Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan Belas
Samuel merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat ia membersihkan tubuh Nadia. Pemandangan langsung terasa jauh lebih menggugah daripada sekadar melihatnya melalui kamera pengawas. Berusaha mengendalikan pikirannya, Samuel membalut Nadia dengan handuk lembut, memastikan tubuh mungilnya terbungkus rapi sebelum menggendongnya kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, Samuel baru saja membaringkannya di ranjang ketika seseorang mengetuk pintu. "Tuan Samuel, Dr. William sudah tiba dan menunggu di ruang tamu."
Samuel mengangguk singkat. "Minta dia menunggu sebentar. Bawakan pakaian dari belanjaan pagi ini."
Saat pakaian tiba, Samuel perlahan mengenakan pakaian itu pada Nadia, meski tak terbiasa dengan pakaian wanita. Butuh waktu bagi Samuel, yang jarang berurusan dengan hal semacam ini, namun akhirnya ia berhasil.
Setelah memastikan Nadia sudah rapi, ia memanggil William masuk.
William masuk dengan perlengkapan medis di tangan, alisnya sedikit terangkat. Mendengar bahwa Samuel mendatangkan dokter ke vilanya karena seorang wanita adalah kejutan tersendiri. Semua orang tahu bahwa Samuel sangat tertutup dan tidak pernah membawa wanita ke tempat pribadinya. Rasa penasaran William semakin besar—siapa wanita ini?
Saat tiba di kamar dan melihat wanita itu terbaring di ranjang Samuel, keterkejutan William semakin bertambah. Nadia terlihat lemah dan mungil, matanya terpejam rapat, dan bibirnya tampak pucat. Bayangan bulu matanya yang panjang semakin menonjolkan sisi rapuhnya.
William nyaris tidak percaya—Samuel yang terkenal dengan perfeksionismenya, bahkan hampir menendangnya keluar kamar hanya karena tak sengaja duduk di ranjang. Tapi kini, ada seorang wanita yang terbaring di sana. William menghela napas pelan, merasa ini benar-benar di luar kebiasaan Samuel.
Dengan senyum penasaran, William menoleh ke Samuel. "Samuel, aku tidak menyangka ini adalah tipe wanita yang menarik perhatianmu. Kalian sudah berapa lama saling mengenal?"
Dalam waktu singkat, Samuel berhasil memelihara "hubungan khusus" di tempat persembunyiannya?
Samuel tidak suka dengan komentar William yang menyinggung kehidupannya. Sorot matanya yang tajam menatap dokter itu sambil berkata, "Fokus pada penyembuhannya, dan jangan banyak bicara! Kalau dia tidak sadar, kariermu tamat!"
Ancaman itu membuat William bergidik. Terlihat jelas bahwa wanita ini sangat berarti bagi Samuel.
William langsung memeriksa kondisi Nadia tanpa sepatah kata pun.
Setelah mengeceknya, ia berkata, "Dia mengalami demam tinggi akibat terlalu lama kehujanan. Untuk menurunkan suhu tubuhnya, dia butuh suntikan penurun demam. Tapi tenang, kondisinya stabil. Setelah suntikan ini, kemungkinan besok dia akan sadar."
William segera menyiapkan jarum suntik dan obat penurun panas dari kotak P3K-nya.
Setelah memastikan semuanya siap, William menekan jarum suntik perlahan untuk memastikan tidak ada udara di dalamnya. "Suntikan ini harus diberikan di otot bokong. Samuel, bisa tolong balikkan tubuhnya dan angkat sedikit roknya?"
Mendengar permintaan William, tatapan Samuel menjadi tajam, membuat dokter itu buru-buru berkata, "Ini hanya prosedur medis, Samuel. Jangan terlalu serius. Aku tidak punya maksud apa-apa."
Melihat Samuel sangat protektif terhadap wanita itu, William merasa tertekan. Seandainya semua keluarga pasien bereaksi seperti ini, mungkin ia sudah berhenti jadi dokter sejak lama.
