Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Saat makan malam, Adhisty kembali tak mau ikut bergabung di meja makan seperti sebelum-sebelumnya meski bibi sudah memanggilnya hingga tiga kali.
"Tapi, non. Tuan dan nyonya sejak tadi menunggu Anda di bawah," kata bibi.
"Aku di sini sama kayak bibi, cuma bekerja jadi nggak pantas kalau aku ikut gabung di meja makan bersama mereka," ujar Adhisty beralasan.
"Tapi, non...."
"Udah bibi katakan saja sama mereka aku nggak lapar. Lagi diet nggak makan malam," ucap Adhisty.
Bibi pun segera laporan kepada majikannya di meja makan.
Zayn merasa Adhisty sudah kelewatan, sekali dua kali masih ia diamkan saja tapi lama-lama gadis itu ngelunjak.
" Mau kemana, bang?" tanya Salwa saat melihat Zayn berdiri.
"Menarik anak itu ke sini, lama-lama dia ngelunjak!" sepertinya amarah Zayn soal tadi siang belum juga tuntas.
Brak!
Adhisty berjengit saat pintu kamarnya di buka kasar. Zayn terlihat masuk.
" Mau kamu apa? Kamu di sini tanggung jawabku, kalau nggak pernah mau makan dan kamu sakit, aku yang akan di salahkan orang tuamu. Turun! Kita makan malam bersama!" ucap Zayn dengan sorot matanya yang tajam bak mata elang.
"Aku nggak lapar," jawab Adhisty.
"Terserah mau kau lapar atau tidak, yang jelas jaga pola makanmu dengan baik. Jangan sampai karena kau tidak sehat, kurang gizi karena kurang makan, kau jadi tak hamil-hamil. Jika begitu, maka kita harus sering melakukannya lagi dan lagi," ucap Zayn.
Dan ucapan Zayn itu berhasil memancing reaksi Adhisty. Wanita itu mendengus, sebenarnya ia malas. Tapi ia juga tak ingin berdebat dengan Zayn apalagi begitun lagi dan lagi.
Selain itu juga sebenarnya ia ngeri melihat sorot mata Zayn yang terlihat merah tersebut. Jadilah Adhisty turun dari ranjangnya dan berjalan keluar.
Merasa ada yang ketinggalan di kamar, Adhisty berhenti lalu menoleh, terlihat suaminya masih berdiri di tempatnya tadi, bedanya pria itu kini bersedekap dan memperhatikannya dari belakang.
"Kenapa masih di situ? Niat ngajakin makan nggak sih?" tanya Adhisty sewot.
Zayn mendengus, gadis itu benar-benar tak ada takutnya, pikirnya. Ia tak tahu saja kalau di balik sikap bar-barnya, Adhisty sebenarnya ketakutan setiap kali berhadapan dengannya.
Zayn berjalan pelan keluar dari kamar Adhisty. Berbeda dengan Adhisty yang menggunakn jurus langkah seribunya supaya cepat sampai di meja makan.
"Tunggu bang Zayn, Dhisty. Baru kamu boleh makan," tegur Salwa saat tangan Adhisty menjulur hendak mengambil nasi di meja.
"Ribet, tadi nyuruh makan, sekarang nggak boleh!" batin Adhisty. Padahal dia pengin cepat makan dan bisa segera kembali ke kamar. Tak mau berlama-lama di meja makan melihat suaminya yang menyebalkan itu.
"Itu yang jalan manusia atau siput? Lelet amat! Udah macam putri solo aja!" batin Adhisty saat melihat Zayn berjalan mendekat.
Seperti biasa, Salwa melayani Zayn. Adhisty lihat wanita itu terlihat lebih segar dan wajahnya cerah malam ini. Bahkan wanita itu terlihat bucin layaknya abg yang sedang jatuh cinta, mungkin habis di kasih hadiah tas mewah atau uang banyak sama suaminya, pikir Adhisty dengan polosnya. Namun, apapun itu ia tak peduli.
