Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tugas Kuliah
Tama buka pintu apartemennya buat gue, padahal pintunya enggak dikunci.
Amio enggak tahu itu, sih.
Dia masuk lebih dulu, dan gue mengikuti di belakangnya. Dia tutup pintu, dan kita langsung saling menghadap.
"Gue benaran ada tugas yang harus dikerjain," kata gue. Gue enggak tahu apa yang dia harapkan sekarang, tapi gue rasa perlu bilang kalo cuma gara-gara dia muncul lagi setelah beberapa hari, itu bukan berarti dia prioritas utama gue.
Meskipun sebenarnya dia memang prioritas utama gue.
"Gue juga benaran ada pertandingan yang harus dimainin," jawab dia sambil tunjuk ke apartemen gue, tapi tetap jalan mendekat ke arah gue. Dia mengambil buku-buku dari tangan gue dan jalan ke meja, terus taruh buku-buku itu di sana.
Dia mulai jalan balik ke arah gue dan enggak berhenti sampai bibirnya menempel ke bibir gue dan kita enggak bisa maju lagi karena punggung gue sudah menempel ke pintu apartemen.
Tangan dia menggenggam pinggang gue, dan tangan gue menggenggam pundaknya. Lidahnya masuk ke mulut gue, dan gue terima dengan sangat rela. Dia menggeram dan menempelkan badannya lebih dekat ke gue, sementara tangan gue naik ke lehernya dan masuk ke rambutnya. Dia langsung menjauh dan mundur beberapa langkah.
Dia memperhatikan gue seolah-olah itu salah gue kalau dia harus pergi. Dia usap mukanya dengan tangan yang frustrasi dan mengeluarkan napas panjang. "Lo belum sempet makan tadi," katanya. "Gue bawain pizza nanti."
Dia jalan balik ke arah gue, dan gue geser badan tanpa ngomong apa-apa. Dia membuka pintu dan langsung keluar.
Dia aneh banget.
Gue jalan ke meja dan mulai mengeluarkan semua yang gue butuhkan buat belajar. Gue lagi tarik kursi buat duduk ketika pintu apartemennya tiba-tiba terbuka lagi. Gue menoleh, dan dia jalan ke arah dapur dengan bawa sepiring pizza.
Dia memasukkan pizza itu ke microwave, pencet beberapa tombol dan mulai menyalakannya, terus langsung jalan ke arah gue lagi.
Dia melakukan hal itu.
Lagi-lagi, gue mundur karena dia makin dekat, tapi ada meja di belakang gue, dan gue enggak bisa ke mana-mana.
Dia sampai di depan gue dan dengan cepat menempelkan bibirnya ke bibir gue. "Gue harus balik ke sana," katanya. "Lo gak apa-apa, kan?"
Gue mengangguk.
"Lo butuh apa?"
Gue geleng kepala.
"Ada jus sama air botol di kulkas."
"Makasih."
Dia cium gue sebentar lagi sebelum melepaskan gue dan keluar dari pintu.
Gue jatuh ke kursi.
Dia baik banget.
Gue bisa saja terbiasa sama ini.
Gue tarik buku catatan ke depan gue dan mulai belajar.
Sekitar setengah jam berlalu, dan gue dapat pesan dari dia.
^^^Tama: Gimana tugasnya?^^^
Gue baca pesan itu di ponsel sambil senyum-senyum kayak orang bego. Dia sudah sembilan hari enggak nongol atau nge-chat gue, dan sekarang dia nge-chat dari jarak dua puluh meter.
Gue: Oke. Gimana pertandingannya?
^^^Tama: Istirahat. Gue kalah.^^^
Gue: Sialan.
^^^Tama: Lo tahu kan kalo gue enggak punya kabel?^^^
Gue: ???
^^^Tama: Tadi, waktu lo marah-marah sama kita. Lo nyuruh kita ke tempat gue buat main PS, tapi lo tahu, kan, kalau gue nggak punya kabel. Kayaknya sekarang Ian curiga.^^^
Gue: Oh, sial, iya juga. Gue enggak mikir sampe situ.
