka itu masih kerap membayang. Apalagi saat ia tanpa sengaja melihat story milik Marissa dan Andrian. Tak ingin membuat hatinya semakin terluka, Yaya akhirnya memilih memblokir kedua nomor orang tersebut. Termasuk nomor ibu Andrian yang entah kenapa sudah beberapa kali berusaha menghubunginya. Yaya yang tak ingin kembali mendengar kata-kata menyakitkan dari Nurlela lantas ikut memblokir nomornya. Pokoknya, semua nomor yang berhubungan dengan Andrian sudah ia blokir. Ia anggap tidak pernah mengenal orang-orang itu.
"Mbak udah capek?" tanya Rafi saat melihat Yaya berhenti sambil menopang kedua telapak tangannya di lutut.
"Lumayan. Mana haus juga," ujar Yaya sambil menyeka keringat di dahinya. Melihat gerakan Yaya menyeka keringatnya membuat jantung Rafi deg-degan. 'Ya ampun, kok ku cantik banget sih, Mbak. Padahal cuma adegan lap keringat, tapi kok kelihatan cantik banget,' Rafi membatin dalam hati. Padahal Yaya tampak polos tanpa mengenakan apapun di wajahnya. Hanya pashmina berwarna hitam yang menutupi rambutnya, tapi kok bisa membuatnya pangling.
"Kamu kenapa, Raf?" tanya Yaya penasaran saat Rafi sibuk memandanginya. Rafi reflek terlonjak. Ia memalingkan wajahnya yang bersemu merah.
"Ng-nggak papa kok, Mbak. Oh ya, di sana ada penjual bubur ayam, Mbak mau?"
Yaya lantas mengikuti arah pandang Rafi. Ia pun setuju. Mereka lantas mampir ke warung tenda yang menjual bubur ayam itu.
...***...
"Mbak, kayaknya Rafi itu suka sama Mbak deh," ujar Anjani di sela makan siang mereka.
"Dih, mana ada. Jangan ngarang kamu," jawab Yaya sambil menggelengkan kepalanya. Ia merasa lucu dengan apa yang barusan Anjani ucapkan.
"Seriusan, Mbak. Emang Mbak nggak nyadar apa gimana perhatian Rafi sama Mbak. Bahkan dari tatapannya aja Jani bisa liat lho kalau Rafi itu suka sama Mbak," tambah Anjani lagi.
"Sekedar suka. Suka 'kan banyak artinya, Jani. Suka sebagai kakak perempuan mungkin. Apa kamu nggak liat perbedaan umur kami? Lumayan jauh deh kayaknya. Sekitar 6-7 tahun, mungkin."
"Ah, Mbak, itu mah nggak jauh atuh. Keren lho, Mbak, bisa dapat berondong."
"Keren dari mananya?" Yaya tersenyum geli.
"Keren lah, bisa dapat berondong, calon dokter tampan pula. Alamak, kalo aku yang ditaksir, nggak bakal mikir dia kali, auto terima. Emak di kampung, pasti bangga dengar kabar aku dapat jodoh calon dokter muda." Anjani menangkup pipinya yang memanas.
Yaya terdiam. Rafi memang sangat perhatian padanya. Padahal ia belum lama saling mengenal, tapi Rafi sering menanyakan kabar padanya, mengiriminya sarapan buatannya. Bahkan mereka sudah beberapa kali makan malam bersama, tapi Yaya tidak terpikir sama sekali kalau laki-laki itu menyukainya. Apalagi perbedaan umur terlihat kentara. Yaya pikir, Rafi pasti melakukan itu karena teringat dengan kakak perempuannya. Yaya memang tidak mengetahui tentang Rafi. Pun Rafi. Mereka tak pernah mau bertanya tentang keluarga apalagi masa lalu masing-masing. Mereka sadar, perkenalan mereka masih terlalu singkat, rasanya tak etis untuk terlalu kepo tentang kehidupan keluarga masing-masing.
...***...
Malam harinya, Yaya hendak pergi ke minimarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari dirinya. Saat keluar apartemen, lagi-lagi ia mendapati Rafi sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya.
Degh ...
Melihat tatapan Rafi, ditambah apa yang Anjani katakan tadi membuat jantung Yaya sontak berdebar sendiri.
'Apa-apaan kamu ini, Yaya. Jangan kege'eran. Belum tentu Rafi baik sama kamu tuh karena suka. Jangan mudah ge'er. Malu sama umur. Masa' dicengin anak muda langsung ge'er sih.'
Yaya memperingatkan dirinya sendiri agar tidak mudah ge'er. Apalagi saat ingatannya terlempar ke masa lalu. Karena mudah ge'er, ia jadi tertipu habis-habisan oleh mantan suaminya. Ia tak ingin kesalahan yang sama terulang. Ia pun kembali membangun dinding yang kokoh di hatinya agar tidak mudah terbuai oleh perhatian lawan jenisnya.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
Masih betah di sini thor 😍😍
moga besok ending ny diperpanjang up ny kk.... biar baca'x enak sambil ngeteh+pisgor....