Karena tidak tahan dengan tatapan Samuel, William ragu dan berkata, "Kalau keberatan, kita bisa pakai obat oral, tapi efeknya lambat, dan aku tidak bisa jamin dia akan cepat sadar..."
Tanpa banyak bicara, Samuel meraih jarum suntik itu. "Aku saja yang melakukannya."
Sedikit terkejut, William menyerahkan jarum suntiknya.
Samuel tak ingin William melihat Nadia dalam keadaan tak pantas, jadi dia memutuskan untuk melakukan prosedur sendiri.
Dulu, Samuel pernah menjalani pelatihan militer ketat yang mengharuskannya menangani lukanya sendiri. Menyuntik seseorang tidaklah sulit baginya.
Setelah menerima jarum suntik, Samuel memberi tatapan peringatan pada William, yang langsung berpaling.
Dengan hati-hati, Samuel membalikkan tubuh Nadia, mengangkat sedikit roknya, dan mencari titik suntikan di bokongnya. Setelah menemukan posisi yang tepat, ia menusukkan jarum dengan lembut.
Meski berusaha lembut, Nadia tetap merasakan nyeri samar. Alisnya berkerut, dan ia mengerang pelan dalam tidurnya.
Suara lembut Samuel terdengar, "Sabar, hanya sebentar."
Di kejauhan, William terkesiap. Sulit dipercaya Samuel bisa begitu lembut.
Setelah selesai, Samuel merapikan pakaian Nadia dan mempersilakan William untuk berbalik.
Setengah jam kemudian, William mengecek suhu tubuh Nadia lagi. "Demamnya sudah turun. Pastikan suhu tubuhnya tetap stabil. Jika demamnya naik malam ini, Anda bisa mengompres tubuhnya dengan alkohol untuk mendinginkannya."
Ia juga mengingatkan, "Mungkin ia akan terserang flu ringan. Berikan obat flu besok pagi."
Samuel merasa lebih tenang setelah mendengar kondisi Nadia baik-baik saja.
Mereka berdua pindah ke ruang tamu, dan Samuel menyuruh salah satu anak buahnya membawakan teh untuk William.
William menyeruput teh sambil tersenyum penuh arti, namun dia memilih tidak bertanya lebih lanjut soal Nadia. Tetapi sebagai dokter, dia lega melihat Samuel, yang biasanya tak tertarik pada wanita, akhirnya memiliki seseorang yang bisa membuatnya lebih tenang.
Berbicara tentang gangguan tidur Samuel, William berkata, "Samuel, obat tidur baru sedang diuji coba. Jika aman, akan segera tersedia untukmu."
Samuel hanya mengangguk.
Namun, sejak bertemu Nadia, Samuel tidak lagi bergantung pada obat tidur. Kehadiran wanita itu lebih ampuh dari pil apa pun bagi Samuel.
Setelah William selesai menikmati tehnya, dia bergegas pamit. Dia tahu betul, Samuel jelas-jelas tidak sabar ingin kembali ke kamarnya untuk merawat Nadia. Dari tatapan matanya yang berkali-kali melirik jam tangan, Samuel tampak tak tertarik untuk berbincang lebih lama dengan William.
Sesampainya di kamar, Samuel tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat wajah Nadia yang tampak begitu lemah dan pucat karena sakit. Khawatir akan terjadi hal-hal tak diinginkan selama malam itu, dia memutuskan untuk menjaganya sepanjang malam. Setelah membersihkan diri, dia naik ke tempat tidur, menarik selimut, dan tidur di sampingnya.
Meski tubuh Nadia panas karena demam, dia menggigil kedinginan di balik selimut. Samuel, yang tak tega melihatnya kedinginan, menariknya ke dalam pelukan, membiarkan suhu tubuhnya memberikan kehangatan untuk gadis itu. Tanpa disadari, aroma lembut dari tubuh Nadia menguar dan memenuhi indera penciumannya, memberikan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Dalam tidurnya, Nadia merasa hangat seperti berada di samping api unggun. Tanpa sadar, dia semakin mendekat, tubuhnya yang mungil dan lembut bergerak mendekat, menyentuh Samuel dengan keinginan akan kehangatan.