^^^Tama: Santai aja. Dia cuma ngeliatin gue, kayaknya dia tahu ada yang enggak beres. Jujur, gue enggak peduli kalo dia tahu. Dia tahu segalanya soal gue.^^^
Gue: Lo belum cerita ke dia. Bukannya semua cowok suka cerita kalo habis ciuman?
^^^Tama: Bukan karakter gue, Tia.^^^
Gue: Kayaknya lo pengecualian, deh. Sekarang tinggalin gue sendiri, gue harus kerjain tugas.
^^^Tama: Jangan balik sampe gue dateng ngasih tau kalo pertandingannya udah selesai.^^^
Gue taruh ponsel di meja, enggak bisa tahan senyum yang ada di wajah gue.
Satu jam kemudian, pintu apartemennya terbuka. Gue lihat ke atas, dan dia masuk, tutup pintu, lalu jatuh santai ke pintu itu.
"Mainnya udah selesai," katanya.
Gue taruh pena gue. "Kok, pas banget. Gue baru aja selesai ngerjain tugas."
Matanya turun melihat buku-buku gue yang tersebar di meja. "Amio mungkin lagi nungguin lo."
Gue enggak tahu itu cara dia menyuruh gue pergi atau dia cuma bicara biasa. Tapi gue tetap berdiri dan mulai mengumpulkan buku-buku gue, berusaha menyembunyikan kekecewaan di wajah gue.
Dia jalan langsung ke arah gue, mengambil buku-buku dari tangan gue, dan menaruhnya lagi di meja. Dia dorong buku-buku itu, melompat sejauh satu meter terus dia meraih pinggang gue dan mendorong gue ke atas meja.
"Itu bukan berarti gue pingin lo pergi," katanya tegas, sambil memperhatikan mata gue dengan tatapan itu.
Kali ini gue enggak senyum, karena dia bikin gue grogi lagi. Setiap kali dia lihat gue dengan tatapan seperti itu, gue selalu jadi nervous.
Dia bawa gue ke ujung meja dan berdiri di antara kaki gue. Tangannya masih di pinggang gue, tapi sekarang bibirnya di rahang gue.
"Gue penasaran," katanya pelan, napasnya menyapu leher gue, bikin merinding. "Sama malam ini, dan gimana lo seharian di kelas."
Dia lepaskan tangannya ke bawah, mengangkat gue dari meja. "Dan gimana kerjaan lo tiap weekend." Kaki gue sekarang melingkar di sekelilingnya. Dia bawa gue ke kamarnya.
Sekarang dia baringkan gue di ranjangnya.
Sekarang dia ada di atas gue, merapikan rambut gue ke belakang, menatap mata gue.
"Dan gue sadar kalo lo enggak pernah punya waktu libur." Mulutnya balik ke rahang gue lagi, mencium pelan di antara kalimatnya. "Lo enggak pernah punya waktu libur sejak Tahun Baru, kan?"
Gue geleng kepala, enggak mengerti kenapa dia ngomong banyak banget, tapi gue suka itu. Tangannya naik ke bawah kaos gue, dan telapak tangannya menyentuh perut gue, terus naik lagi sampai dia mengecup boba gue. "Lo pasti capek banget, Tia."
Gue geleng kepala. "Enggak juga."
Gue bohong.
Gue sebenarnya capek banget.
Bibirnya lepas dari leher gue, dan dia lihat ke mata gue. "Lo bohong," katanya sambil menggesek ibu jarinya di atas Bra gue yang tipis.
"Gue bisa liat kalo lo capek." Dia turunkan mulutnya sampai menempel ke bibir gue dengan begitu lembut sampai hampir enggak terasa. "Gue cuma mau cium lo beberapa menit aja, oke? Habis itu lo bakal pergi dan istirahat. Gue enggak mau lo mikir gue ngarepin lebih, cuma gara-gara kita lagi sama-sama di kamar gue."
Bibirnya menyentuh bibir gue lagi, tapi rasanya enggak bisa dibandingkan sama apa yang kata-katanya lakukan ke gue. Gue enggak pernah tahu kalo perhatian bisa jadi hal yang bikin gue bergairah.
Tapi sumpah, ini panas banget.