Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Dering ponsel membuat dua wanita mengurai pelukannya, suara itu berasal dari benda milik Yura yang ia letakkan di samping dia duduk.
Yura meraih ponselnya, menyentuh tombol angkat, lalu menempelkan di salah satu telinganya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, kamu dimana?" Tanya Juna lewat sebrang telfon.
"Masih di rumah ummah"
"Belum selesai urusannya?"
"Sudah"
"Terus ngapain masih di sana?"
"Kebetulan ketemu sama Azizah, jadi ngobrol bentar"
"Jangan pulang dulu sebelum aku ke rumah ustadz Zaki, iya"
"Kenapa memangnya? Aku sudah mau pulang"
"Jangan pulang dulu, okay!" Tekan Juna sekali lagi. "Mamah memintaku jemput kamu, tahu kan kalau kamu anak kesayangan mamah, beliau nggak ngijinin kamu pulang sendiri, ngerti!"
"Memangnya nggak ngerepotin?"
"Sudah biasa kan jadi supir kamu"
"Nggak usah jemput kalau gitu"
"Kenapa? Tersinggung sama kata-kataku barusan?"
"Enggak" Jawab Yura.
Terdengar helaan nafas Juna, ada jeda sesaat setelah itu.
"Tunggu ya, satu jam lagi aku sampai di rumah ustadz Zaki" Kata Juna akhirnya.
"Satu jam? Aku ngapain di sini selama satu jam?"
"Katanya ngobrol sama Zizah"
"Zizah juga sebentar lagi balik ngajar"
"Ngobrol sama ummah atau ngapain, kè..!"
"Aku pulang sendiri aja, kelamaan kalau nunggu satu jam"
"Kepala batu emang, ya" Ucap Juna, sedikit geram. "Pokoknya harus tunggu, awas aja kalau nggak nurut!" Usai mengatakan itu Juna langsung mematikan panggilannya.
Karena merasa galau, tak tahu harus ngapain selagi menunggu Juna menjemputnya, Yura pun memilih pulang karena sudah lebih dari satu jam pria itu belum juga tiba.
Ia berpamitan pada Ustadz Zaki dan istrinya.
"Saya mohon pamit ustadz, ummah" Kata Yura lembut.
"Juna belum sampai lho Ra, mungkin macet, coba tunggu sebentar lagi" Bujuk Khadijah.
"Saya baru ingat kalau harus nyari buku materi skripsi, ummah. Biar nanti saya hubungi mas Juna supaya jemput ke toko buku saja"
"Kamu yakin?"
"Iya ummah"
"Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Pokoknya, jangan fikirkan soal ta'aruf tadi. Nanti kalau dia milihnya Azizah, ustadz Zaki carikan yang lebih baik buat kamu, begitu sebaliknya. Jika kamu yang terpilih, ustadz Zaki akan mencarikan pria baik lainnya untuk Zizah"
Yura menarik bibirnya yang terasa kaku agar bisa tersenyum.
"Makasih, ummah"
"Sama-sama, sayang, bahagia selalu ya!"
Yura tersenyum seraya mengangguk, ia lantas meraih punggung tangan Khadijah, setelahnya menangkupkan kedua tangan ketika di depan ustadz Zaki.
"Salam buat Azizah, ummah. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam, hati-hati, nak! Nanti ummah sampaikan ke Zizah, salam juga buat mamah"
"Iya ummah"
Pelan, Yura mulai mengangkat kakinya, berjalan keluar rumah menuju gerbang.
Karena mencari buku hanya alasan Yura saja, ia melangkah tanpa arah entah mau kemana. Mengusir bayangan pria yang ia kagumi menjadi milik sahabatnya.
Yura sudah bulat merelakan Malik untuk Azizah, demi persahabatan yang ia jalin sejak sekolah di RA dan berlanjut hingga MI, Mts, dan juga MA.
Meski saat kuliah mereka terpisah, tapi tak membuat tali silaturrahmi terputus, hubungannya justru kian erat karena Khadijah dan Jazil juga bersahabat baik.
Sungguh sekarang ini pikiran Yura benar-benar kacau, baru pertama kali tertarik pada pria sampai jatuh cinta, tapi langsung di patahkan hatinya hingga berkeping-keping. Tentu saja dia merasa tak enak jika dialah yang terpilih, mengingat Azizah merupakan putri dari ustadz Zaki dan ummah Khadijah.
