Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melakukan Kesalahan
Malam semakin larut, namun di dalam bar yang remang-remang, waktu terasa seperti berhenti. Revan terus menenggak whiskey yang semakin hambar di lidahnya, seolah mencoba menenggelamkan sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
Di sudut sofa, Daniel dan Arman tetap asyik dengan gaya santai mereka, merangkul beberapa wanita yang tertawa ringan, entah karena lelucon atau sekadar basa-basi. Namun, perhatian Daniel akhirnya beralih ke Revan.
"Jadi, Van," Daniel membuka percakapan, mencondongkan tubuhnya ke arah sahabatnya. Wajahnya kini serius, berbeda dari biasanya. "Kalau lo udah nggak ada di perusahaan, apa rencana lo? Mau ngapain sekarang?"
Revan memutar gelas whiskeynya perlahan, menatap cairan keemasan di dalamnya seperti mencari jawaban di balik setiap putarannya. Untuk beberapa saat, ia hanya diam, lalu menghela napas panjang. "Gue nggak tahu, Dan," jawabnya jujur, suaranya berat namun terdengar mantap. "Gue cuma tahu satu hal. Gue nggak mau hidup sesuai rencana mereka. Gue mau jalan hidup gue sendiri."
Arman yang sejak tadi hanya mengamati, menyeringai santai. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat di dada. "Kalau gitu, lo bebas sekarang, Van. Bebas sebebas-bebasnya. Nggak ada aturan, nggak ada yang ngatur-ngatur lo lagi. Dunia ini bisa jadi milik lo, asal lo tahu cara mainnya."
Revan mengangkat alis, sedikit tertarik dengan kata-kata Arman, namun tidak menunjukkan banyak ekspresi. "Gue pasti tahu apa yang akan gue lakukan," ucapnya dingin, namun penuh tekad.
Ia menyentuh bibir gelasnya sekali lagi, menyesap whiskeynya yang tersisa hingga habis, lalu mengambil rokok dari meja.
Ia menyalakannya dengan gerakan yang tenang, kemudian menarik asap dalam-dalam. Dalam kabut tipis yang melayang di udara, pikirannya terlihat jauh, melampaui ruang dan waktu bar.
Revan bangkit perlahan dari tempat duduknya setelah meneguk sisa whiskey terakhir di gelasnya.
Lalu ia mematikan rokoknya di asbak dengan gerakan tenang, menyisakan bekas abu yang tersisa.
Tanpa berkata apa-apa, Revan menyingkirkan wanita-wanita yang berada di sisinya. Sentuhan tangannya cukup lembut untuk tidak menyakiti.
“Gue cabut,” katanya singkat, suaranya berat dan rendah. Ia tidak menunggu jawaban atau protes dari Daniel maupun Arman.
Langkahnya terayun menuju pintu keluar, meninggalkan bar dengan aroma whiskey, rokok, dan percakapan samar di belakangnya.
Di luar, udara malam menyambutnya dingin, namun ia menarik napas panjang, seperti merasakan kebebasan baru yang mulai menyeruak di dadanya.
Malam ini, hidupnya benar-benar akan mulai berubah.
Revan mengendarai mobilnya dengan pelan, menyusuri jalan-jalan yang terasa lengang di tengah malam. Tujuannya jelas, rumah Karina.
Namun, sesampainya di sana, ia tidak langsung turun. Ia hanya mematikan mesin mobil dan duduk diam di dalamnya, memandang rumah Karina dari balik kaca depan.
Revan tidak tahu pasti apa yang mendorongnya ke rumah Karina. Ia hanya merasa perlu melihat Karina, meski tanpa tahu apa yang akan ia katakan jika akhirnya bertemu.
Waktu berlalu. Beberapa menit kemudian, sebuah motor berhenti di depan rumah Karina. Revan menajamkan pandangannya, dan hatinya sedikit berdegup lebih cepat saat melihat siapa yang turun dari motor itu.
Seorang pria, ojek online yang rupanya mengantarnya pulang. Pria itu mengenakan jaket hitam khas penyedia layanan, menyunggingkan senyum ramah sebelum berpamitan.
Karina mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkuk, lalu berjalan menuju pintu rumahnya tanpa menyadari keberadaan Revan yang diam-diam mengamatinya dari dalam mobil.
Revan menggenggam setir dengan erat. Pikirannya bergejolak, begitu ingin bertemu dengan Karina, namun hatinya dengan tegas menolak.
Ada ketakutan yang tidak ia mengerti, seolah pertemuan itu hanya akan memperumit sesuatu yang sudah rumit.
Namun, semakin lama ia duduk diam di dalam mobilnya, semakin besar dorongan di dalam dirinya untuk bergerak.
Revan menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya. Kenapa harus takut? Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia membuka pintu mobil dan turun perlahan.
Menyeberangi jalan yang sepi, kakinya terasa berat, tapi ia terus melangkah menuju rumah Karina.
Di depan pagar, ia berhenti sejenak, menatap pintu rumah yang sudah tertutup rapat. Lampu teras masih menyala, memberikan kesan hangat yang seolah mengundangnya untuk mendekat.
