Berawal dari penghianatan sang sahabat yang ternyata adalah selingkuhan kekasihnya mengantarkan Andini pada malam kelam yang berujung penyesalan.
Andini harus merelakan dirinya bermalam dengan seorang pria yang ternyata adalah sahabat dari kakaknya yang merupakan seorang duda tampan.
"Loe harus nikahin adek gue Ray!"
"Gue akan tanggungjawab, tapi kalo adek loe bersedia!"
"Aku nggak mau!"
Ig: weni 0192
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon weni3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Reflek Andini segera turun dari pangkuan Rai setelah mendengar suara pintu terbuka, bahkan kini dia justru terjatuh karena pendaratan yang tak sempurna.
"Rai..."
"Mamah..."
Rai dan Andini tampak terkejut melihat siapa gerangan yang datang, sang mamah yang melihat keduanya dengan penampilan acak-acakan cukup paham. Apa lagi sang papah yang ada di belakangnya. Mengerti betul apa yang kedua anak mereka lakukan.
Melihat Andini sedikit meringis dengan wajah padam, Rai segera turun membantu. Membimbing agar Andini dapat berdiri kembali kemudian menutupi tubuhnya untuk membereskan kekacauan yang ia buat.
"Maaf berantakan..." Rai merapikan rambut Andini. Sedangkan Andini dengan kikuk mengancingkan dua kancing kemejanya.
Andini serasa ingin menghilang dari sana, dia begitu malu saat Rai memperhatikan apa lagi kedua mertuanya yang saat ini sudah berdiri di dekat pintu memberi celah untuk mereka berdua.
"Gila...gila malu banget gue, kalo ada helm udah gue pake nich. Mana di liat mertua, muka polos doang tapi doyan."
"Sudah rapi.."
Tanpa ada kata Andini hanya menganggukkan kepala, wajahnya sudah sangat memerah. Raihan yang mengerti meminta Andini untuk segera keluar dan kembali ke ruangannya dari pada terjebak di situasi yang membuatnya canggung.
"Kembalilah ke ruanganmu, biar mamah dan papah aku yang urus."
"Hhmm...."
Andini segera berjalan dengan membawa kotak nasi yang sudah kosong, menghampiri kedua mertuanya dengan senyum canggung.
"Mah, Pah...." Andini meraih tangan keduanya dan menciumnya.
"Maaf mamah dan papah mengganggu ya," ucap Sifa tidak enak.
"Mah, sudah biarkan Andin kembali keruangannya." Raihan segera memotong ucapan sang mamah, dia tidak ingin Andini bertambah malu.
"Maaf mah, Andini kembali bekerja dulu ya. Takut di marahin bosnya." Andini melirik sekilas Rai yang sedang merapikan rambutnya kemudian ngacir keluar ruangan.
"Rai_Rai kayak nggak ada tempat lain aja kamu tuh, seenggaknya pintu di kunci dulu kek. Itu di sebelah juga ada kamar." Vino segera duduk di sofa bersama istrinya.
"Pah...namanya juga masih muda," sahut mamah.
Raihan menarik nafas dalam, nggak tau saja jika itu semua momen langka. Dan tak mesti terjadi jika tidak ada unsur ketidaksengajaan seperti tadi.
"Ada apa mah Pah?"
" Jangan kesel seperti itu, nanti di lanjut lagi kan bisa di rumah." Kini gantian sang mamah yang meledek.
Raihan tak menjawab, dia hanya mendengus dan menatap datar kedua orangtuanya. Sedangkan beliau tersenyum lembut melihat wajah bete anaknya.
"Mamah sama papah tuh kesini nggak sengaja awalnya, mampir aja karena tadi sempat mengajak papamu makan di restoran padang depan. Mamah kangen sama makanan favorit mamah, kerena tau dari Andika jika Andini juga magang disini makanya sekalian mampir. Mau menyapa tapi malah kalian tertangkap basah, jadi nggak enak mamah."
"Kenapa nggak hubungin aku tadi?"
"Siapa bilang, bahkan papah menelponmu berulang kali. Papah dan mamah juga bertemu Andika dan makan bersama di sana."
Raihan mengambil ponselnya di balik jas dan benar saja berulang kali panggilan tak terjawab dari sang papah. "Maaf Pah."
"Nggak apa-apa, papah ngerti kamu terlalu fokus. Dan nggak jadi masalah untuk papah dan mamah asal segera memberi kabar baik untuk kita."
