Oh, My Teacher

Oh, My Teacher

Guruku Canduku

Sebuah pesan masuk dari nomor sang Ibu mengejutkan Amira saat setelah dia memasuki gerbang sekolah. Yang pada mulanya datang ke sekolah dengan suasana hati bahagia, kini meredup seutuhnya setelah membuka isi pesan tersebut.

'Amira, ini Bi Desi. Ibu masuk rumah sakit lagi. Syifa juga kumat lagi. Bibi gak bawa HP, jadi pake HP Ibu hubungi kamu. Sekarang lagi di RS.'

Kedua mata gadis cantik berambut hitam sepinggang itu berkedut memerah panas, bibirnya mengerucut. Ternyata ada panggilan tak terjawab sebanyak 5 kali sebelum pesan itu muncul.

Setelah ayahnya meninggal, dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia hidup dengan ibunya yang penyakitan dan adiknya-Syifa yang memiliki kelainan sejak lahir.

Dengan usianya yang baru menginjak 19 tahun, sudah banyak yang dia pikul dipunggungnya. Rasanya berat sekali.

"Woi, Amira! Ngelamunin apa, sih? Aku panggil dari gerbang gak nengok-nengok," kata Uci, teman sebangkunya bermata sipit dengan rambut bergelombang sebahu.

Amira sampai terlonjak kaget ketika Uci menepuk bahunya dengan cukup kencang saat dia sedang larut dalam pikiran.

"Bikin kaget mulu, ih. Bisa jantung aku lama-lama!" gerutu Amira sambil memasukkan ponselnya dan berusaha menyembunyikan mimik wajahnya.

"Lagian fokus banget sama HP. Ada berita apa emang pagi ini?" tanyanya penasaran sambil mengerlipkan mata.

"Berita apaan? Gak ada. Cuma lagi ngaca aja tadi, kagum sama muka sendiri yang bening banget, nyampe terharu aku, hwehehe ...."

"Idih, amit-amit. PD-nya udah gak ketulungan."

"Hahahaa ... eh, ngomong-ngomong mana si Sofi? Tumben gak bareng," tanya Amira sambil melanjutkan langkahnya menuju kelas 12 MIPA-2.

"Noh, dibelakang lagi nyengir kayak orang stres." Uci menggerakan kepalanya, menunjukkan keberadaan Sofi dibelakang mereka.

Benar saja, teman satunya itu sedang tersenyum lebar sampai deretan kawat gigi berwarna biru yang dikenakannya terlihat seutuhnya.

"Lagi ngomongin aku, ya?" goda Sofi cengengesan. Dia langsung berbaur dengan Amira dan Uci.

"Iya nih, kita lagi mikir kapan kawat gigi kamu dicopot. Risih banget liatnya. Nangisin si Farel juga bisa-bisanya sambil nyengir kemaren," gurau Uci sambil mengulum senyum.

"Wkwkwk, iya dong. Nangis versi aku itu bukan yang cemberut, tapi tersenyum. Kawat gigi mahal nih, sayang kan kalo gak pamer, haha ...," sahut Sofi sambil terbahak. "Eh, aku udah syantik belum? Coba tebak ada yang beda gak?"

Amira dan Uci melihat secara seksama dari ujung kaki hingga kepala Sofi, tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Mereka pun menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Ih, masa gak ada. Ada, ah." Sofi terkekeh.

"Apaan? Sama kok kayak biasanya," ujar Amira heran.

"Muka aku! Kemaren paket skincare sama bedak dari Korea aku dateng. Aku coba hari ini, masa gak keliatan glowing?"

"Ya ampun, baru juga pake masa udah keliatan hasilnya. Tunggu beberapa hari dulu kali," ucap Uci sambil menepis bahu Sofi dengan gemas.

"Hm, masa sih? Dari review-nya katanya udah keliatan sekali pake. Gimana dong? Sekarang kan mapel Pak Tristan. Tadinya mau keliatan bercahaya, malah gak jadi, huhu...."

"Astaga, bisa-bisanya aku lupa! Mapel Pak Tristan dituker jadi mapel awal kan hari ini?! Waduh, belum sempet make-up lagi," keluh Uci kelimpungan.

Amira hanya mengelus dada melihat tingkah kedua temannya yang langsung menggeliat seperti cacing kepanasan kala teringat nama Tristan-Guru Biologi.

"Cape deh. Pak Tristan mulu yang dipikirin. Udah ah, masuk!" kata Amira sambil berjalan menuju bangkunya dan melepas tas ransel.

"Aku sama Sofi gak habis pikir sama kamu, Ra. Bisa-bisanya kamu gak tergila-gila sama Pak Tristan nyampe sekarang. Apa yang kurang dari Pak Tristan coba? Udah ganteng, tajir, keturunan Timur Tengah, macho, berkharisma, badannya kek model, cool. Beuh, hot deh, gak ada celah sedikitpun pokoknya. Semua murid cewek gak ada yang gak tertarik sama dia. Guru-guru cewek dari sekolah sebelah aja sering banget ke sini buat caper sama Pak Tristan," cuap Uci sambil duduk di samping Amira.

