Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halma Baru Menghubungi?
🍃🍃🍃
Hafsah berceloteh dalam ketakutan dengan tangan masih memeluk Rahdan dalam kegelapan. Suaranya sudah bisa ditebak Rashdan gadis itu dalam suasana jiwa yang takut. Rashdan membelai rambut Hafsah dan membantunya duduk sembari tubuhnya itu bangkit dari posisi sebelumnya.
“Tidak.” Hafsah menolak duduk.
“Kenapa?”
“Sebenarnya aku haid.”
Rashdan terdiam sesaat dan mengingat kembali tingkah Hafsah sebelumnya yang membuatnya sadar mengapa istrinya itu bertingkah aneh.
“Tembus?” tanya Rashdan, terdengar peduli.
“Mungkin. Rasanya sudah banyak keluar.” Hafsah berbicara dengan suara kecil, terdengar malu.
Pria itu bangkit dari tubuh Hafsah, lalu meraba meja untuk mengambil ponselnya. Kemudian, senter dinyalakan dari gawai tersebut.
“Pembalutmu di mana?”
“Apa?” Hafsah kaget, di mana senter menyoroti wajahnya.
“Di dalam lemari, laci sebelah kiri. Aku sudah menyiapkannya untuk jaga-jaga.”
Rashdan berjalan mendekati, lalu mengikuti petunjuk yang diberikan Hafsah. Benar saja, benda yang dimaksud istrinya itu ada di sana. Dengan santai ia mengambilnya karena pengalaman bersama Halma.
“Ini. Ayo,” ajak Rashdan.
“Ke mana?”
“Kamar mandi. Biar aku senter.”
“Tidak perlu,” balas Hafsah dengan cepat.
Gadis itu duduk dan mengambil ponsel di tangan Rashdan bersamaan dengan pembalut. Kemudian, berlari kecil memasuki kamar mandi bersama perasaan malu.
Selagi Hafsah di kamar mandi, Rashdan meninggalkan kamar untuk mencari tahu bagaimana kondisi di luar rumah. Mungkinkah lampu juga mati di seluruh semua asrama santri atau hanya di rumah saja.
Tidak, lampu di asrama maupun di beberapa bangunan pesantren menyala. Pandangan dialihkan Rashdan ke arah meteran listrik yang baru disadari tokennya telah habis. Biasanya Halma yang mengisinya.
“Pantas saja,” ucap Rashdan.
Di dalam kamar, Hafsah keluar kamar mandi setelah memakai pembalut dan menghampiri kasur. Merasa lega karena cairan merah yang sempat tembus di roknya tidak menyentuh sprei kasur.
Di tangannya ponsel Rashdan berdering, orang yang menghubunginya adalah Halma.
“Mbak Halma,” ucap Hafsah dan menggeser bulatan hijau di layar gawai itu ke atas.
“Assalamualaikum, Mas …!” Suara Halma terdengar panik.
“Wa'alaikumussalam, Mbak. Ustaz Rashdan ada di luar. Tunggu, aku bawa ponselnya kepada Ustaz Rashdan,” ucap Hafsah.
“Tidak perlu,” sergap Halma. “Sebenarnya aku hanya mau mengatakan kalau token listrik mungkin akan habis. Tolong diisi, Hafsah. Kamu bisa ambil nomor meterannya di laci meja di kamarku. Kalau begitu, aku tutup teleponnya, assalamualaikum,” ucap Halma dan memutuskan sambungan telepon.
“Wa'alaikumussalam,” balas Hafsah dengan raut wajah sedikit bingung.
Pintu kamar dibuka Rashdan dan mengalihkan perhatian Hafsah dari ponsel ke pintu. Pria itu menghampirinya, mengambil ponsel di tangan Hafsah karena ingin menghubungi Halma untuk bertanya mengenai nomor meteran.
“Halma baru menghubungi?” Rashdan melihat panggilan terakhir yang tersambung sebelumnya.
“Iya. Mbak Halma mengingatkanku untuk isi token listrik dan dia bilang nomor meterannya ada di laci meja di kamarnya.
Pertanyaan yang sudah terjawab tidak membuat Rashdan melanjutkan tujuan untuk menghubungi Halma. Ia keluar dari kamar Hafsah dan beranjak memasuki kamar Halma, menghampiri meja di sisi kanan kasur dan satu-persatu laci ditarik sampai akhirnya menemukan benda yang dicarinya. Secara online Rashdan membeli token listrik melalui sebuah aplikasi. Kemudian, ia keluar dari kamar, kembali ke teras untuk menekan beberapa digit angka di meteran. Setelah itu, Rashdan kembali memasuki rumah dengan rasa sedikit penasaran.
“Tidak mungkin Halma menghubungiku malam-malam begini dan hanya memberitahu tentang token listrik,” kata Rashdan, dalam hati dengan langkah pelan menuju kamar.
Rashdan menunda diri memasuki kamar Hafsah, ia duduk di bangku ruang tamu dan menghubungi nomor Halma yang kini sudah tidak aktif.
Saat ini istri pertamanya itu berada di bandara, ia akan melakukan perjalanan menuju Surabaya, ke kampung halaman orang tuanya. Halma mendadak kembali ke sana karena ibunya jatuh sakit. Karena tidak ingin mengganggu waktu Rashdan untuk Hafsah, Halma memilih kembali sendiri. Sebenarnya niat untuk memberitahu dan mengajak suaminya itu sudah ada dan itu sebabnya Halma menghubungi nomor Rashdan tadi. Namun, setelah mendengar suara Hafsah, niat tersebut diurungkan olehnya.
“Semoga saja semuanya baik-baik saja,” ucap Rashdan dengan harap, di mana ternyata Halma sudah duduk di bangku pesawat dalam perasaan cemas saat itu, sedangkan Hafsah duduk di kamar, memikirkan nada bicara Halma tadi.
***
Ponsel Rashdan berdering di tengah pria itu menikmati sarapan bersama Hafsah di meja makan, di dapur. Dalam hitungan detik ponsel dijawab dan ditempelkan di telinganya, ekspresi kaget tergambar di wajah pria itu. Rashdan berdiri dan bergegas keluar dari dapur, lanjut memasuki kamarnya dan Hafsah untuk mengambil kunci mobil.
“Sekarang aku akan ke sana,” ucap Rashdan sambil berjalan keluar dari rumah.
“Kenapa?” tanya Hafsah yang ikut keluar dari dapur dan berseru dari pintu rumah.
Rashdan mengarahkan pandangan kepada Hafsah sebelum memasuki mobil, di mana pintu mobil telah dibuka.
“Kamu di rumah saja. Jika terjadi sesuatu, hubungi aku!” Rashdan memasuki mobil, mengemudikannya dengan cepat keluar meninggalkan halaman rumah, keluar dari kawasan pesantren.
Baru beberapa saat Rashdan pergi, Hafsah masih berdiri di pintu rumah, Mur datang bersama Husein. Mereka baru keluar dari mobil yang selalu dikemudikan oleh pria itu, yang biasa mengantar Rashdan pergi kajian.
“Pak Mur,” kata Hafsah.
Mur yang menggandeng Husein menghampiri Hafsah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk dan meminta untuk digendong oleh gadis itu.
“Pak. Ustaz Rashdan ke mana? Setelah mendapatkan sambungan telepon pagi ini, dia berangkat terburu-buru dan aku tidak tahu entah ke mana,” kata Hafsah, mengungkapkan kebingungan dan rasa penasarannya.
“Ustaz Rashdan tidak mengatakan kalau dia pergi ke Surabaya? Ibu Non Halma meninggal pagi ini.”
“Meninggalkan? Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kenapa dia tidak mengatakannya padaku dan pergi begitu saja?”
“Mungkin karena Den Husein. Bapak datang ke sini karena ingin menitipkan Den Husein sesuai perintah Ustaz Syahril, beliau dan istrinya juga ke sana dan baru berangkat. Mungkin mereka akan sama-sama berangkat bersama Ustaz Rashdan.”
Hafsah mengingat Halma menghubungi nomor Rashdan semalam. Setelah berpikir lebih dalam, Hafsah paham dari mana sumber kecemasan yang terdengar olehnya malam itu dari Halma. Gadis itu manggut-manggut, paham dengan ekspresi prihatin. Ia menggendong Husein dan mengajak bocah itu memasuki rumah.
***
Tiga Hari Kemudian ….
Hafsah menidurkan Husein di atas kasurnya Dnegan menepuk-nepuk pelan punggung bocah itu yang memeluknya. Matanya juga mulai mengecil dan sesekali menguap karena mengantuk sampai akhirnya tertidur.
Berselang lima menit setelah gadis itu tidur, mobil yang dikemudikan Mur berhenti di halaman rumah. Rashdan keluar dengan langkah lesu, masih terngiang-ngiang olehnya tangis Halma yang histeris di hari kematian mertua perempuannya yang ikut membuatnya meneteskan air mata.
Langkah Rashdan berhenti di teras rumah setelah melihat Hafsah tengah menggendong Husein di tubuh bagian depannya, anak itu menangis karena selalu menanyakan kedua orang tuannya, terutama Rashdan.
“Ustaz sudah pulang,” ucap Hafsah dengan wajah tergambar prihatin.
“Husein baik-baik saja?”
“Dia rewel, terutama seharian ini. Suhu tubuhnya juga panas, tapi aku sudah memberikannya obat penurun panas.”
“Sini.” Rashdan mengambil Husein yang tertidur dari gendongan Hafsah.
Kemudian, Rashdan berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Hafsah.