Sifa tersenyum, diapun setuju akan itu. "Ajak Andini kerumah ya, biar mamah bisa dekat dengan dia. Menantu mamah cantik sekali, pantas saja kamu jadi begini."
"Mah, udah donk!" kesal Raihan yang justru membuat kedua orangtuanya tertawa.
Sampai sore degup jantung Andini tak menentu, dia merutuki kebodohannya kenapa bisa sampai terbuai. Yang benar saja, bahkan dia membalas dengan cukup lincah bagi dia yang pemula.
Gelisah setiap teringat yang tadi, apa lagi di pergoki oleh kedua mertuanya membuat Andini tak fokus. Beruntung Tara mengerti dan menghandle dengan rapi pekerjaan Andini. Kalo tidak sudah di pastikan kena peringatan dari atasan.
"Makasih ya.."
"Ayo balik, gue anter."
"Eh nggak usah, cukup loe gue repotin dengan kerjaan gue tadi. Nggak mau makin banyak aja gue ngerasa nggak enaknya sama loe!"
Andini segera keluar dari ruangannya karena tidak enak jika tinggal mereka berdua saja yang belum keluar. Sedangkan Pak Heru dan mbak Erna sudah sejak 30 menit yang lalu pamit.
"Ndin..." Tara menahan tubuh Andini dengan menarik lengannya hingga langkah Andin terhenti.
"Gue cuma mau nganter, please nggak ada niat lain. Gue masih sayang sama loe Ndin."
"Tapi gue nggak bisa Tara, bahkan rasa kecewa itu masih melekat. Gue udah maafin loe dan juga dia, tapi buat sama-sama lagi maaf gue nggak bisa." Andini bersikap tenang menghadapi Tara. Memang mereka harus bicara bukan terus menghindar.
"Nggak ada sekalipun kesempatan buat gue?" lirih Tara yang benar-benar berharap. Kini keduanya bahkan saling menatap, tetapi tak ada getaran yang di rasa oleh Andini saat ini.
"Sekarang semua udah nggak sama dan gue udah nggak bisa menjalin hubungan dengan loe lagi. Gue harap loe ngerti, mungkin kita masih bisa dekat karena satu kerjaan. Dan hanya sebatas teman, bukan untuk pacaran."
"Maaf Tara, sedikitnya hati gue masih sayang walaupun tak seperti dulu, tapi status gue yang nggak sama dan itu karena loe. Walaupun gue nggak cinta sama kak Rai, tapi status gue masih terikat sama dia. Seenggaknya gue masih menghargai itu untuk nggak menjalin dengan yang lain."
"Gue nyesel Ndin, sumpah gue nyesel. Gue terlalu bodoh, gue nggak mikir bakal begini jadinya. Nafsu yang udah nutupin semuanya," Tara benar-benar menyesal. Dia tertunduk dengan ekor mata yang basah, mau bagaimana caranya agar Andin mau menerima, tetapi semua seakan sia-sia karena wanita yang ia cinta sudah benar-benar menolak.
Keduanya berjalan bersamaan setelah pembahasan yang berujung pertemanan. Tara berusaha legawa menerima semuanya, berjalan bersama tanpa bergandengan yang terpenting Andini masih bisa bersama ntah sampai kapan.
"Beneran nggak mau gue anter, gue nggak minta kembalian Ndin. Cuma-cuma tanpa di pungut biaya, lagian sahabat loe udah pada balik semua. Ini udah mau magrib juga."
Kini keduanya sudah sampai di lobby kantor, Andin berfikir sejenak untuk menerima tawaran Tara, sedangkan langit mulai gelap. Para karyawan lain pun sudah banyak yang pulang.
Berusaha untuk menolak, dia segera mengambil ponselnya untuk memesan taksi online karena nggak mungkin juga Tara mengantarnya sampai rumah Rai. Dia belum siap jika statusnya di ketahui oleh orang banyak.
Sungguh sial, saat di butuhkan ponselnya habis daya. Wanita itu menghentakkan kakinya ke lantai, kesal dan tak dapat menghindar lagi. Sedangkan mencari bis umum pun harus jalan jauh. Akan bagaimana kakinya jika berjalan ke halte depan.
Andini menoleh ke arah Tara yang setia menunggu jawaban. "Anterin yuk!"
Senyum nampak terlihat dari wajah Tara, akhirnya bisa kembali di butuhkan. Tak apa jika hanya teman, setidaknya dia bisa memastikan sampai Andini jatuh ke tangan yang tepat.
"Dek...."
mkasih bnyak thorr🫰