"Kayaknya mata kamu rabun deh, Ra. Pulang sekolah nanti coba periksa ke dokter mata," usul Sofi tak benar-benar serius mengatakannya.

"Enak aja, mana ada rabun. Bosen malah aku liat dia terus, nyampe mual. Lagian tiap Mapel Biologi juga aku sering usilin dia, kan? Gak cuek bebek banget," balas Amira sambil menyunggingkan senyumnya.

"Hmmzzz, gak serius ah kamu ngidolain Pak Tristan-nya. Gak kayak kita-kita ya, Ci," ujar Sofi sambil menggerakkan alisnya pada Uci.

Ditengah keriuhan kelas yang membicarakan ketidaksabaran para murid perempuan terhadap kehadiran Tristan, bel sekolah pun akhirnya berbunyi nyaring tanda dimulainya proses pembelajaran.

Tidak lama menunggu, Guru Biologi-Tristan Ozdemir yang sudah dinanti para murid pun melenggang masuk ke dalam kelas 12 MIPA-2 dengan menenteng tas laptop ditangannya.

Sejak Tristan melewati koridor, Tristan bagaikan model top dunia yang sedang berjalan di atas karpet merah dengan gagah perkasa. Para murid dari kelas lain berjajar di depan kelas hanya untuk sekedar menyambut kedatangannya sambil menyapanya hangat.

"Günaydın, Pak Tristan!" sapa murid kelas MIPA-2 dengan senyum ramah ketika Tristan sampai di depan pintu.

"Günaydın (pagi)," balas Tristan dengan senyum manisnya sambil menguarkan rambut bervolumenya ke belakang dengan kerlip bola mata ambernya yang sontak langsung membuat para murid-muridnya berteriak histeris, terkecuali murid laki-laki.

Amira langsung menarik napas dalam-dalam dan dia embuskan dengan kasar. Dia tak berselera, tapi berusaha ceria. Setiap pelajaran Tristan atau pun bertemu dengannya, dia harus berpura-pura turut mengidolakan Tristan seperti yang lain karena jika tidak, para murid yang mengidolakan Tristan akan mengucilkannya.

Begitulah lingkungan sekolah Amira, aneh tapi nyata.

"Mohon maaf nih, Pak. Bisa mundur dikit gak?" celetuk Amira mulai meluncurkan aksinya ditengah keriuhan.

"Kenapa, Amirah?" tanya Tristan yang langsung terhenti dan perlahan mundur beberapa langkah.

"Gak apa-apa sih, cuma gantengnya kelewatan."

"Anjay, hahahaaa!" teriak murid laki-laki sambil tertawa puas.

"Mantap Amira!" kata teman sekelasnya sambil mengacungkan jempol padanya. Mereka seakan bangga setiap Amira menggoda guru hot jeletotnya. Seolah terwakilkan olehnya.

Tristan pun mengulum senyum digoda demikian sampai tampak tersipu. Dia melanjutkan langkahnya dan duduk di kursi agungnya sambil membuka laptop dan buku absensi.

"Sudah, cukup. Duduk. Saya akan mulai mengabsen," ucap Tristan dengan mimik serius.

Setiap berkedip, bulu mata lebat nan lentiknya seolah menyapu dengan hangat dan hal itu selalu mengguncang iman para murid perempuan yang iri. Seorang pria bisa-bisanya memiliki bulu mata secantik itu.

"Aditya Pratama?

"Hadir!"

"Aida Nur Rachman?"

"Hadir, Pak!"

"Amirah Arsiela Bilbina?"

Hening.

"Amirah?" panggil Tristan lagi.

Uci sebagai teman sebangkunya menyenggol siku Amira yang ternyata sedang melamun menatap ke luar jendela.

"Woi, absen!" bisik Uci.

"Amirah!" tekan Tristan dengan nada tak sabaran.

"Iya, hadir Pak!" kata Amira kelimpungan sambil bersikap sempurna.

"Kenapa diam saja?" tanya Tristan.

"Bapak manggilnya Amirah terus, sih. Nama aku kan, Amira. Gak pake H, geli dengernya kayak ada desahan diujung gitu," gurau Amira ngeles.

Semua teman kelasnya menyembunyikan tawa mereka dengan apa yang Amira ucapkan. Karena terselip kata yang cukup sensitif di dengar.

"Si Amira mah suka mancing-mancing nih Pak. Mentang-mentang mapel Biologi, jadi frontal ngomongnya. Harus dikasih paham Pak." Salah satu teman laki-lakinya mengolok-olok sambil berdiri. Dia melihat Amira yang mengepalkan tangan dengan tatapan mengancam padanya dan itu membuatnya tertawa usil.

"Saya lagi pertimbangin hukuman buat dia. Tenang aja," kata Tristan sambil menyunggingkan senyum.