Saat wajahnya menempel di dada Samuel, tubuh pria itu bereaksi secara alami. Samuel merasa ragu, tetapi dengan cepat menarik napas panjang dan mencoba menahan diri. Dia berbisik pelan dengan nada menggoda yang penuh peringatan, “Jangan memancingku, Nadia.”
Namun, Nadia yang sedang tak sadar, semakin menempel. Pahanya tanpa sengaja bergesekan dengan kakinya, membuat Samuel semakin kesulitan menahan diri. Akhirnya, dia mengumpat pelan, merasa kewalahan dengan perasaan yang membara di dadanya. Saat itu, dia memutuskan untuk bangkit dan memilih mandi air dingin untuk meredakan ketegangan yang ada.
*****
Malam itu terasa panjang bagi Samuel, setiap gerakan kecil Nadia membuat tidurnya terganggu, tetapi dia tak bergeming dari tempatnya. Dengan penuh kesabaran, Samuel mengukur suhu tubuhnya beberapa kali untuk memastikan keadaannya tetap stabil. Beruntung, keesokan paginya, demam Nadia berangsur reda. Meski semalaman begadang, dia merasa lega karena usaha kerasnya tak sia-sia.
Samuel, yang terbiasa memegang kendali dalam hidupnya, tak pernah membayangkan dirinya begadang demi seseorang, apalagi untuk merawat seorang wanita. Pengalaman ini benar-benar baru baginya.
Begitu melihat Nadia masih tertidur, Samuel melangkah ke dapur untuk menyiapkan bubur hangat. Setelah sakit semalaman, dia tahu Nadia perlu sesuatu yang ringan untuk dikonsumsi, agar tubuhnya pulih perlahan.
Di luar vila, dua pengawal Samuel masih berlutut di halaman. Mereka telah diguyur hujan semalaman. Meskipun tubuh mereka sudah terbiasa dengan kondisi keras, berlutut semalaman tetap membuat mereka merasa lelah dan lutut mereka terasa mati rasa. Mereka tak berani bangkit hingga mendapat perintah dari Samuel.
Saat bubur telah siap, seorang pelayan datang mengingatkan Samuel tentang jadwal kerjanya hari itu. Namun, Samuel tanpa ragu menjawab, “Tunda semua yang penting sampai besok. Yang bisa diurus asisten, biarkan mereka kerjakan.”
Pelayan itu terkejut, namun segera mengangguk dan melaksanakan perintahnya. Samuel, yang selalu memprioritaskan pekerjaan, kini lebih memilih untuk tinggal di rumah demi Nadia.
Samuel kembali ke kamar, membawa bubur untuk Nadia. Namun, karena Nadia masih terlelap, dia memutuskan untuk duduk di sofa dengan laptopnya, menyelesaikan pekerjaan sambil menemani Nadia.
Tak lama kemudian, Nadia mulai bergerak perlahan, mengerutkan kening saat mulai sadar. Seluruh tubuhnya terasa lemah, dan ada rasa sakit di kepalanya. Dia merasakan hidungnya tersumbat, pertanda jelas bahwa dia sedang sakit.
Saat matanya perlahan terbuka, Samuel menoleh dari sofanya dan bertanya dengan lembut, “Sudah bangun?”
Samuel menyingkirkan laptopnya dan menelepon pelayan untuk meminta agar bubur yang baru saja dimasak segera diantarkan.
Suara Samuel yang tiba-tiba membuat Nadia tertegun. Dengan kondisinya yang lemah, reaksinya lambat. Samuel berjalan mendekat hingga berdiri di sisi tempat tidurnya, kemudian ia menyentuh dahi Nadia, memeriksa suhu tubuhnya untuk memastikan kondisinya sudah lebih baik.
Saat itulah Nadia mulai mengingat kejadian kemarin. Samuel telah mengurungnya di balkon di tengah hujan deras hingga ia basah kuyup dan menggigil. Nadia tidak ingat kapan tepatnya ia pingsan, tapi saat berada di ambang keputusasaan, ia sempat berpikir mungkin itu akan menjadi akhir hidupnya.
Saat terbangun dan melihat Samuel, pria yang bertanggung jawab atas penderitaannya, berada di depannya, kemarahan menyelimutinya. Mata Nadia awalnya tampak bingung, tapi perlahan berubah penuh kebencian, seolah-olah ada api yang berkobar di dalamnya.
Dengan tenaga yang tersisa, ia menepis tangan Samuel dari dahinya. "Jangan sentuh aku!" katanya, terdengar lemah namun tegas.
Di saat itu, pelayan mengetuk pintu dan masuk, membawa mangkuk bubur. Samuel mengambilnya dan duduk di samping tempat tidur Nadia. Mengabaikan tatapan penuh kebencian darinya, ia berkata, "Kamu perlu makan agar cepat sembuh." Dengan sabar, ia meniup sesendok bubur untuk memastikan suhunya pas sebelum mencoba menyuapinya ke Nadia.
Namun, Nadia menolak. Ia memalingkan wajahnya, menolak untuk menerima apapun dari Samuel. Samuel tetap tenang, meskipun dirinya sebenarnya hampir kehabisan kesabaran. "Jadilah gadis yang baik dan makan sedikit," katanya sambil berusaha tetap lembut. Nadia hanya menyelimuti kepalanya, menolak mentah-mentah. "Aku tidak butuh kemunafikanmu," ucapnya dari balik selimut.
Samuel menarik napas panjang. Perasaannya bercampur aduk antara kesal dan bersalah. Ia tidak pernah menyangka tindakannya kemarin bisa mengakibatkan situasi yang begitu berbahaya. Ia bahkan sempat begadang semalaman untuk merawatnya dan memasak bubur ini pagi-pagi sekali. Namun, Nadia membalas semuanya dengan penolakan dan kebencian.
Ketika Nadia kembali menolak suapan itu, Samuel menatapnya dengan wajah muram. Emosi di wajahnya jelas menunjukkan bahwa kesabarannya sudah habis. Namun, Nadia tak gentar. Rasa sakit dan amarah yang mendalam membuatnya tak peduli lagi pada apapun yang Samuel rasakan.
Akhirnya, Nadia berbalik memunggunginya, mengabaikan keberadaan Samuel yang masih duduk di sampingnya.
Hingga akhirnya Samuel menyuap bubur di sendok. Dia mencondongkan tubuh ke depan, mempersempit jarak di antara mereka, dan menoleh ke arah Nadia yang terbaring di tempat tidur.
Nadia terkejut saat melihat wajah tampan Samuel mendekat begitu cepat. Ketegangan di udara semakin terasa saat Samuel menghampirinya lebih dekat lagi.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Nadia bertanya dengan nada panik. Hatinya berdebar kencang, tak tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Apakah Samuel berniat melakukannya lagi? Apakah dia benar-benar ingin membunuhnya?
Dalam kebingungannya, Nadia bahkan tidak sempat menghindar. Samuel mencondongkan tubuh lebih jauh dan dengan cepat menciumnya, bibirnya yang sedikit kering kini tersentuh oleh ciuman yang tak diinginkannya. Sebelum Nadia bisa bereaksi, Samuel memperdalam bibirnya, memaksa bubur itu masuk ke dalam mulutnya.
Nadia terkejut dan tanpa sadar menelan bubur tersebut. Tubuhnya menegang, hatinya bergejolak. Samuel—pria yang telah membuatnya menderita begitu lama—baru saja menciumnya tanpa izin. Matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Selain pria dari dua tahun lalu, ini adalah satu-satunya kejadian di mana seseorang menciumnya tanpa keinginannya. Kenangan itu mengobarkan kembali perasaan marah dan malu yang memuncak. Rasa malu itu membakar wajahnya, sementara rasa marah tak tertahankan memenuhi hatinya.
Mata Nadia menyala tajam, penuh kebencian. Dia menatap Samuel dengan penuh kemarahan, seolah ingin meledak setiap saat. Samuel, yang menyadari tatapan itu, menjilati bibirnya dengan perlahan sebelum berkata dengan suara yang penuh tantangan, "Jika kau terus menolak, aku tidak keberatan menyuapimu dengan cara seperti ini lagi."
Nadia masih merasakan amarah yang memuncak dari perlakuan Samuel kemarin, dan sekarang dia dipaksa makan bubur melalui ciuman yang sangat dipaksakan. Kata-kata kasar Samuel semakin memanaskan suasana. Bagaimana mungkin Samuel memperlakukan dirinya seperti ini? Seolah-olah penderitaannya belum cukup, dia kini dipermalukan lagi dengan cara yang lebih hina.
Dengan sekuat tenaga, Nadia menggertakkan giginya dan berteriak, "Samuel, dasar brengsek!" Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pecahan kaca yang tajam, penuh kebencian dan penolakan. Ciuman itu, perbuatan keji Samuel yang mengurung dan menganiayanya kemarin, semua perasaan itu kini berkumpul dalam satu ledakan emosi yang tak terkendali. Bagaimana mungkin Samuel terus melakukannya? Mengapa dia harus dipermalukan seperti ini?
Samuel, seolah tidak peduli dengan amarah Nadia, tersenyum sinis dan menjawab, "Ya, aku brengsek! Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa aku bertindak seperti brengsek. Kau seharusnya sudah tahu itu."
Nadia merasa tubuhnya bergetar karena kemarahan. Giginya saling bertautan, dan wajahnya dipenuhi dengan rasa jijik yang mendalam. Kata-kata Samuel semakin memperburuk perasaannya. Mengapa dia terus melakukan ini padanya? Bukankah dia sudah cukup menderita?
Sekarang, perasaan yang terpendam selama ini keluar begitu saja, dan air mata pun mengalir deras dari mata Nadia. Air mata itu bukan hanya karena rasa sakit fisik yang ia rasakan, tapi juga karena penghinaan yang terus menerus ia terima. Tangisan Nadia semakin keras, tidak bisa ia tahan lagi. Ciuman itu, perlakuan kasar itu, semuanya menyatu dalam satu lautan emosi yang ia rasakan.
Nadia menangis, merasakan seluruh tubuhnya gemetar oleh perasaan yang begitu berat.
Melihat mata Nadia yang merah dan air matanya yang terus mengalir, sesuatu yang tidak terduga muncul dalam hati Samuel. Rasa sakit di dalam dadanya sedikit mereda, digantikan oleh keinginan yang kuat untuk merawatnya, untuk menghapus kesedihannya. Tanpa sadar, dia ingin sekali memeluknya, meredakan kesedihannya, dan bahkan mencium bibirnya untuk menghapus air mata itu.
Namun, saat itu, dia tahu... dia tidak bisa melakukannya. Meskipun hatinya terasa hancur melihatnya menangis seperti itu, dia tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya. Tidak sekarang. Misi utamanya adalah membuat Nadia makan, itu yang harus dia lakukan.
Samuel menatap Nadia yang masih menangis, wajahnya terbalut rasa sakit dan kesal. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Kamu mau makan sendiri atau aku yang menyuapimu?"
Nadia hanya menangis, terisak-isak tanpa bisa berkata-kata. Air matanya terus mengalir deras, seperti sungai yang tak terbendung. Dia tampak begitu rapuh, seperti anak kecil yang kehilangan kekuatan untuk bertahan. Setelah beberapa detik yang penuh keheningan, Nadia tidak memberikan jawaban, hanya tangisan yang memenuhi ruangan.
Samuel menggigit sendok berisi bubur lagi, pura-pura seperti tidak ada yang terjadi. Dia mendekatkan wajahnya lagi, berniat untuk menyuap Nadia meskipun dia tahu ini mungkin membuatnya semakin tertekan.