Yura bahkan sudah membayangkan hidup berumah tangga dengan pria yang ia sukai. Malik Ibrahim Gauvan.
Tapi sayang, ekspektasinya mungkin harus ia pendam dalam-dalam.
***
Hingga tak terasa tahu-tahu langkah Yura sudah sangat jauh dari rumah ustadz Zaki, hari pun sudah mulai gelap sementara waktu maghrib sudah hampir menjelang.
Ia menoleh ke kanan dan kiri karena baru sadar kalau dirinya berada di tempat sepi.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja ada dua pria asing yang menghampirinya. Entah dari arah mana datangnya, detik itu juga Yura terserang rasa panik sekaligus takut.
Ia menelan ludahnya seiring dengan ketakutannya yang kian memuncak.
"Hai, mbak. Mau kemana?"
Yura tak menjawab, dia melebarkan langkahnya mencari keramaian.
"Jangan terlalu cepat mbak, nanti tersandung" Ucap pria lainnya.
Kembali Yura tak merespon.
Tanpa permisi, salah satu pria yang terus mengikutinya meraih pergelangan tangan Yura, namun Yura segera menepisnya.
"Jangan sentuh saya!" Desisnya takut-takut.
"Berikan tasmu pada kami. Kalau tidak, bukan hanya tas yang akan kami ambil, tapi_"
Pria itu menatap genit tubuh Yura, kembali ia mencengkram pergelangan tangannya kali ini dengan sangat kuat.
"Lepas!" Kata Yura berusaha mengurai tangannya. "Saya akan beri kalian uang, tapi tolong lepaskan saya"
"Jangan hanya uang dong, sayang. Kita juga butuh jam tangan dan juga ponselmu"
"Baik, saya akan berikan jam tangan saya" Yura sangat berharap ada seseorang yang lewat, tapi nihil. Jalanan sangat sepi, bahkan satu kendaraan pun tak ada. "Tapi maaf, saya tidak bisa memberikan ponsel saya, ada banyak tugas kuliah di hape saya"
"Kami nggak mau tahu, cepat berikan" Pintanya dengan nada tegas.
Satu pria lainnya membisikkan sesuatu di telinga rekannya.
"Bro, di dekat sini ada pabrik bihun yang sudah tidak terpakai, bagaimana kalau kita bawa dia ke sana, kita sikat saja sekalian"
"Benar juga" Balasnya.
Detik itu juga mereka menarik tangan Yura dan membawanya menuju gedung yang luasnya memanjang. Otomatis rasa takut Yura naik di level paling atas.
"K-kalian mau membawaku kemana?" Tanya Yura, panik.
"Jangan banyak tanya kalau kamu ingin selamat" Jawab pria berkaos biru gelap.
"Cepat sedikit bro, nanti ada yang lewat" Ucap pria lainnya.
Karena firasatnya semakin tak menentu, Yura pun memberanikan diri untuk berteriak sekencang-kencangnya.
"Tolong!" Ia berusaha melapas cengkraman tangan dari pria asing. "Tolong!" Teriaknya lagi.
Juna yang kebetulan sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan rendah melewati jalan itu, sekelebat melihat sosok yang tak asing ketika pandangannya mengedar. Ia sangat yakin kalau itu adalah sang adik.
"Yura!" Cicitnya membulatkan sepasang iris sambil menepikan mobil.
Ia lantas mematikan mesin, kemudian melepas sabuk pengaman sebelum akhirnya keluar dari mobilnya.
Tanpa pikir panjang, pria itu langsung berlai dengan sangat cepat, sembari meneriaki nama Yura
"YURA!" Panggil Juna, namun tak ada respon dari wanita yang ia sebut namanya.
"RA!!" Panggilnya lagi kali ini dengan suara sangat keras.
Tiga orang itu pun menoleh ke belakang, sedikit Yura merasa lega karena yang memanggilnya adalah kakak angkatnya.
"Hai kalian, jangan beraninya sama wanita!" Juna terus berlari, melangkahkan kakinya selebar mungkin.
"Cepat bro!"
"Ini juga sudah cepat!"
Tiba-tiba satu pria tersungkur karena tendangan kuat dari kaki Juna di punggungnya.
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya