Haluan Nadir
🍃🍃🍃
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Sekarang ke arah kiri."
Seorang gadis bermata kecil, dengan tinggi 155 cm, memperagakan gerak tari di hadapan puluhan anak perempuan di sebuah aula sanggar tari. Gadis berusia 21 tahun itu menjadi guru kesenian di Sekolah Menengah Pertama Belas Raya. Tangannya bergerak gemulai seraya dengan kakinya. Gerakannya sesuai parasnya, lembut, manis bak gulali di pasar malam.
"Ehem!"
Gadis itu menoleh ke sisi kanan, di mana pintu aula berada. Semua murid perempuannya ikut menolehkan kepala, menghadapkan pandangan ke sana setelah mendengar suara deheman itu. Pria paruh baya berdiri di ambang pintu sanggar tari. Kantung mata pria itu naik, membesar dibalik kacamata hitamnya dengan bibir tersenyum. Ia kepala sekolah, Ilyas Muzakki namanya.
"Bu Hafsah." Ilyas menggerakkan kepala ke arah kiri, mengajak Hafsah keluar dari sanggar.
Hafsah Nafisah, itulah nama gadis berkerudung hitam itu. Hitung-hitungan kelemahannya dan seni keahliannya. Beberapa bakat seni dikuasainya, menari, bermain alat musik, menyanyi, melukis, dan membuat kerajinan tangan. Meski bukan lulusan sarjana, Hafsah mampu mengharumkan nama melalui bakatnya yang bermula dari sekadar hobi.
"Kalian ingat gerakan yang sudah kakak tunjukkan? Pelajari dulu." Hafsah mengambil rok yang ada di pojokan, di atas meja, lalu mengenakannya dengan celana panjang yang dari tadi terpasang saat mengajar tetap berada dalam kurungan rok itu.
Hafsah meninggalkan aula sanggar tari, menemui Ilyas yang lebih dulu duduk di bangku depan sanggar tari itu sambil menunggunya. Ilyas berdiri setelah melihat Hafsah, lalu mengajak gadis itu mengikutinya sambil berbicara mengenai acara 1 Muharram yang akan diselenggarakan esok hari. Ilyas menjadikan Hafsah sebagai pengurus penyelenggara acara itu. Oleh sebab itu, Ilyas perlu membicarakan agenda yang diharapkannya ada di acara esok hari.
"Bapak tenang saja. Saya berusaha mempersiapkan acara untuk esok hari," ujar Hafsah, berjalan di samping Ilyas.
"Saya yakin dengan itu. Kreativitas yang kamu miliki pasti mampu membuat acara besok bagus dan teratur. Acara besok cukup besar, ada beberapa orang dari luar sekolah yang diundang," ujar Ilyas.
"Pak Ilyas!" Fardi, salah satu anggota tata usaha memanggil pria itu dari pintu di mana ruangan tata usaha berada.
Hafsah dan Ilyas berhenti melangkah dan berdiri tepat di depan ruang tata usaha yang berada di samping kantor majelis guru. Sapaan Fardi bertujuan mengajak Ilyas berbicara. Bahkan, Hafsah bisa membacanya dari ekspresi pria itu.
"Persiapkan anak-anak dengan baik karena pengisi acaranya ustaz dari kota itu. Ustaz Rashdan Khairi Rasyid." Ilyas menepis bahu kanan Hafsah dengan lembut, lalu berjalan menghampiri Fardi.
Kedua pria itu memasuki ruangan itu, meninggalkan Hafsah masih berdiri di posisinya dengan senyuman.
***
Hafsah mengendarai motor dengan kelajuan kencang setelah melihat langit kelam menyedihkan. Prediksinya hujan akan turun lebat dalam beberapa waktu ke depan. Oleh sebab itu, ia memacu kecepatan motornya.
Benar saja, hujan turun tak terduga. Hafsah memberhentikan motornya di depan halte bus, berteduh di sana. Tangannya menepuk-nepuk tas sekolahnya dari sentuhan air hujan yang sempat hinggap.
"Mur. Kita punya baju hujan?"
Pria yang duduk di dalam mobil mewah berwarna putih memperhatikan Hafsah dari seberang jalan.
"Ada. Untuk apa? Kita tunggu hujan reda saja, Ustaz."
"Berikan baju hujannya kepada wanita itu. Kasihan dia,” ucap pria berpeci hitam yang tengah duduk memandangi Hafsah dari kejauhan, di balik kaca mobil.
Mur, sopir mobil putih itu mengarahkan pandangan seirama dengan arah wajah pria itu mengarah. Mur menganggukkan kepala dan mengambil baju hujan dari bangku belakang. Kemudian, beranjak keluar dari mobil, berjalan menghampiri Hafsah dengan payung yang melindunginya dari tetesan air hujan.
