Isya sadarkan diri dalam kondisi amnesia setelah mengalami kecelakaan ketika studi wisata. Amnesia itu membuat Isya lupa akan segala hal yang berkaitan dengan dirinya, bahkan banyak yang menilai jika kepribadiannya pun berubah. Hari demi hari ia jalani tanpa ingatan yang tersisa. Hingga pada suatu ketika Isya bertemu dengan beberapa orang yang merasa mengenalinya namun dengan identitas yang berbeda. Dan pada suatu hari ingatannya telah pulih.
Apa yang terjadi setelah Isya mendapatkan ingatannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kanza Hann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
020 : Siapa Pianisnya?
Ding dong~ Ding dong~ Ding
Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Dengan terpaksa Pak Tirta menyudahi kelasnya untuk hari ini, "Oke... sayang sekali pertemuan kita untuk hari ini nampaknya sudah usai..." ucapan Pak Tirta terpotong, namun seisi kelas bisa menebak apa yang hendak beliau katakan. "Apakah kalian mau sedikit kelas tambahan setelah ini?"
Sontak seisi kelas menjawab, "Tidaakk!"
"Lihatlah masih banyak sisa materi di Bab 7 yang belum kita sentuh sama sekali!" Pak Tirta memperlihatkan peta konsep materi untuk target belajar hari ini. "Sebentar saja! Ya ya ya?" beliau bersikeras agar ada waktu tambahan untuk mengejar materi yang belum terselesaikan. Beragam keluhan siswa kelas 2-1 pun mulai dilontarkan.
"Ayolah pak guru jangan begitu!"
"Iya pak guru, habis ini saya masih ada pekerjaan paruh waktu!"
"Jangan hari ini pak guru! Saya ada janji bertemu dengan pacar baru!"
"Saya tidak mau kelas tambahan pak guru! Isi pikiran saya sudah buntu!"
"Kalau sudah bel, pulang saja ya pak guru! Kan masih ada lain waktu, jangan belajar fisika melulu! Saya benar-benar tidak tahu! Huhuu..."
Dari awal Pak Tirta sudah menduga penolakan jam tambahan ini akan selalu terjadi. Namun, masih ada seorang siswa yang pendapatnya sangat berpengaruh bagi siswa lain. Kali ini pun Pak Tirta berniat untuk memanfaatkan pendapat siswa itu. "Kalau Isya bagaimana? Apa kamu mau jam tambahan fisika diadakan untuk hari ini?"
Isya terkejut ketika namanya terpanggil, "Apa? Saya?"
Pak Tirta mengangguk mantap, "Iya kamu! Bagaimana menurutmu?" beliau sangat berharap Isya menyetujuinya. Sembari menunggu jawaban dari Isya, beberapa teman menoleh ke arahnya seolah memberi isyarat untuk menolak permintaan tambahan jam fisika.
Isya mendadak bingung dengan tatapan para siswa yang sangat berharap padanya. Meski tidak diberi isyarat pun, dalam hati Isya sudah memutuskan untuk tidak menerima permintaan tersebut. Belajar di jam pelajaran pokok saja dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diajarkan, apalagi menerima jam tambahan sepulang sekolah. Benar-benar kepusingan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Maaf pak, sepertinya sudah cukup untuk hari ini! Sisa materi di Bab 7 kita bahas di pertemuan berikutnya saja!" ujar Isya.
"Horeee..." seisi kelas kegirangan mendengar jawaban Isya. Sementara Pak Tirta mengernyitkan dahi seolah tak percaya. Biasanya Isya selalu menyetujui adanya jam tambahan fisika. Bahkan tanpa ditawari pun ia sudah meminta duluan. "Benarkah kita akhiri saja sampai di sini?"
"Iya!" jawab Isya mantap.
Siswa berpengaruh untuk kali ini sedang tidak berpihak padanya, tidak ada pilihan lain Pak Tirta menyudahi pelajaran fisika hari ini. "Ya sudah, sepertinya perjumpaan kita cukup sampai di sini!"
"Ye ye ye..." siswa kelas 2-1 bergembira ria mendengar Pak Tirta menyerah untuk mengadakan jam tambahan fisika. Namun, sepertinya kegembiraan mereka berjalan terlalu cepat. "Tapi sebagai gantinya, kerjakan semua soal yang ada di Bab 7 sampai selesai. Nanti di pertemuan mendatang langsung kita koreksi untuk nilai tugas di minggu ini! Mengerti?!"
Pyarr
Seketika kegembiraan mereka jadi membeku. Mungkin untuk saat ini matahari sedang menyinari, namun di kemudian hari masih ada badai yang menanti. Apapun itu yang terpenting sekarang mereka memiliki waktu untuk bernapas lebih dulu. Mengenai tanggungan tugas bisa dikerjakan di lain waktu.
Setelah Pak Tirta meninggalkan ruangan, beberapa siswa berhamburan hendak keluar kelas. Namun, dengan sigap Quin menghadang mereka tepat di depan pintu.
"STOP!"
Langkah beberapa siswa tadi terhenti karena Quin. Mereka merasa terganggu akan hal itu dan meminta agar Quin segera menyingkir.
"Ada apa denganmu? Minggir!"
"Iya, kamu menghalangi jalan saja!"
"Mau apa sih? Cepat minggir deh!"