"Awas kamu Raka!" rutuk Amira bicara tanpa suara. Mulutnya hanya komat-kamit saja.

Sejak pelajaran Biologi dimulai, Amira memang tidak fokus. Dia tidak memperhatikan saat Tristan menjelaskan materi. Dirinya ada di sana, tapi pikirannya di tempat lain. Dia memikirkan kondisi ibu dan adiknya yang sedang menderita di kampung. Itu sangat mengganggu konsentrasinya.

Amira membenamkan wajahnya dengan menempelkan dahi di permukaan meja. Dia tertunduk dalam.

Tristan yang sedari tadi memperhatikan secara diam-diam. Melihat Amira lesu, muram dan tidak banyak bicara seperti biasa, membuatnya bertanya-tanya.

"Amirah, dengan materi yang sudah saya sampaikan hari ini. Saya ingin tanya, kamu benar-benar memperhatikan dari tadi atau tidak? Saya akan ambil contoh, misalnya Pak Adnan, dia merupakan pengusaha sukses yang bergerak dalam usaha budidaya jamur, agar lebih maksimal menekuni budidaya jamurnya, Pak Adnan harus membekali dirinya dengan ilmu apa?" tanya Tristan dengan tatapan menusuk.

Amira kelimpungan panik dengan melirik ke sana kemari mencari jawaban. "E-ehemm ... jamur apa dulu nih, Pak? Jamur super atau jamur biasa? Soalnya aku suka yang super-super. Kalau yang biasa gak mau ngeladenin, ah."

"Serius, Amira!" ketus Tristan dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.

Glek!

Amira menelan salivanya. Seharusnya dari gerak-geriknya, Tristan sudah tahu kalau Amira tidak dapat menjawab pertanyaannya.

Amira melirik meminta tolong pada Uci disampingnya. Uci menuliskan sesuatu di buku dan menyuruh Amira membacanya.

'Mikologi'

"Ilmu apa, Amirah? Kamu memperhatikan saya tidak?!"

"I-ilmu mikologi, Pak!" jawabnya gelagapan.

"Apa itu mikologi? Jelaskan!" tanya Tristan lagi sambil mengetuk whiteboard dengan ujung spidol.

Mampus aku! (Batin Amira)

Amira menundukan wajahnya sambil menggigit bibir, perlahan dia menggelengkan kepala sebagai ungkapan bahwa dia tak tahu. Teman sekelasnya hanya bisa menonton tanpa menolong.

"Kamu benar-benar minta dihukum. Jam istirahat saya tunggu di ruangan saya!" ucap Tristan sinis sambil menutup laptopnya dan bersiap-siap pergi. "Jangan lupa, isi esay di halaman 46. Hari Kamis kita bahas. Saya permisi dulu."

"Baik, Pak!"

"Hayoloh, Amira! Lagian malah ngelamun, sih," kata teman-teman sekelasnya memojokkan.

"Mikirin apa sih, Ra? Gak fokus gitu kamu," tanya Sofia dengan membalikan badannya ke belakang, dia tampak mencemaskan Amira.

Amira hanya menggelengkan kepala saja dengan lesu tanpa menjelaskan apa-apa.

°°°

Jam istirahat.

Amira pamit undur diri pada Sofi dan Uci karena tidak bisa gabung makan siang dengan mereka di kantin. Dia harus menjalankan hukumannya. Entah apa hukuman yang akan Tristan berikan padanya. Dia sudah mempersiapkan diri.

Amira mengetuk pintu ruang 'Guru Biologi-Tristan Ozdemir' yang tertulis di depan pintu dengan hati-hati sambil melirik ke sana-kemari.

"Masuk!" kata Tristan dari dalam.

Amira membuka pintu dan masuk, tak lupa dia menutup kembali pintunya. Dia lihat Tristan yang tengah duduk berkutat dengan gawainya sambil mengenakan kacamata.

Tristan tampak semakin berkharisma dan mempesona saat memakai kacamata minusnya. Terlihat seperti pria lugu kutu buku, tapi yang ini seksi dengan jambang tipis yang merambat di pipi.

Amira berdiri mematung di hadapannya, seolah menawarkan diri untuk segera dihukum. Tristan mulai menutup gawainya dan beranjak bangun. Dia berlalu melewati Amira dengan mengunci pintu serta menutup tirai jendela.

Tristan mengerutkan lengan kemeja putihnya sampai siku. Urat-urat di lengannya menonjol menjalar seperti akar.

Dia melangkah mendekati Amira.

Tangannya langsung melingkar di pinggang rampingnya dan menarik Amira sampai tubuh mereka menempel satu sama lain.

Tristan mengecup pipinya dengan lembut sambil berbisik penuh sensual, "Apa yang mengganggumu, Amirahku? Suasana hatimu terlihat buruk. Uang yang saya beri kurang kah?"

...

Jangan lupa like, komen & favoritkan, ya!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!