Revan menghela napas sekali lagi, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya perlahan terangkat untuk mengetuk pintu, tapi terhenti di udara.
Keraguan kembali menyelinap masuk, namun kali ini ia tidak ingin menyerah. Jika bukan sekarang, kapan lagi? pikirnya.
Dengan keberanian yang tersisa, ia akhirnya mengetuk pintu. Ketukan itu terdengar jelas di keheningan malam, seperti penanda langkah besar yang baru saja ia ambil.
Ketukan itu menggema singkat, membuat suasana terasa semakin hening setelahnya.
Revan menunggu di depan pintu, berdiri dengan tubuh tegang, pikirannya kembali dihantui keraguan.
Bagaimana jika Karina tidak ingin bertemu? Bagaimana jika ia dianggap mengganggu? Namun, sudah terlambat untuk mundur. Ketukan itu adalah keputusannya untuk melangkah maju.
Beberapa detik berlalu, lalu terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Pintu perlahan terbuka, menampilkan Karina yang masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat turun dari motor tadi. Ia tampak sedikit terkejut melihat Revan berdiri di depannya, namun ekspresi itu segera berubah menjadi kebingungan.
“Revan?” Karina memanggil namanya dengan nada ragu, matanya menatap pria itu dengan pertanyaan yang jelas. "Ngapain Lo ke sini?”
Revan menggaruk tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun ia hanya mampu menatap Karina dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Aku… cuma lewat,” katanya. Suara pelannya terdengar tidak yakin, seperti berusaha mencari alasan untuk tindakannya.
Karina mengernyitkan alis, jelas tidak percaya.
“Lewat jam segini?” Ia melipat tangan di dadanya, menunggu penjelasan yang lebih masuk akal.
"Terus, Lo mau ngapain ketemu gue."
Revan menghela napas panjang, lalu menatap Karina dalam-dalam. “Aku nggak tahu, Kar. Aku nggak tahu kenapa aku ke sini. Tapi… aku cuma mau lihat kamu. Aku cuma butuh tahu kalau kamu baik-baik aja.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Karina terdiam sesaat, tatapannya melunak, meski ia masih mencoba memahami maksud dari kedatangan Revan.
“Gue baik-baik aja, Van. Udah ya, jangan ganggu gue. Gue mau istirahat." Ucap Karina, sambil ingin menutup pintu.
Namun, Revan menahan pintu sebelum Karina sempat menutupnya. Tatapannya tajam, namun ada kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia mengangkat satu tangan, mencoba menenangkan Karina.
“Rin, tunggu,” katanya dengan suara sedikit serak. Ia mengusap pelipisnya, ekspresinya terlihat kacau.
“Gue… pusing banget. Gue nggak enak badan. Boleh gue masuk sebentar?”
Karina tertegun, ragu untuk beberapa saat. Matanya memandang Revan, mencoba mencari tahu apakah ini hanya alasan atau sungguh-sungguh. Tapi melihat cara Revan berdiri, dengan tubuh yang sedikit goyah dan sorot mata yang tampak lelah, ia tahu pria itu sedang tidak baik-baik saja.
“Lo mabuk?” tanya Karina tajam, meski ada sedikit nada khawatir dalam suaranya.
Revan menggeleng pelan. “Nggak. Gue cuma... capek, Rin. Tolong, bantuin gue.”
Karina menghela napas panjang, lalu membuka pintu lebih lebar, memberi ruang untuk Revan masuk.
“Masuk, tapi cuma sebentar,” katanya tegas.
“Gue nggak mau hal ini jadi pembicara tetangga kalau Lo lama di sini. Ini juga udah malam banget."
Revan melangkah masuk dengan hati-hati, tangannya sesaat menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan.
Karina memperhatikannya dengan tatapan penuh waspada, menutup pintu. Lalu membimbing Revan ke sofa kecil di ruang tamu.
“Duduk,” ucapnya singkat.
Namun saat Revan hendak duduk, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke sofa dengan berat, dan secara tidak sengaja menarik tangan Karina bersamanya.
Dalam sekejap, posisi mereka menjadi canggung. Karina berada di atas Revan, tubuhnya bertumpu pada dada pria itu. Napas mereka tersengal, dan ruangan yang tadinya dingin kini terasa begitu panas.
Mata mereka bertemu, terjebak dalam tatapan yang intens, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Wajah mereka begitu dekat, hingga Karina bisa merasakan napas hangat Revan menyapu kulitnya. Hatinya berdebar, begitu pula dengan Revan yang tampak ragu namun terdorong oleh sesuatu yang lebih kuat dari dirinya.
Revan perlahan mengangkat kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Karina. Gerakannya lambat, seperti memberikan ruang bagi Karina untuk menolak. Tapi Karina tidak bergerak menjauh. Ia tetap di sana, matanya terpejam ketika jarak di antara mereka hilang sepenuhnya.
