Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pagatan
Revisi
.
.
.
.
.
“Pagatan macet, Mas!” Seru sopir travel yang baru saja mendapatkan kabar dari rekannya.
“Bisa surut hari ini tidak?”
“Tidak tahu, Mas. Biasanya bisa sampai 2-3 hari.”
“Ya sudah, cari tempat menginap saja.” kata Puji lemah.
“Kenapa?” Tanya Gus Zam.
“Air laut meluap, jadi tidak bisa lewat.”
“Tidak ada jalan lain?”
“Itu satu-satunya akses Banjarmasin - Batulicin.” Gus Zam terdiam.
Puji menjelaskan jika fenomena tersebut kerap terjadi setiap intensitas hujan yang tinggi karena Pagatan dekat dengan laut. Situasi normal, air akan surut dalam hitungan jam atau hari. Di situasi parah, akses bisa tutup sampai 2 minggu lebih. Pengiriman barang hanya bisa dilakukan lewat udara atau menggunakan jalur Kalimantan Timur dan Serongga.
“Apakah disini tidak ada sinyal?” Tanya Gus Zam.
“Ada. Coba kamu mode pesawat terbang dulu sebentar lalu matikan.” Gus Zam mengikuti arahan Puji.
Dan benar saja, sinyal terlihat full disana. Segera notifikasi panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk ke ponselnya. Gus Zam mengabaikan yang lain. Ia hanya fokus dengan satu nama. Humaira.
Humaira: Mas Zam kemana? Abi dan Umi mencari?
Humaira: Kabari Hanung Mas dimana sekarang!
Humaira: Mas Zam?
Humaira: Hubungi aku jika kamu membaca pesanku.
“Astaga!”
Puji terkejut saat mendengar suara ponsel terjatuh dan mendapati Gus Zam yang nafasnya lemah, tubuh demam, keringat dingin dan tangan dingin.
“Kenapa aku mengabaikannya!” Puji mengacak rambutnya.
Ia tahu jika seseorang seperti Gus Zam yang telah terkena serangan panik, akan mengalami pusing dan kelelahan. Hal ini disebabkan beban mental yang dialami. Segera Puji meminta sopir travel mencari klinik atau rumah sakit. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di Puskesmas.
“Pasien ada riwayat apa?” Tanya dokter yang menangani Gus Zam.
“Serangan panik, kemungkinan ada gangguan mental akibat trauma.” Jawab Puji dengan menyamakan kasus kenalannya karena ia tak tahu pasti kondisi Gus Zam.
“Sementara pasien perlu dirawat dengan pemberian infus karena tidak tahu kapan pasien akan sadar. Saya akan melakukan pemeriksaan darah, setelah hasilnya keluar baru saya bisa meresepkan obat.”
“Baik, Dok!”
Puji pun mengurus administrasi dengan mencantumkan namanya sebagai wali dan menunggu sampai Gus Zam dipindahkan ke kamar inap.
Sementara itu, Hanung yang baru saja mengangkat jemuran sedang memilah pakaian kering.
“Pakdhemu belum pulang?" tanya Budhe Cici yang baru keluar kamar.
"Belum ada, Budhe." jawab Hanung sambil melipat pakaian yang sudah kering.
"Biasanya sebelum hujan sudah pulang." Hari ini hanya Pakdhe yang ke warung karena Budhe Cici ingin menemani Hanung.
"Hujannya ini tadi tiba-tiba deras, Budhe. Mungkin Pakdhe tidak sempat siap-siap."
"Mungkin saja."
Budhe pun ke kamar untuk mengambil ponsel guna menghubungi suaminya. Sedangkan Hanung yang sudah selesai melipat pakaian, melihat ponselnya dan mengetahui pesannya telah dibaca oleh Gus Zam. Segera Hanung menyimpan pakaian dan menghubungi suaminya.
“Assalamu’alaikum..” salam Puji yang mengangkat panggilan masuk di ponsel Gus Zam.
Puji berharap yang menghubungi Gus Zam adalah istrinya karena panggilan sudah masuk dua kali dan pemilik ponsel masih belum sadarkan diri.
Hanung yang merasa bukan suara dari suaminya pun mengalihkan panggilan ke mode video.
“Mas Puji!” Seru Hanung.
“Hey Hanung! Sejak kapan namamu Humaira?” Tanya Puji yang melihat nama tertera di ponsel.
“Kenapa Mas Puji yang angkat? Dimana pemilik ponsel? Apa Mas Puji kenal? Mas Puji ada di Jawa?”