Pria di dalam mobil itu memperhatikan Mur dan Hafsah berbicara dari balik kaca jendela. Ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi ia berpikir pembicaraan mereka baik setelah melihat Hafsah tersenyum dan beberapa kali menganggukkan kepala pelan kepada Mur.
TRENGG!
Suara dentingan pesan masuk ke ponsel pria itu.
[Sudah sampai di desa Belasan Raya? Jangan lupa hubungi aku.]
Bibir pria itu sedikit melengkung, tersenyum ringan. Lalu, senyumannya memudar dan bercampur sedih setelah melihat pesan lanjutan yang masuk. Sebuah foto dikirim padanya. Di foto tersebut terdapat potret bocah laki-laki usia tiga tahun dan seorang wanita cantik berhijab syar'i.
[Kami sudah sampai di rumah Mama.]
Pesan tersebut dikirim oleh wanita berhijab syar'i itu, istrinya.
[Alhamdulillah. Aku juga sudah sampai, tapi mobil kami tiba-tiba mogok. Di sini hujan, nanti setelah hujannya reda, aku hubungi kamu. Jaga kesehatan dan jaga Husein.]
Pria itu membalas pesan sang istri sambil tersenyum.
Mur kembali ke dalam mobil.
Pria berparas tampan itu tidak sadar sopirnya sudah hendak masuk ke dalam mobil karena fokus dengan ponselnya. Suara pintu mobil dibuka yang baru menyadarkannya.
Pria itu menoleh ke samping, memandangi Hafsah menaiki motor di depan halte dan berkendara di bawah rintikan hujan yang mereda.
***
Sore hari berlanjut malam. Hafsah mengeringkan rambut menggunakan handuk dan hair dryer. Ia memakai hijab persegi warna hitam dengan panjang sepinggang dan memakai gamis polos warna krim.
"Hafsah! Cepatlah!" Seorang gadis seusianya berseru dari teras rumah.
"Icha menunggumu sejak tadi. Cepatlah! Nanti dia mengamuk dan membakar rumah ini." Rianti, ibu gadis itu tersenyum sambil bercanda dari pintu kamar sang anak.
Hafsah menusukkan jarum pentul di kepalanya sambil berjalan keluar dari kamar. Ia menghampiri Icha, gadis tomboy, dan anak guru ngajinya dulu.
"Ayo! Saff depan pasti sudah penuh. Acaranya juga pasti sudah dimulai. Kamu ngapain aja dari tadi?" Icha mengoceh kesal di teras.
Hafsah hanya tersenyum.
Rianti keluar dari rumah, mengunci pintu, lalu mengikuti kedua anak gadis itu, mereka bertiga berjalan menuju masjid yang berada 200 meter dari keberadaan rumah sederhana itu. Hari ini adalah hari tahun Baru Islam, 1 Muharram. Mereka akan menghadiri acara yang diadakan di masjid itu sebagai sebuah peringatan dan perayaan.
Setelah beberapa menit di perjalanan, mereka sampai juga di masjid. Sayangnya, perkataan Icha benar. Mereka hanya bisa duduk di teras masjid dan acara juga sudah dimulai. Mereka datang di tengah pria yang dipanggil ustaz itu sedang berceramah di dalam masjid, di hadapan semua orang dengan pembawaannya yang santai, membuat mata adem saat melihatnya.
"Gila. Masjid tidak pernah sepenuh ini. Mengapa tidak? Ustaz Rashdan ceramah kali ini. Ustaz seribu wanita. Itu julukan yang pas." Icha menyanjung pria itu dan memperhatikannya dari pintu masjid yang terbuka lebar bersama leher memanjang bak jerapah dan mata melebar seperti gorila.
"Rashdan," kata Hafsah sambil berpikir, nama itu terasa familiar di telinganya.
"Iya. Kamu tidak tau? Dia anak pemilik pesantren Al-Huda di kampung sebelah. Dia juga punya pesantren di kota. Masih muda, sudah punya bekal baik di akhirat nanti. Menantu idaman," sahut Soraya, teman Rianti yang kebetulan berada di hadapan mereka.
"Iya, Bi. Sayang sekali, dia sudah menikah. Tapi, aku siap dijadikan istri keduanya. Pasti bahagia rasanya menjadi istri seorang ustaz Rashdan Khairi Rasyid. Sudah tampan, pendidikan bagus, agama bagus, kaya lagi." Sanjungan Icha semakin bertambah sambil memperhatikan wajah pria yang sedikit melawak dalam ceramahnya itu.
"Rashdan Khairi Rasyid? Bukankah itu …." Hafsah berbicara dalam hati sambil menatap wajah ustaz itu yang kurang jelas karena berada cukup jauh dari posisinya.
Hafsah mulai santai setelah bisa mengingat nama yang familiar di telinganya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments