Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Resign
Ajeng saat ini sudah duduk berhadapan dengan pimpinannya untuk membicarakan masalah permohonannya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang sudah ia geluti selama 6 tahun semenjak ia lulus kuliah.
Sudah tiga hari ke belakang ia memikirkan semuanya. Seperti kata Sari, ia harus fokus pada hal yang membuatnya bahagia, dan melepas semua beban yang membuatnya sulit untuk melangkah.
Tiga malam ini pun ia khusus menumpahkan semua yang ia rasa kepada Sang empunya segala kekuasaan. Ajeng pasrah mengadukan segala hasrat serta keinginannya demi masa depan dirinya dan buah hatinya.
Ia telah mendapat jawaban atas semua doa-doa dan harapan yang ia panjatkan ke Rabbnya. Kini ia yakin untuk melangkah maju. Ia pun siap untuk mengakui semua pada Dimas serta keluarga di kampung.
Tiada lagi kekhawatiran serta ketakutan yang sempat ia rasa jika keluarga besarnya di kampung mengetahui tentang perpisahan yang terjadi antara dirinya dan Bisma.
Ia sangat-sangat bersyukur disaat dirinya berada dalam keterpurukan, Allah mendatangkan Sari dan mendekatkan keduanya yang sudah lama terpisah. Ia pun lebih fokus dalam memohon dan mengharap hanya semata-mata kepada Allah Sang pemilik segala kesempurnaan.
Ia tidak tau, sampai kapan tenggelam dalam kesedihan atas prahara rumah tangga yang tak bisa ia pertahankan. Jika saja ia tak dipertemukan dengan Sari dan berbicara segala hal pada sahabat yang memang Allah datangkan kepadanya.
“Jadi bu Ajeng sudah memikirkan semua, seperti apa yang saya baca dalam surat permohonan pengunduran diri ini?” pak Sigit atasannya menatapnya dan bertanya dengan tegas.
“Benar pak,” Ajeng menjawab dengan yakin.
Sigit Herlambang, baru saja tiga bulan menjabat sebagai kepala cabang di tempat Ajeng bekerja saat ini. Orangnya simpatik, usianya belum mencapai 40 tahun. Wibawanya sebagai pimpinan membuat para pegawai merasa segan.
Sigit kembali memandang selembar kertas yang berisikan tulisan tangan yang rapi dari perempuan yang sangat berprestasi di tempat yang kini ia pimpin.
“Padahal yang saya tau, kamu akan dipromosikan untuk kenaikan jabatan,” pancing Sigit dengan serius.
Ia tau, pegawai bank yang paling senior adalah Ajeng. Dan apa yang ia sampaikan adalah kebenaran. Baru tiga bulan ia memimpin, sudah banyak nilai positif yang ia lihat dari kinerja Ajeng.
Bukan hanya ‘good looking’ yang membuat siapa pun tak jemu memandang dan berbicara dengannya, tapi keprofesionalannya dalam bekerja layak diacungi jempol. Tak heran, sudah tiga tahun terakhir ia mendapat predikat ssebagai pegawai teladan.
Mendengar perkataan atasannya, Ajeng hanya tersenyum tipis. Ia sudah menjelaskan secara terperinci alasan yang membuatnya resign.
“Apa ini permintaan suami bu Ajeng?” Sigit mesih mencecarnya dengan pertanyaan yang tidak ada kaitan sama sekali, “Di sini tertulis, alasan mengundurkan diri untuk pindah dan mengurus anak.”
Ajeng menghela nafas mendengar ucapan Sigit. Ia telah menuliskan semua sesimpel mungkin agar tidak memancing pertanyaan yang berlebihan. Tapi kenyataannya, pimpinan baru mereka terus mengorek hingga ke dalam-dalamnya.
“Sebenarnya saya ingin meneruskan usaha keluarga,” akhirnya setelah berpikir beberapa saat Ajeng menjawab terus terang.
“Wah!” Sigit memandang Ajeng dengan takjub, “Saya yakin bu Ajeng mampu mengemban tugas ini. Tapi apa tidak bisa dipertimbangkan saja?”
“Saya ingin fokus dengan kepercayaan yang telah diberikan serta putri saya,” Ajeng menjawab apa adanya.
“Padahal bu Ajeng bisa mengurus mutasi bahkan naik jabatan jika tetap bertahan,” Sigit masih mencoba merubah pemikiran Ajeng, “Saya bisa bantu untu mempermudah semua.”
“Terima kasih atas perhatian bapak. Tapi saya sudah memikirkan semuanya belakangan ini. Dan saya sangat yakin dengan keputusan yang telah saya ambil,” tandas Ajeng seketika.
Ia tidak ingin berlama-lama seruangan dengan atasan barunya. Sebagai perempuan normal, ia tau arti pandangan yang ditujukan Sigit padanya. Dan ia tak ingin rekan lain berprasangka negatif atas perhatian yang diberikan atasannya yang masih lajang.
Sementara itu di sebuah ruangan walikota tempat Bisma mengabdi saat ini, ia sedang duduk berhadapan dengan bapak walikota yang akan melakukan lawatan ke negara tetangga.