“Satu-satu, Non. Aku bertemu pemilik ponsel di bandara. Ini orangnya!”
“Astagfirullah.. Mas Zam kenapa, Mas?” Hanung terkejut melihat suaminya terbaring di brankar dengan infus ditangan kanannya.
“Serangan panik.” Seketika airmata Hanung luruh mendengarnya.
“Tunggu! Apakah Zam ini suamimu?” Tanya Puji yang merasa janggal dengan sikap Hanung dan Hanung mengangguk sebagai jawaban.
“Astaga! Dunia ini kecil sekali! Sudah, jangan menangis! Suamimu Aman bersamaku!”
“Bagaimana Mas Puji bisa bertemu dengan Mas Zam?” Tanya Hanung yang mulai tenang.
“Panjang ceritanya. Tapi apakah suamimu tidak mengatakan jika ia menyusulmu?” Hanung menggeleng.
“Mas Zam pergi dari rumah, Mas. Orang rumah ribut mencarimu sekarang. Oh, sebentar!” Hanung mematikan panggilannya begitu saja dan menghubungi Bu Nyai.
“Alhamdulillah.. Baru saja kami mau melapor ke polisi karena Rahim bilang mengantarkan Adib ke bandara. Bagaimana keadaan Adib sekarang?”
“Mas Zam baik, Umi. Beruntung Mas Zam bertemu dengan kenalan Hanung disini. Sekarang masih di jalan.”
“Baguslah kalau begitu. Alhamdulillah Allah melindulingi Adib.” Bu Nyai bisa bernafas lega saat ini.
Pak Kyai yang mendengarkan ikut tenang sembari memeluk Bu Nyai. Ning Zelfa pun segera mengumumkan kepada semua orang jika sang kakak telah ditemukan. Hanung yang tak bisa berlama-lama, pamit mengakhiri panggilannya dan melakukan panggilan kembali ke ponsel Gus Zam.
Masih Puji yang menerima teleponnya. Puji pun menjelaskan situasinya jika mereka tidak bisa ke Batulicin sekarang karena tidak bisa melewati Pagatan. Hanung mengangguk mengerti. Yang penting suaminya sudah berada ditempat Aman. Ia akan menahannya sebentar lagi.
“Kamu kenapa, Hanung?” Tanya Budhe Cici yang melihat wajah sembab Hanung.
“Mas Zam, Budhe..” Hanung menghambur kedalam pelukan Budhe Cici dan kembali menangis.
Sungguh sakit rasanya melihat suaminya terbaring lemah dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Hanung menceritakan semuanya kepada Budhe Cici. Beliau menenangkan Hanung dan mengatakan untuk bersabar karena mereka hanya bisa menunggu sampai air surut.
Untuk mengalihkan Hanung, Budhe Cici menceritakan keunggulan Pagatan yang sering tidak bisa dilewati saat curah hujan tinggi. Di sana ada pesta pantai atau pesta laut yang digelar setiap bulan April. Acara tersebut menjadi ikonik Kabupaten Tanah Bumbu, hingga banyak pengunjung yang akan datang meramaikan saat pesta laut dimulai.
Hanung yang mendengarkan dengan seksama, merasa penasaran karena di tempat tinggalnya tidak ada pesta pantai karena jauh dari pesisir. Mendengarkan cerita Budhe Cici, sedikit mengurangi kesedihan Hanung.
“Hanya menunggu hari. Sabar lah! Hargai perjuangan suamimu yang menahan traumanya demi bisa menemuimu. Jangan perlihatkan wajah sedih!” Kata Budhe Cici setelah selesai bercerita.
Hanung mengangguk. Suaranya sudah serak karena menangis. Ia sudah meminta Puji untuk mengabarinya jika Gus Zam bangun. Jadi, ia hanya bisa menunggu kabar dari Puji karena tak mungkin baginya berlama menelepon saat suaminya tidak sadarkan diri.
“Ayo kita memasak! Sepertinya membuat mie kuah pedas, cocok!” Ajak Budhe Cici dengan semangat.
Beliau yang sudah makan garam pun tahu saat ini Hanung sedang memikirkan suaminya dan kemungkinan yang akan terjadi. Jadi beliau berusaha mengalihkan pikiran Hanung agar tidak terlalu sedih. Karena menurut beliau terlalu sedih pun percuma jika tidak bisa melakukan apa-apa. Yang ada hanya tidak bisa melakukan apa-apa karena terpaku dengan kesedihan dan keterbatasan diri.
padahal udah bagus lho