Di masa putih abu-abu, Juwita dan Calvin Cloud menikah karena kesalahpahaman. Calvin meminta Juwita untuk menyembunyikan status pernikahan mereka.
Setelah lulus sekolah, Calvin pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan. Sedangkan Juwita memilih berkuliah di Indonesia. Mereka pun saling menjauh, tak memberi kabar seperti kebanyakan pasangan lainnya.
Lima tahun kemudian, Juwita dan Calvin dipertemukan kembali. Calvin baru saja diangkat menjadi presdir baru di perusahaan Lara Crop. Juwita juga diterima menjadi karyawan di perusahaan tersebut.
Akan tetapi, setelah bertemu, sikap Calvin tetap sama. Juwita pun menahan diri untuk tidak memberitahu Calvin jika beberapa tahun silam mengandung anaknya.
Bagaimanakah kelanjutan hubungan Juwita dan Calvin? Apakah Juwita akan tetap merahasiakan buah hatinya, yang selama ini tidak pernah diketahui Calvin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ocean Na Vinli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Gelisah • Revisi
Calvin tak membalas, memandang Chester dengan tatapan datar. Namun, bola mata mungil di balik topeng itu, membuatnya sedikit terganggu. Gangguan aneh yang tidak dapat dia jelaskan sama sekali sekarang.
"Paman minggil!" seru Chester dengan muka mulai merah karena harus menahan pipis sejak tadi.
Untuk kedua kalinya Calvin tidak menanggapi, malah melangkah cepat menuju wastafel. Setelah jalannya tak dihalangi, Chester pun berlari kencang ke pintu toilet.
"Apa dia pergi sendirian?" gumam Calvin pelan seraya melirik ke arah Chester melalui cermin wastafel. Yang saat ini sudah masuk ke dalam toilet.
Setelah selesai mencuci tangan, bukannya langsung keluar. Calvin malah memutar badan kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu di mana Chester masuk tadi.
Tak berselang lama, Chester pun keluar dari toilet sambil membuang napas lega.
Dalam jarak empat meter, Calvin tak berniat sekali pun mengalihkan perhatian dari Chester. Anak laki-laki itu seperti sebuah magnet. Menariknya untuk tidak keluar dari toilet sekarang juga.
"Akhilnya, selesai juga," celetuk Chester sambil merapikan celana sejenak.
Dalam hitungan detik, Chester merasa ada sepasang mata mengintainya sekarang. Dengan cepat dia menoleh ke depan, melihat Calvin masih berada di dalam.
"Di mana orang tuamu?" tanya Calvin seketika.
Dengan takut-takut Chester secara perlahan-lahan menghampiri Calvin. "Ada di toko pakaian."
Calvin tampak terkejut. Urat-urat di wajahnya mendadak menegang. "Jadi kamu ke sini sendirian, tidak ditemani orang tuamu?" tanyanya dengan nada yang sangat dingin. Membuat Chester mulai merasa tak nyaman.
Chester tersenyum kaku. "Iy—a Paman, mama lagi bayal pakaian, kalau begitu Chestel kelual du—"
"Aku akan mengantarmu ke tempat mamamu! Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya sendirian pergi ke toilet!" potong Calvin dengan raut wajah kesal.
Chester menyengir kuda karena Calvin sepertinya kesal dengan mamanya.
"Nggak usah Paman, tadi Mama memang mau antal Chestel, tapi Chestel nggak mampu nahan pipis," jelas Chester, berharap Calvin tidak marah pada mamanya.
Calvin enggan menyahut, malah menyambar cepat tangan Chester. Baru saja tangan mungil itu hinggap di tangannya, Calvin terpaku di tempat sejenak saat menyentuh tangan Chester. Ada sesuatu aneh merayap di hatinya. Sesuatu yang lagi dan lagi tak bisa dia jabarkan.
"Paman, bialin Chestel sendilian!" Chester dengan cepat menarik tangan. Dia pernah diajari Juwita untuk tidak boleh terlalu akrab dengan orang yang baru dikenal.
Namun, Calvin menahan dan menggandeng erat tangannya sekarang.
"Nggak boleh, kamu masih kecil. Aku nggak merasa direpotkan, ayo kita ketemu Mamamu, jangan takut aku nggak akan macam-macam, mamamu karyawanku," ujar Calvin, sorot matanya masih dingin.
'Aduh, Paman ini kenapa ya?' batin Chester sesaat.
Chester tak berani membantah. Bocah lelaki itu hanya pasrah saat Calvin menyeretnya keluar dari toilet.
"Apa nama toko pakaian di tempat kalian belanja?" tanya Calvin tiba-tiba saat sudah berada di luar toilet.
Chester mendongakkan wajah lalu melempar senyum hambar.
"Um, Chestel lupa nama tokonya, tapi Chestel ingat letaknya," kata Chester.
Sementara itu, di lantai yang sama. Juwita sudah selesai membayar belanjaan. Lantas bergegas pergi menuju ke toilet. Juwita begitu gelisah. Perasaannya sangat tak nyaman dari tadi. Namun, suara Putri di belakang membuat langkah kakinya terhenti tiba-tiba.
"Astaga, sempit sekali dunia ini, ketemu di sini juga kita!" seru Putri sambil mengeluarkan tawa mengejek.