Adhisty memilih makan dalam diam. Tak berniat masuk ke dalam obrolan Zayn dan Salwa. Yang ia mau hanya segera habis makanannya dan segera pergi dari sana.
"Kenapa diam saja? Sakit gigi?" tanya Zayn tiba-tiba.
Adhisty menoleh ke kiri dan kanan, apakah dia yang di ajak bicara?
"Emang aku harus ngomong apa? Kalau lagi makan nggak boleh sambil bicara kata ayah, papa atau mama mertua juga pasti pernah menasihati seperti itu kan?" ucap Adhisty kemudian. Dan itu sukses membuat Zayn diam tak bertanya lagi.
.
.
.
Hanya di kampus, Adhisty merasa nyaman dan tenang. Sejenak ia melupakan beban hidupnya dan fokus pada mata kuliahnya pagi ini.
Setelah selesai, Adhisty lihat jam masih siang, untuk berangkat ke tempat karaoke pun masih ada waktu dua jaman lagi. Pulang ke rumah juga malas.
Alhasil, Adhisty memilih ngadem di perpustakaan. Dalam ketenangan perpustakaan tersebut, Adhisty teringat kedua orang tuanya. Memang sejak ia menikah dengan Zayn, ia belum menjenguk ibunya di rumah sakit.
Bukannya apa-apa, Adhisty takut tidak bisa menahan diri saat bertemu ayah dan ibunya yang akan membuat kondisi sang ibu semakin buruk. Paling ia hanya berkirim pesan menanyakan kabar ibunya kepada sang ayah dan ayahnya selalu bilang kalau bunda baik-baik saja. Setelah kondisinya memungkinkan, bunda akan di bawa ke Singapura untuk pengobatan di sana yang lebih canggih.
Tapi, entah kenapa saat ini perasaan Adhisty tak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sejak di kelas tadi, ia ingat dengan ibunya terus.
Adhisty melihat ponselnya. Ia akan mengirim pesan kepada ayahnya dan menanyakan kabar ibunya.
Ternyata ada beberapa panggilan yang masuk dari ayahnya sejak satu jam yang lalu. Adhisty tak tahu karena ponselnya ia silent saat berada di perpustakaan.
Adhisty segera memasukkan buku yang akan ia pinjam ke dalam tas lalu keluar. Tiba di sebuah lorong, Adhisty mencoba menghubungi ayahnya. Betapa terkejutnya Adhisty saat mendengar jika ibunya kini sedang kiritis di rumah sakit.
"Ayah coba hubungi kamu dari tadi, tapi tidak kamu angkat, nak. Bunda menanyakanmu sejak pagi tadi," ujar ayah dari seberang telepon.
"Dhisty segera ke sana, yah," Adhisty langsung mematikan panggilan dan berlari mencari taksi.
Sampai di rumah sakit, Adhisty berlari menuju ke ruang dimana ibunya di rawat. Namun, ia tak menemukannya. Adhisty pun bertanya pada resepsionis. Ternyata ibunya di pindahkan ke ruangan VVIP atas permintaan Zayn.
Adhisty pun segera menuju ke ruangan tersebut. Begitu sampai, ia langsung berlari memeluk ibunya.
"Ayah bilang bunda baik-baik saja, kenapa jadi begini?" tanya Adhisty lirih. Ia begitu sakit dan sedih melihat kondisi sang ibu.
"Maafkaj ayah, Dhisty. Bunda yang memibta ayah untuk mengatakannya, dia tidak mau membuatmu kepikiran. Membiarkanmu menikahi tuan muda Zayn saja sudah membuat kamu merasa bersalah, nak," ujar ayah.
Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat putri semata wayangnya berada di sana," Maafkan bunda, nak. Sudah buat kamu menderita. Bunda bukan ibu yang baik," ucap bunda terbata-bata.
Adhisty menggeleng," Enggak bund, budna adalah ibu terbaik yang ada di dunia ini. Dan Adhisty beruntung karena di lahirkan oleh bunda," ucap Adhisty.