Sebagai staf ahli, Bisma selalu dilibatkan dalam semua aktivitas pak wali. Ia yang tipe serius dan aktif dalam setiap tugas yang diberikan membuatnya mendapat kepercayaan lebih.
Senyumnya terkembang melihat chat Deby yang selalu mengingatkan untuk menjaga kesehatan dan pola makan yang teratur. Dua minggu ini keduanya tidak bertemu, karena Deby pun berada di luar kota mengikuti atasannya yang melakukan kunjungan ke daerah.
“Saya sebenarnya keberatan dengan pemutasian pak Bisma,” pak Prasetyo selaku pejabat walikota saat ini memang sedang melakukan rapat evalusi dadakan.
Mereka mendapat kabar bahwa Bisma sedang diajukan mutasi untuk mengisi jabatan sebagai staf ahli Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan kota Malang yang akan memasuki masa purna tugas.
Sebagai putra daerah ia tidak keberatan untuk mengemban amanah tersebut. Apalagi ia sering dicecar mamanya untuk balik kampung dan mengabdi di kota seputaran wilayah Surabaya saja.
Walau pun ia belum mengutarakan keinginan yang sempat terpikir beberapa tahun yang lalu. Tapi darah muda dan ambisi untuk menaklukkan garangnya ibu kota, kini telah ia lakukan selama delapan tahun menjadi pegawai negeri dengan dua kali mutasi hingga menjabat staf ahli di kantor walikota.
Kabar bahwa ia akan dimutasi siang ini membuat pikiran Bisma terbagi. Satu sisi ia merasa lega, karena keinginan mamanya bakal terkabul. Tapi di sisi lain, hatinya sedikit bimbang.
Bagaimana mungkin ia menyampaikan berita ini pada Deby. Apakah perempuan yang kini sudah dekat dan secara perlahan mulai mengisi hatinya itu akan menerima atau bahkan keberatan untuk LDR-an dengannya?
“Pak Bisma ragu untuk menerima mutasi ini?” Prasetyo menatapnya dengan rasa ingin tau.
“Saya tidak keberatan sama sekali pak,” Bisma berkata tegas.
Ia akan membicarakan dengan serius pada Deby. Ia yakin untuk memulai bersama perempuan yang telah mencuri hatinya untuk pertama kali. Tiada yang lain dalam bayangannya setiap hendak memejamkan mata.
Hatinya semakin yakin untuk segera berlabuh pada Deby. Perempuan yang berpakaian dengan menutup aurat itu membuat Bisma tak bisa untuk memikirkan hal lain.
Mereka memang belum pernah berbicara serius tentang kelanjutan hubungan di masa depan. Tapi melihat perhatian kecil yang diberikan Deby, membuatnya mulai merajut masa depan yang bakal mereka lalui.
Walau pun setelah menemui mamanya bersama Ajeng untuk mengakhiri kisah rumah tangga mereka, namun Bisma belum sempat untuk mengurus perceraian mereka.
Aktivitas kantor memang telah memakan waktu dan menghabiskan masanya. Tetapi Bisma menikmati semuanya, karena ia memang tipe workhaholik. Dalam dua bulan ke depan, agenda kantor yang bakal ia jalani membuatnya harus melakukan sedikitnya 6 kali kunjungan ke berbagai tempat.
Jika jadwalnya longgar, maka ia akan mengagendakan pertemuan dengan Ajeng serta pengacara yang akan mengurus semua yang berkaitan dengan proses hukum untuk kasus perpisahan mereka.
Siang itu di sudut ruangan di salah satu bank milik pemerintah semua pegawai bank dari staf rendahan hingga pejabat tertinggi sedang berkumpul bersama.
Hari ini adalah hari terakhir Ajeng berada di ruangan yang telah membesarkan namanya dan memberi materi yang tak terhitung jumlahnya.
Ia memberikan kesan dan pesan yang ia rasakan selama mendapat kepercayaan untuk mengabdikan diri sebagai pegawai. Ajeng tak lupa mengucapkan syukur serta terima kasih yang mendalam karena mendapat dukungan serta bimbingan dari atasan maupun rekan kerja selama ia bertugas dan mengabdi.
Rasa haru serta suka cita maupun duka luruh jadi satu, ketika sesi salam-salaman dan pemberian cindera mata dari kantor serta rekan yang memiliki kedekatan pribadi padanya.
Ajeng tak mampu menahan air mata, saat rekan perempuan memeluknya dan mengucapkan selamat jalan dan semoga berhasil dengan apa yang bakal ia lakukan di masa depan.
“Semoga bu Ajeng sukses dengan apa pun yang bakal dijalani di masa depan,” Sigit menyalami tangannya dengan penuh kehangatan.
“Terima kasih pak,” Ajeng tersenyum dengan penuh haru.
Siang itu terlewati dengan berbagai perasaan yang tidak bisa Ajeng gambarkan. Walau pun berat, ia harus melangkah maju.
Segalanya telah ia dapatkan selama berkarier sebagai pegawai bank pemerintah. Kini saatnya ia melanjutkan perjuangan demi masa depan yang ia harapkan semakin cerah bersama orang-orang terdekatnya.