Melihat Samuel yang mendekat lagi, Nadia terisak-isak lebih keras. "Aku akan... makan..." katanya pelan, suara yang keluar terdengar seperti rintihan anak kecil yang kelelahan. Kata-katanya penuh kelemahan, namun juga ada sedikit harapan di dalamnya.
Samuel merasa sedikit tergerak oleh kelembutan suara Nadia. Tanpa membuang waktu, dia menyendok bubur dan menyuapkannya ke mulut Nadia. Kali ini, Nadia tidak menolak. Dia hanya mengangguk pelan dan menelan bubur itu sambil tetap menangis, seperti tidak bisa mengendalikan dirinya.
Samuel mengamati Nadia dengan perhatian yang jarang ia tunjukkan. Wajahnya masih dibasahi air mata, hidungnya sedikit meler, dan dari sudut matanya mengalir air mata yang tak berhenti. Samuel merasa sedikit kasihan, namun sekaligus geli melihatnya. Dia merasa seperti harus menjaga citra diri Nadia yang biasanya begitu kuat dan tangguh, namun sekarang dia hanya terlihat rapuh, terhanyut dalam kesedihan yang tak bisa dia kendalikan.
Dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, Samuel bersuara, menyeka air mata yang masih membasahi wajah Nadia dan juga ingus yang mengalir dari hidungnya. "Kotor sekali," katanya dengan sindiran ringan, seolah mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang menggelora di hatinya.
Namun, kata-katanya itu tetap menambah beban di hati Nadia. Bagaimana mungkin Samuel—pria yang seharusnya mengerti perasaannya—menyindirnya dalam keadaan seperti ini? Nadia yang masih berusia 22 tahun itu tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin keluar dari situasi ini, ingin menghindari semua rasa malu yang datang bersamaan dengan sakit hatinya.
Mata Nadia yang sembab dan memerah menatapnya dengan tatapan penuh rasa sakit, "Jika kau... tidak menyukai... kotoranku... biarkan aku... pergi..."
Samuel menatapnya dengan dingin, kemudian mengambil sesendok lagi dan menyuapkannya ke Nadia. "Jika aku membiarkanmu pergi, siapa yang akan membayar barang-barangku?" jawabnya, dengan nada yang kembali datar dan acuh tak acuh.
Nadia langsung cemas, tubuhnya bergetar, dan air mata kembali mengalir. "Aku... sudah bilang... aku tidak... mencurinya! Kenapa... kau tidak... percaya padaku?" katanya dengan suara terputus-putus, seperti anak kecil yang merasa tidak dipahami. "Jika aku mencurinya, aku pasti sudah mengembalikannya setelah semua perlakuan burukmu! Mengapa aku harus menanggung semua ini?"
Samuel hanya mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Bahkan jika kamu tidak mencurinya, kamu tidak bisa pergi sampai kita menangkap pencurinya."
Dia melakukannya lagi. Tidak ada penyesalan, tidak ada rasa bersalah dalam kata-katanya. Dia berbicara seperti biasa, seperti tidak ada yang penting dalam perasaannya.
Nadia merasa tubuhnya semakin gelisah. Dia merasa seperti sedang dijebak dalam sebuah labirin yang tak berujung, dipaksa untuk membayar kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. "Samuel, dasar brengsek!" serunya dengan marah.
Kata-kata itu terasa kosong, seperti percakapan yang sudah terlalu sering dia ulang. Dia sudah terlalu lama terperangkap dalam permainan Samuel yang tak ada ujungnya. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Apakah dia akan terus dijadikan sasaran kekesalan Samuel?
Melihat reaksi Nadia yang semakin cemas, Samuel akhirnya bertanya dengan nada yang sedikit lebih lembut, meski masih penuh sindiran. "Apakah kamu begitu ingin pergi? Apakah tinggal di sini begitu mengerikan bagimu?" tanyanya, seolah benar-benar ingin tahu.