"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: ... Bebas
pagi terasa dingin, Ryan melangkah ke sekolah dengan perasaan aneh. Tubuhnya terasa lebih ringan, meskipun pikirannya masih dibayangi oleh mimpi buruk semalam. "Cuma mimpi, jangan terlalu dipikirin," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Dia berjalan menuju kelasnya, wajahnya sedikit murung. Di depan pintu, Ryan berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam. "Semangat... semangat," pikirnya, mencoba membangun mentalnya sebelum masuk ke dalam.
Begitu pintu kelas terbuka, suasana di dalam terasa lebih hidup. Tawa dan obrolan ringan sudah mulai mengisi ruangan. Meja-meja berbaris rapi, kursi-kursi sudah terisi beberapa siswa. Di papan tulis, coretan-coretan pelajaran matematika masih tersisa. Seolah guru terlalu malas untuk menghapusnya.
Ryan berjalan menuju tempat duduk favoritnya di dekat jendela. Langit di luar tampak cerah, biru tanpa awan. Matahari pagi mulai menyinari kelas, cahayanya terasa hangat di wajahnya. "Langit yang indah... tapi kenapa hatiku tetap berat?" pikirnya sambil duduk.
Goresan-goresan di meja tempat duduknya menarik perhatiannya lagi. Entah sejak kapan coretan itu ada, tapi setiap hari Ryan selalu terpaku padanya. "Apa ini goresan tanpa makna atau justru jejak seseorang yang ingin meninggalkan kenangan?" pikirnya.
Pikirannya melayang kembali ke kemarin malam. Momen kecil bersama Hana yang membuatnya merasa tenang. Mereka ngobrol ringan, hal-hal yang nggak penting tapi terasa menenangkan. "Soda itu... entah kenapa bisa bikin aku tenang," gumamnya. Hana dengan gaya santainya membuat segalanya terasa ringan. "Dia... bikin hidupku nggak terlalu suram," batinnya sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka menarik perhatiannya. Ryan menoleh, dan melihat Hana masuk ke dalam kelas. Dengan tenang, dia melangkah, seragamnya rapi, rambut panjangnya bergelombang lembut. Tatapan matanya lurus ke depan, seolah mencari sesuatu, atau seseorang.
"Eh, pagi Hana!" seru salah satu teman sekelas. Hana membalas dengan senyum kecil, tapi tatapannya terus mencari. Lalu, matanya bertemu dengan Ryan.
Senyum Hana semakin lebar. Dia melangkah cepat ke arah Ryan, membuat Ryan tersentak. 'Kenapa dia mendekat...?' pikir Ryan, wajahnya mulai memanas.
Tanpa disadari, Hana sudah berdiri tepat di depannya. Senyumnya begitu dekat, napasnya terasa di wajah Ryan. "Selamat pagi," ucap Hana lembut, membuat Ryan semakin gugup.
"P-pagi," balas Ryan kaku, wajahnya memerah. "Kenapa aku selalu gugup di dekat dia?" batinnya.
"Kamu lagi melamun ya?" tanya Hana sambil tertawa kecil, membuat Ryan makin salah tingkah.
Ryan menunduk sedikit. "Iya... mungkin," jawabnya lirih.
"Mikirin apa sih?" Hana menatapnya dengan mata berbinar.
"Ah... nggak ada yang penting," elaknya sambil mengalihkan pandangan. Tapi bisikan-bisikan mulai terdengar dari sekeliling.
"Serius? Ryan?" bisik seorang siswa. "Kenapa Hana dekat banget sama dia?"
"Dia kan biasa aja, kenapa bisa ngobrol sama Hana?" tambah yang lain.
Kata-kata itu menusuk Ryan. Bisikan-bisikan itu terdengar semakin keras, membuat dadanya terasa berat. "Kenapa mereka harus begini? Kenapa mereka selalu melihat aku aneh?" pikirnya, sambil menunduk.
Hana sepertinya menangkap perubahan ekspresinya. Dia mendekatkan wajahnya, berbisik. "Hei, nggak usah peduliin mereka," katanya lembut.