Secepat kilat Juwita membalikkan badan. Kehadiran Putri di mall membuat Juwita makin gelisah. Dia berharap wanita di hadapannya ini tidak pergi dengan Calvin. Kalau pun iya, Juwita mendadak cemas jika Calvin bertemu Chester saat ini. Maka dari itu, dia harus pergi ke toilet secepat mungkin untuk memastikan praduganya itu salah.
"Hai Putri, kamu sedang berbelanja juga ya?" tanya Juwita sambil melempar senyum tipis, meskipun sang lawan bicara memandangnya dengan remeh saat ini.
Melihat senyum Juwita, Putri mendadak geram dan kesal. Dahulu Putri membuli Juwita karena Juwita salah satu siswi di sekolah, yang latar belakangnya berbeda dari murid yang lain. Orang tua Juwita dari keluarga biasa dan bukan orang terpandang. Namun, anehnya Juwita bisa masuk ke sekolah yang mahal dan ternama. Bukan hanya itu ada hal lain lagi, yang membuat Putri jadi makin tidak suka pada Juwita.
"Kamu masih bertanya, tentu saja aku belanja, aku malah aneh kenapa kamu ada di tempat seperti ini! Memangnya kamu punya uang?" Putri bertanya dengan senyum sinis merekah di bibir.
Juwita tak terpancing dengan perkataan Putri. Wanita yang memakai rok sebatas lutut, kemeja putih dan blazer hitam itu malah semakin menggembangkan senyuman.
"Tentu saja aku punya uang Putri, aku sudah bekerja, sudah sepantasnya aku bisa membeli apa pun yang aku inginkan, kalau begitu aku permisi dulu. Aku mau bertemu seseorang."
Juwita hendak melangkah. Namun, Putri menahan tangannya tiba-tiba.
"Siapa yang menyuruhmu pergi! Aku belum selesai bicara! Apa kamu tidak punya urat malu hah?! Aku baru saja merendahkanmu!" seru Putri dengan mata melotot keluar.
Suara meninggi Putri membuat beberapa pengunjung mall sesekali memusatkan perhatian ke arah Juwita dan Putri.
"Putri, kalau kamu mau merendahkanku, silakan saja dan aku tidak peduli, bukankah di matamu aku selalu rendah. Sampai sekarang aku masih heran mengapa kamu selalu mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggumu," balas Juwita lalu menghempas kuat tangan Putri.
"Apa karena kamu masih dendam dulu saat aku dikirim pihak sekolah mengikuti olimpiade Fisika? Percayalah Putri aku juga tidak menyangka akan dikirim olimpiade, mengapa kamu tidak bisa melupakan kejadian beberapa tahun silam?" sambung Juwita mulai lelah dengan sikap Putri.
Juwita berusaha menebak alasan Putri membencinya. Sebab setelah Juwita membawa pulang piala dan mengharumkan nama sekolah. Sejak hari itu, Putri kerap kali membulinya. Putri juga menghasut semua murid di sekolah bila Juwita mencari perhatian dengan kepala sekolah.
Kala itu, ketika baru saja menduduki bangku SMA, Juwita dan Putri selalu berkompetisi untuk mendapatkan prestasi baik di bidang akademis dan non-akademis. Dahulu Putri adalah primadona sekolah, sementara dirinya hanyalah benalu. Meskipun begitu, Juwita tidak pantang menyerah, tujuannya adalah harus selalu mendapatkan peringkat di kelas.
Hingga suatu hari, kepala sekolah mengumumkan bahwa Juwita ditunjuk sebagai perwakilan mengikuti olimpiade tingkat nasional. Padahal sebelumnya terdengar desas-desus Putri yang akan dikirim.
Putri menyeringai tipis. "Dasar orang miskin! Aku tidak dendam, untuk apa aku dendam dengan orang miskin sepertimu! Tidak usah mengatur-atur aku! Baguslah kalau kamu sadar diri! Meskipun penampilanmu berubah tapi sikapmu selalu membuatku muak sampai sekarang!"
Memang benar, alasan Putri membenci Juwita karena perihal olimpiade. Padahal Putri sudah menggunakan kekuasaan orang tuanya untuk mengikuti ajang tersebut. Namun, 1 hari sebelum lomba dimulai, nama Juwita yang disebut.
Tentu saja, Putri marah besar karena orang tua Putri mengatakan jika dia tidak memenangkan olimpiade. Maka, uang jajannya akan dikurangi dan fasilitas yang telah diberikan akan ditarik, dan terjadilah yang tidak diinginkan Putri. Tidak hanya itu, Putri juga disiksa oleh kedua orang tuanya.
"Sudahlah, aku pergi dulu, kuharap kita tidak bertemu lagi," ucap Juwita. Tanpa mendengarkan tanggapan Putri, dia membalikkan badan dengan cepat.
Akan tetapi, mata Juwita tiba-tiba terbelalak saat melihat Chester dan Calvin melangkah ke arahnya sambil bergandengan tangan sekarang.
putu e, nongol drmn coba nek ga ono mantu sah
jgn pilon napa, panggil hrd
minta biodata pegawai ats nama juwita kan bisa..
jd jengkel jg
sekalipun ada kerja sampingan dr hasil dagang kue.
namany usaha sendiri, tinggal sendiri, kebutuhan anak.
biar ga jomplang, sesama mak rempyong, yang sama..kudu nabung duku biar bs nyenengin anak ke mall
cha yo kk othor