Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Dua - Libur Diperpanjang
Amara tidak menyangka anak sekecil itu bisa menghasut pikiran suaminya. Benar-benar sudah tidak benar didikan Cindi pada Alea. Amara memilih masuk ke dalam kamarnya, ia tidak mau lagi berurusan dengan Alea yang nantinya malah membuat salah paham, dan suaminya lebih memilih menyalahkan dirinya, daripada mendengarkan pendapatnya.
Selama ada Alea, Amara jaga jarak dengan suaminya, juga Alea. Hubungan Amara dan Alvaro makin merenggang, karena kedatangan Alea. Selama Alea di rumahnya, Amara lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar, ia membiarkan Alea diasuh oleh asisten di rumahnya, toh di rumahnya tidak kekurangan asisten. Jika Alvaro sudah pulang, dialah yang menjaga Alea. Bukan Amara tidak mau menjaganya, itu semua karena Alea yag membuat jarak dengan Amara, jadi Amara memilih menenangkan diri, supaya kewarasannya tetap terjaga.
Untung saja besok Amara sudah mulai bekerja lagi setelah tiga hari diliburkan. Jadi dia tidak terlalu setres karena harus mengurung diri di kamarnya terus. Amara besok sudah bisa berangkat kerja dengan menggunakan sepeda motor barunya. Sepeda motor matic yang dibelikan oleh Alvaro sudah datang kemarin sore.
Amara mendengar ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Dewi. Amara langsung menerima panggilan Dewi. Ia sudah kangen dengan temannya itu.
“Hallo, Wi?”sapa Amara.
“Ara ... aku kangen ....,” ucapnya hebob membuat Amara terkikik.
“Bilangnya kangen, tapi dari kemarin sombong sekali kamu gak pernah chat atau telefon aku selama aku libur? Besok aku berangkat, sudah gak usah kangen-kangen lagi deh!” ucap Amara menyindir.
“Aku sibuk sekali, Ara. Oh ya Ara, aku mau menyampaikan sesuatu, tapi aku minta kamu jangan kaget, ya?” ucap Dewi dengan sedikit ragu.
“Mau menyampaikan apa, Wi?” tanya Amara penasaran.
“Ra, tadi bagian personalia bilang, katanya kamu masih disuruh libur sampai satu minggu, jadi kamu bisa berangkat kamis depan, tadi aku disuruh menyampaikan padamu,” ucap Dewi.
“Kenapa gak hubungi aku langsung, Wi?”
“Itu dia, aku juga gak tahu. Aku yakin ini ada hubungannya dengan masalah kakak iparmu kemarin, Ra. Soalnya kemarin aku lihat Kakak Iparmu ke sini lagi, ketemu sama Pak Yadi lagi kayaknya?” ucap Dewi.
“Ya sudahlah kalau memang harus begitu, mau gimana lagi?” ucap Amara pasrah. “Kalau pun dipecat, aku juga tidak masalah,” imbuhnya.
“Ra ... jangan bilang gitu dong?”
“Ya kalau memang gitu gimana, Wi?”
Amara mengakhiri panggilannya dengan Dewi. Tidak ia sangka akan berdampak separah itu, hanya karena berdebat dengan Vira seperti itu, Amara harus libur lebih lama lagi.
^^^
Keesokan harinya, di sore hari rumah Amara terdengar begitu ramai. Cindi bersama dengan Vira dan Ibu Mertua Amara datang ke rumah untuk menjemput Alea. Mereka heboh sekali, bahkan tidak menghiraukan Nyonya di rumah itu. Amara malah menghabiskan waktunya untuk berkebun, memperbaiki tanaman yang dirusak oleh Alea saat itu. Amara sibuk di sana, dia sedang menyemai biji-biji sayuran di media tanam, juga mempersiapkan bibit sawi untuk ia tanam lagi, karena kemarin dirusak semua oleh Alea.
“Ra?” Alvaro mendekati Amara yang sedang di kebun, Amara hanya menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Kamu gak gabung dengan mereka? Itu kan ada mama di sana?” tanya Alvaro.
“Lagi beresin tanaman yang kemarin rusak, Mas,” ucap Amara cuek.
“Sayuran kan bisa beli, Ra? Kenapa mesti repot tanam sendiri? Supermarket banyak kok?”