"Mana ada ibu terbaik tapi tega menjual anaknya, maafkan bunda, Dhisty,"
"Bunda jangan bicara lagi, tidak usah memikirkan apapun. Yang penting bunda harus kuat, bunda harus sembuh, demi Adhisty. Bunda janji ya, sembuh? Bunda akan berobat ke Singapura dan akan kembali sehat, bunda harus semangat, ya?" ujar Adhisty. Sekuatnya ia menahan agar air matanya tak menetes. Ia terus tersenyum kepada ibunya.
Bunda mengangguk lalu kembali memejamkan matanya. Saat itu juga Adhisty memejamkan matanya, air matanya menetes, namun segera ia usap.
" Bunda harus sembuh, jangan biarkan pengorbanan Dhisty sia-sia," batin Adhisty sembari melihat ibunya yang semakin terlihat lemah.
...........
Malam tiba, Zayn baru menyadari jika sejak kepulangan dari kantor tadi, ia sama sekali tak melihat Adhisty. Bahkan hingga sekarang waktunya makan malam, istrinya itu tak terlihat. Zayn jadi berpikir buruk, apa mungkin Dhisty bekerja di tempat karaoke itu lagi?
"Dia nggak mau makan malam lagi?" tanya Zayn kemudian. Ia ingin tahu apa Adhisty ada di rumah atau tidak.
"Siapa? Oh Dhisty? Dia malam ini nggak pulang, menginap di rumah sakit nungguin ibunya. Katanya ibunya kritis," jelas Salwa.
Zayn terdiam sejenak mendengarnya lalu hanya mengangguk kecil.
.
.
.
Pagi harinya...
Semalaman Adhisty menjaga ibunya yang semakin kritis, hingga ia tertidur di samping ranjang bundanya dengan posisi duduk.
Ayah mengusap rambut Adhisty, membuat Adhisty terbangun, "Ayah, Dhisty ketiduran. Apa bunda bangun? Apa bunda butuh sesuatu saat dhisty tidur?" tanya Adhisty panik.
Ayah menggeleng,"Bagaimana keadaanmu di sana, nak? Maafkan ayah, Dhisty. Mungkin seribu kali ayah minta maaf, tidak akan bisa menebus kesalahan ayah," sesal ayah.
Adhisty menyentuh tangan ayahnya lalu ia cium punggung tangan pria paruh baya tersebut, "Adhisty baik-baik saja, ayah. Ayah jangan khawatirkan Adhisty. Adhisty tak menyalahkan ayah sama sekali, hanya keadaan yang membuat Adhisty berada di posisi ini. Adhisty ikhlas. Semuanya akan baik-baik saja, doakan saja Adhisty cepat hamil dan memberi mereka anak, supaya Adhisty bisa segera lepas dari mereka dan melanjutkan hidup Adhisty," ucapnya bergetar.
Ayah hanya mengangguk, ia tak sanggup bicara karena menahan air mata.
Zayn yang baru membuka pintu ruangan sedikit, tanpa sengaja mendengar percakapan ayah dan anak tersebut. Ia menutup pintu kembali dengan pelan. Menunggu beberapa saat di luar hingga memastikan tak ada obrolan lagi antara mereka, barulah ia masuk.
Zayn sengaja datang ke rumah sakit sebelum ia berangkat ke kantor untuk menjenguk ibu mertuanya tersebut.
Ayah menyambut kedatangan Zayn dengan ramah, sedangkan Adhisty hanya diam. Ia tak menyangka jika pria itu mau datang ke sana menjenguk ibunya, padahal mereka menikah juga karena terpaksa.
Lebih tercengang lagi saat Adhisty melihat Zayn menyalami dan mencium punggung tangan ayahnya dengan takzim.
"Tolong beli makan buat sarapan kamu sama ayah," ucap Zayn pada Adhisty. Adhisty sedikit tercengang karena Zayn bicara dengan lembut, layaknya suami kepada istri tercintanya. Beda sekali dengan kemarin pikirnya.
Adhisty hanya manut, ia pamit keluar karena memang ayah belum makan dari semalam.
"Bagaimana keadaan bunda, ayah?" tanya Zayn sopan setelah Dhisty pergi.