Tanpa basa-basi sekaligus untuk menyingkat waktu, Quin langsung to the poin mengingatkan hal yang sudah kelas 2-1 rencanakan sepulang sekolah ini. "Apa kalian lupa bahwa hari ini kita ada janji buat foto bersama sebagai kenang-kenangan hari terakhir Cia berada di sini?"
Mereka pun akhirnya ingat dan mengurungkan niat untuk pulang guna menepati janji terakhir bagi salah seorang siswi yang hendak pindah sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Cia berada di Adinata High School karena dia akan ikut pindah bersama ayahnya ke Singapura. Jika bukan hari ini mereka tidak memiliki kesempatan lagi untuk menepati janji tersebut.
Semua siswa menuju bagian depan ruang kelas. Beberapa meja dan kursi pun digeser ke belakang agar muat dijadikan tempat foto bersama. Setelah formasi lengkap dan gaya foto ditentukan, Quin yang berada di depan memegang tongsis siap untuk mengambil gambar. "Oke, dalam hitungan ke-3 siap ya?!"
Semuanya serempak menjawab, "Siap!"
"Siap ya... satu, dua... tiga!"
Cheers~ Cekrek cekrek cekrek
***
Selesai sesi foto bersama satu kelas, Isya pergi ke perpustakaan guna mengembalikan buku sebelum pulang. Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, ia mendengar lantunan musik piano yang sangat nyaman di telinga. Irama musik yang dihasilkan sungguh bisa membuat jiwa siapapun yang mendengarnya menjadi lebih tenang. "Hmm... siapa yang bermain piano sebagus ini?" Isya pun menyusuri arah sumber suara piano itu berasal, "Sepertinya ada di sekitar sini."
Tidak lama kemudian, ia sampai di sebuah ruangan yang menurutnya itu adalah tempat di mana bunyi piano tadi berasal, "Aaa... ruang musik." Isya yakin betul itu adalah tempatnya. Lantunan musik piano semakin terdengar keras di posisi berdirinya sekarang.
"Tapi, di dalam ada siapa?" karena penasaran, Isya pun mengintip dari balik jendela luar. Posisi jendela yang cukup tinggi dari jangkauan mata Isya, membuatnya harus berjinjit ketika hendak mengetahui kondisi siapa yang ada di dalam sana.
Di dalam ruangan, nampak seorang siswa dengan jari-jemari lentiknya tengah fokus menekan satu-persatu tuts piano untuk menghasilkan irama musik yang menarik. Postur serta gaya bermain piano siswa tersebut sekilas dalam penglihatan Isya nampak seperti pianis profesional. Namun sayang, Isya hanya bisa melihat postur tubuh siswa itu dari belakang sehingga dia belum bisa mengenali wajahnya.
"Siapa dia?" pandangan mata Isya masih terpaku menatap siswa tadi dari balik jendela ruang musik. Untuk sejenak Isya berhasil dibuat terlena dengan dengan keindahan musik yang mengalir di telinganya.
Saat melirik ke jam tangan, ia akhirnya sadar bahwa waktu semakin sore. Tentu saja ia harus segera mengembalikan buku sebelum perpustakaannya tutup. Isya begitu tergesa-gesa dan tanpa ia sadari dari belakang ada dua orang siswa sedang membawa tumpukan buku besar mengarah padanya. Tumpukan buku besar itu membuat pandangan mereka agak terhalang, sehingga mereka tidak mengetahui dengan jelas bahwa di depan ada orang. Akhirnya, mereka pun menabrak Isya.
Gubraakk!
Duak duak duak...
"Awh!" Isya merintih kesakitan sembari memegangi kepala yang sakit akibat tertimpa beberapa tumpukan buku.
"Whoah..." kedua siswa tadi sangat terkejut setelah tahu orang yang mereka tabrak adalah Isya.
"Ma-maaf, ka-kami tidak sengaja!" mereka berdua langsung memungut buku-buku yang berceceran di lantai. Semua buku mereka ambil sampai tak bersisa satu pun di sana. Setelah terkumpul, mereka bergegas kabur meninggalkan Isya begitu saja. Siapapun di Adinata High School tahu bahwa mereka akan mendapat masalah besar jika mengusik gadis tersebut. Menurut mereka kabur adalah pilihan yang tepat sebelum permasalahannya semakin panjang karena membuat Isya marah.
"Hei! Kalian menabrak orang bukannya ditolong dulu malah kabur begitu saja! Awh..." kepala Isya semakin terasa sakit dan terasa seperti ada sesuatu yang basah. Setelah dicek ada bercak darah di telapak tangan yang memegang kepalanya tadi, "Darah?"
Isya memaksakan diri untuk langsung berdiri. Dengan kondisi seperti itu, ia berdiri dengan sempoyongan hingga hampir jatuh, "Eh..."
Beruntungnya dari belakang ada uluran tangan yang meraih pinggang Isya agar ia tidak jatuh. Setelah tubuh Isya berhasil ditahan, tangan tadi menariknya ke belakang sembari membantu menjaga keseimbangan tubuh Isya untuk berdiri.
Anehnya jantung Isya kembali berdegup kencang ketika punggungnya mendarat di sebuah dada bidang seorang siswa yang tengah menolongnya. "Apa ini?" detak jantung Isya semakin tidak terkendali sampai saat ini.
Dag dig dug dig dag
Isya benar-benar tidak tahu dengan apa yang ia rasakan. Situasi yang Isya rasakan saat ini sama persis dengan insiden saat di tangga. Dalam hati Isya mulai bertanya-tanya, "Siapa dia? Mungkinkah..."
-One Step Closer-