“Aku pengin yang asli, yang natural, tidak pakai obat-obatan kayak pestisida, semua sayuran ini kualitasnya bagus, tidak menggunakan pestisida kimia, aku pakai alami semua pupuknya, jadi sudah terjamin sehatnya,” jelas Amara tanpa melihat suaminya, dia terus sibuk dengan tanamannya.
“Mas minta maaf, ya?”
“Maaf untuk apa? Apa mas melakukan kesalahan padaku?” ucap Amara.
“Maafkan mas, Ra. Mas mohon padamu, jangan diamakan mas begini, Ra. Kamu dari kemarin ngomong sama mas singkat dan seperlunya saja,” ucap Alvaro, yang sudah tidak tahan didiami oleh Amara. Alvaro tahu Amara sangat marah padanya, meski dia masih mau menjawab dan berbicara lembut saat diajak ngobrol.
“Aku gak mendiamimu, kalau aku diamin mas, aku gak bakalan mau jawab kalau mas tanya,” ucapnya.
Alvaro masih berada di dekat Amara, dia melihat Amara dengan telaten menyiapkan benih-benih, menatanya satu per satu. Pantas Amara begit marah karena apa yang sudah ditanam malah dirusak oleh Alea.
“Mas, dipanggil mama!” suara perempuan terdengar begitu keras, memanggil Alvaro.
“Tuh kamu dipanggil mama, Mas. Sana masuk, jangan di sini, nanti kotor, mas gak pantas kotor-kotoran seperti saya ini, maklum saya orang kampung jadi begini, sukanya kotor-kotor,” ucap Amara.
“Ayo sama kamu ke sananya,” ajak Alvaro.
“Enggak ah, di dalam panas!” jawabnya santai.
Tidak ada lagi guratan kekecewaan pada wajah Amara, ia seakan tidak peduli lagi, apa pun yang akan dilakukan suaminya. Alvaro benar-benar kehilagan senyum manis Amara yang selalu menghiasi wajah Amara setiap hari.
“Ya sudah, aku akan temani kamu saja di sini, ada yang perlu aku bantu? Mau aku isikan air di bak ini?” tanya Alvaro.
“Itu sudah ada kok, gak usah, Mas. Lebih baik mas ke dalam saja,” ucap Amara.
“Om ....” Alea menyusul Alvaro di kebun, baru saja Alvaro ingin berbaik hati dengan Amara, tapi ada saja penghalangnya.
“Ada apa hmm?” tanya Alvaro.
“Om dipanggil oma,” ucapnya dengan bergelayut manja.
Amara tersenyum sumbang, karena mertuanya bahkan mengakui Alea cucunya.
“Iya, nanti Om ke sana, Om lagi sama Tante Ara, nih lagi bantuin naman sayur lagi, kemarin kan dirusak Alea?” ucap Amara.
“Om, kenapa sih harus sama Tante Ara?!” ucapnya kesal.
“Tentu saja Om selalu dengan Tante Ara, kan Tante Ara istri om?” ucap Alvaro memberikan pengertian pada Alea.
Alvaro menatap Alae yang sedang mendelik menatap Amara. Terlihat jelas Alea tidak suka dengan Amara, padahal Amara sudah baik denggan, Amara sangat baik pada anak kecil, akan tetapi Alea malah membencinya.
“Udah sana, Mas masuk saja, pasti mama sudah menunggu mas dari tadi. Nanti dikira aku yang melarang mas gak boleh ke sana,” ucap Amara.
“Aku nunggu kamu saja, kita ke sana bareng,” ucap Alvaro.
“Aku sebentar lagi, sana mas masuk dulu.”
“Kita masuk bareng, Amara!”
“Lagian kalau habis ini aku mau mandi, mau bersih-bersih, tanganku kotor, bajuku juga kotor?” ucap Amara.
“Iya gak apa-apa, aku tunggu kamu di sini!”
“Om ayo ih!”
“Alea sana dulu, om mau di sini sama tante dulu, kamu mengerti?” ucap Alvaro tegas.
“Om jahat!” ucap Alea lalu berlari masuk ke dalam dengan teriak.
Alvaro menuggu Amara sampai selesai, setelah selesai, Amara masuk ke dalam bersama Alvaro. Namun, Amara tidak ikut ke ruang keluarga, dia hanya melewati saja, lalu ke atas, menuju kamarnya.