"Bunda kritis sejak semalam. Makin hari kondisinya semakin memburuk sehingga jadwal operasinya harus di undur terus," keluh ayah. Terlihat sekali wajah lelah dan sedih dari ayah mertuanya tersebut.
Zayn tak banyak bicara, ia kemudian mendekati ranjang ibu mertuanya dan menyentuh tangan wanita tak berdaya tersebut lalu mencium punggung tangannya. Dalam hati, Zayn mendoakan kesembuahn ibu mertuanya.
Ayah pamit pergi ke toilet. Karena ada Zayn di sana, ia tak enak buang air di kamar mandi di dalam ruangan tersebut. Alhasil ia pergi ke toilet umum rumah sakit.
Bunda membuka matanya, "Tuan muda," ucapnya lirih.
"Panggil saja Zayn, bund," ucap Zayn lembut.
Bunda mengangguk, "Bunda titip Dhisty selama dia menjadi istrimu. Tolong perlakukan dia dengan baik meskipun dia hanya menjadi ibu pengganti buat anak kamu kelak. Dia memang sedikit keras kepala, tapi sebenarnya dia anak yang baik. Tolong jangan sakiti dia. Jika sudah tiba waktunya dia selesai dengan tugasnya dan kamu tak mau lagi menjaganya, tolong kembalikan dia kepada kami secara baik-baik," ucapnya pelan dan terbata. Terlihat sekali bunda berusaha keras untuk bicara.
"Bunda percaya Zayn akan mampu menjaganya?" tanya Zayn.
Bunda tanpa ragu mengangguk, "Bunda tahu kamu pria yang baik," ujarnya.
Zayn menggeleng, "Bagaimana bisa bunda menganggap Zayn baik setelah apa yang Zayn lakukan terhadap keluarga bunda? Aku hanya seorang pria yang tak punya hati dan perasaan," ucapnya lembut dan sopan.
"Naluri seorang ibu yang mengatakannya. Bunda merasa tenang sekarang jika harus pergi sekarang," kalimat bunda semakin terbata, napasnya mulai tak teratur.
Adhisty yang sejak tadi mendengar percakapan mereka langsung ikut panik saat Zayn berteriak memanggil dokter. Ia segera usap air matanya lalu masuk.
" Bunda kenapa?" tanya Dhisty panik.
Zayn yang sedang membisikkan sesuatu di telinga mertuanya, menoleh lalu menggeleng, ia segera memanggil dokter lewat intercom yang ada di ruangan tersebut. Tak lama kemudian dokter dan perawat datang.
Adhisty dan Zayn diminta untuk menjauh karena dokter akan memeriksa bunda. Adhisty yang sudah ketakutan dan menangis terus memeluk dan memanggil ibunya, ia tak mau menjauh sedikitpun.
Zayn berusaha membujuk Adhisty, "Biarkan dokter memeriksa bunda, kalau kamu seperti ini, mereka akan kesulitan, kamu hanya akan mengganggu dokter bekerja. Mereka lebih tahu tentang penyakit bunda," barulah Adhisty mau melepas pelukannya.
Zayn mengajak Adhisty ke sofa. Tak lama, ayah datang. Melihat istrinya di kelilingi beberapa dokter dan perawat langsung lemas dan tak bisa berkata apapun. Ia bisa tahu jika kondisi sang istri pasti memburuk.
Setelah berusaha semaksimal mungkin, salah satu dokter menghampiri Zayn dan Adhisty, dokter tersebut menggeleng saat Zayn bertanya kondisi mertuanya, "Maaf tuan muda," ucapnya.
Tap perlu di perjelas lagi, semuanya tahu apa maksud dokter tersebut. Adhisty berdiri, tubuhnya sudah lemas, Zayn memapahnya.
"Pasien meninggal pukul delapan lebih lima belas menit," semakin jelas terdengar ucapan dokter kepada perawat yang mencatat, Adhisty langsung lari dan menubruk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa, "Bundaaaaaa!" teriaknya histeris.
...----------------...