Saat bibir Revan menyentuh bibir Karina, waktu terasa berhenti. Ciuman itu lembut, namun penuh dengan perasaan yang selama ini mungkin mereka pendam tanpa sadar. Karina tidak mengelak, malah ia membalas dengan perlahan, membiarkan dirinya larut dalam momen tersebut.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tidak ada kata-kata. Hanya keheningan yang diisi dengan keintiman yang mengalir di antara mereka.
Saat keintiman di antara mereka semakin memanas, Karina menarik diri sejenak. Napasnya tersengal, dan wajahnya memerah, namun tidak ada keraguan dalam tatapannya. Ia menatap Revan dalam-dalam, seolah mencari konfirmasi terakhir sebelum mengambil langkah lebih jauh.
Tanpa banyak kata, Karina berdiri perlahan, tangannya menggapai tangan Revan, menariknya ke menuju kamarnya.
Revan menatap Karina dengan pandangan penuh perasaan. Ia tahu momen ini tidak datang begitu saja, dan keputusan Karina adalah sesuatu yang ia hormati sepenuhnya. Tanpa berkata apa-apa, ia mengikuti langkah Karina, membiarkan wanita itu memimpin dirinya menuju kamar.
Setelah pintu kamar tertutup, suasana menjadi lebih intens. Di dalam ruang yang lebih pribadi, mereka berhadapan lagi, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang sarat makna, seakan-akan kata-kata tak lagi diperlukan.
Tidak ada lagi keraguan di mata mereka, hanya perasaan yang selama ini terpendam, siap untuk terungkap. Dengan lembut, Revan mendekat, matanya bertemu dengan Karina, penuh keyakinan.
Tangannya terulur, menyentuh lembut wajah Karina, jemarinya menelusuri garis pipinya seakan ingin menghafal setiap lekuknya. Detik berikutnya, ia menarik Karina mendekat dan mencium bibirnya dalam sebuah ciuman yang mendalam, penuh dengan perasaan yang tak mampu ia sembunyikan lagi.
Malam ini menjadi saksi perjalanan baru bagi Revan dan Karina. Dalam balutan keheningan malam, mereka menyerahkan diri pada emosi yang selama ini mereka jaga. Setiap tembok yang pernah berdiri di antara mereka perlahan runtuh, digantikan oleh rasa percaya yang murni.
Di bawah temaram lampu kamar, mereka menemukan kedamaian dalam pelukan satu sama lain.
Selimut menyelimuti mereka, menutupi keintiman yang kini terjalin tanpa penghalang, tanpa sehelai pakaian yang memisahkan tubuh mereka.
Setiap sentuhan mereka adalah bahasa tanpa kata, setiap ciuman adalah pengakuan yang tak terucap.
Bukan hanya tentang hasrat yang meluap, melainkan tentang sebuah keterhubungan yang dalam, campuran sempurna antara kerinduan, kepercayaan, dan kehangatan. Mereka tidak hanya berbagi tubuh, tetapi juga jiwa mereka, membiarkan diri menjadi rapuh di hadapan satu sama lain, tanpa ada lagi sesuatu yang perlu disembunyikan.
Waktu terus berjalan, namun bagi mereka, dunia terasa berhenti. Keheningan di kamar itu diisi oleh desah napas yang saling menyatu, sentuhan yang penuh cinta, dan sesekali tawa kecil di tengah momen-momen penuh keintiman.
Malam ini bukan hanya mengubah hubungan mereka, namun juga mengubah cara mereka memandang diri sendiri dan satu sama lain.
Di dalam kehangatan malam, mereka menemukan makna baru dalam cinta, sebuah janji tanpa kata, sebuah kebersamaan yang akan selalu mereka kenang.
Setelah momen yang begitu intim, mereka berdua terbaring di atas ranjang dalam keheningan. Hanya desiran angin malam yang sesekali terdengar dari celah jendela, menemani mereka.
Karina, masih terjaga, menatap wajah Revan yang kini terlihat damai dalam tidur. Wajah pria itu, yang biasanya penuh beban dan keraguan, kini terlihat begitu tenang, seolah malam ini telah menghapus sejenak semua luka di hatinya.
Ia menggenggam tangan Revan dengan lembut, jari-jarinya menyusuri kulitnya, merasakan hangatnya. Dalam hati, Karina tahu bahwa ini bukan hanya tentang malam ini, ada sesuatu yang lebih dalam yang ia rasakan, sesuatu yang ia sendiri tak mampu sepenuhnya jelaskan.
"Revan," gumamnya pelan, nyaris seperti berbisik pada dirinya sendiri.
Matanya yang penuh perasaan menatap wajah pria itu dengan kejujuran yang sulit disembunyikan.
"Aku ingin kau selalu bersamaku. Aku tak ingin kau pergi dari kehidupanku," lanjutnya.
Namun, Revan tidak mendengarnya, karena ia telah tertidur pulas.
Karina tidak mengharapkan jawaban. Ia hanya tersenyum kecil, puas dengan dirinya sendiri, dan membiarkan momen itu menjadi miliknya seutuhnya.
Setelah beberapa saat, ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan malam yang masih menyelimuti mereka berdua.