Ryan hanya bisa mengangguk pelan, tapi tetap menunduk. "Kau nggak seharusnya dekat sama aku," gumamnya hampir tak terdengar.
"Apa?" Hana mendekatkan wajahnya lebih dekat, penasaran.
"Kau nggak perlu dekat sama aku," ulang Ryan, kali ini lebih jelas. "Mereka bakal ngomongin kita."
Hana menatapnya lembut. "Kenapa? Aku mau kok," jawabnya tanpa ragu.
"Tapi... mereka..."
"Biarin aja mereka. Aku nggak peduli," Hana memotong dengan suara tenang.
Ryan terdiam, kata-kata Hana membuatnya bingung tapi juga hangat. 'Kenapa dia baik sangat baik padaku?' pikirnya.
Tiba-tiba, Hana menggenggam tangannya. "Ayo, ikut aku," katanya sambil menarik Ryan bangkit dari kursi.
"Eh, mau ke mana?" Ryan panik.
"Sudah, ikut saja," kata Hana sambil tersenyum. Tanpa memberi waktu bagi Ryan untuk protes, dia menariknya keluar kelas. Beberapa siswa mulai menatap mereka dengan heran.
"Kenapa mereka tiba-tiba keluar?" bisik seseorang.
Ryan merasa makin gugup, tapi Hana terus menariknya. "Tenang aja, aku nggak bakal nyakitin kamu, kok," kata Hana, sambil menoleh dan tersenyum. "Percayalah padaku."
Mereka berjalan menyusuri koridor, melewati beberapa siswa yang memperhatikan mereka dengan penasaran. Ryan mulai merasa aneh, tapi anehnya dia juga merasa senang. "Kenapa aku merasa... senang?" pikirnya.
Hana berhenti di depan tangga menuju atap sekolah. "Kita ke sini," katanya sambil membuka pintu menuju atap. Mereka naik bersama. Udara segar langsung menyambut, angin lembut meniup wajah mereka.
"INdah, kan?" kata Hana sambil menatap jauh ke arah langit kota.
"Iya... indah," jawab Ryan sambil mengagumi pemandangan. Tapi di dalam benaknya, dia bertanya-tanya. "Kenapa aku dibawa ke sini?"
Hana menoleh ke arah Ryan, matanya lembut, seolah mengerti keraguannya. "Aku suka ke sini sendirian akhir-akhir ini. Tempat ini bikin aku tenang," kata Hana pelan. "Dan sekarang, aku membawamu ke sini, karena aku ingin kamu merasakan ketenangan yang sama."
Ryan terdiam. Kata-kata Hana membuatnya merasa hangat. 'Dia... serius?' pikirnya.
"Jangan dengerin omongan orang lain. Kamu itu berharga, ngerti?" kata Hana dengan nada tegas tapi lembut.
Ryan hanya bisa menatapnya, terdiam. Dalam hatinya, dia merasa... dihargai. "Terima kasih," ucapnya pelan.
Hana tersenyum. "Sama-sama."
Mereka berdiri di sana, menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan kota. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ryan merasa dunia tak seberat biasanya.
"Hidup memang berat," kata Hana tiba-tiba, "tapi kalau kita berbagi, semuanya jadi terasa lebih ringan."
Ryan mengangguk. "Iya, aku... paham sekarang."
"Jadi, mulai sekarang, kalau ada apa-apa, jangan simpan sendiri. kamu bisa cerita, aku ada untuk mendengarkan," lanjut Hana.
"Oke," jawab Ryan sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli.
Mereka tertawa kecil bersama. Dan di saat itu, Ryan merasa... bebas.
...----------------...
"Kadang dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung sendiri, tapi dengan berbagi, beban itu jadi lebih ringan. Karena pada akhirnya, kita semua butuh seseorang yang mengingatkan kalau kita berharga."
"Bagi dunia kamu satu orang, tapi bagi satu orang kamulah dunianya."
BY: RYN
quote motivasi untuk semua😁
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