Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 19 — Pertolongan —
Kegelapan malam menyelimuti hutan. Nafasku terengah-engah, tubuhku nyaris tidak mampu berdiri. Suara langkah-langkah berat di belakangku terdengar semakin dekat. Para ksatria itu belum menyerah. Mereka mengejarku seperti pemburu yang lapar, sementara aku hanya seekor rusa yang terluka.
"Ke arah sini! Jejak darahnya masih segar!" teriak salah satu ksatria dari kejauhan.
Aku menahan rasa sakit di seluruh tubuhku, memaksa kakiku untuk terus bergerak. Hutan ini adalah satu-satunya tempatku bisa menyembunyikan diri, tapi dalam kondisiku yang sekarang, mustahil aku bisa kabur lebih jauh.
Sebenarnya, aku bisa saja menggunakan skill Petunjuk Arah untuk kabur, tetapi itu sulit karena tubuhku sudah begitu lemah. Rasanya percuma saja jika aku tahu jalan kabur, tetapi tubuhku tidak bisa mengikutinya—itu seperti membuang-buang tenaga hanya untuk memahami petunjuk arah.
Pada akhirnya, aku hanya terus berlari tanpa arah, berharap mereka bisa kehilangan jejakku. Dahan-dahan pohon menjulur tajam, memotong kulitku saat aku berlari. Darah segar mengalir dari bahu dan pahaku. Luka-luka dari pertarungan sebelumnya belum sempat kuobati. Namun, aku tahu jika aku berhenti sekarang, aku pasti mati.
Langkahku terhenti di tepi jurang kecil. Napasku memburu, pandanganku kabur. Aku berbalik, melihat cahaya obor semakin dekat.
"Aku sudah terpojok," gumamku, merasakan rasa frustrasi dan keputusasaan menjalar di tubuhku.
Para ksatria itu muncul dari balik pepohonan, jumlah mereka lebih banyak dari yang kuduga. Sekitar delapan orang berdiri di hadapanku, masing-masing memegang senjata yang berkilau tajam.
"Raja Iblis yang lemah, menyerahlah! Kau tidak akan bisa lolos kali ini!" seru salah satu ksatria dengan nada penuh kemenangan.
Aku mencengkeram luka di bahuku, mencoba berdiri tegak meski tubuhku gemetar. Tidak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk melawan mereka.
Namun, tepat saat salah satu ksatria melangkah maju, sebuah angin kencang tiba-tiba bertiup dari arah belakangku. Daun-daun beterbangan, menciptakan pusaran kecil di tengah hutan. Suara gemerisik pohon bergema seperti bisikan misterius.
Dari bayangan pepohonan, muncul sesosok perempuan dengan rambut panjang berwarna hijau tua yang berkilau di bawah cahaya bulan. Matanya bersinar seperti zamrud, penuh ketenangan namun memancarkan ancaman. Itu adalah Eirene.
"Berani sekali kalian menyentuhnya," suaranya lembut namun tegas, seperti nyanyian angin yang membawa ancaman badai.
Para ksatria berhenti di tempat mereka, jelas terkejut dengan kemunculannya. Salah satu dari mereka melangkah maju, mengarahkan pedangnya ke Eirene. "Siapa kau? Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu!"
Eirene tidak menjawab. Ia mengangkat satu tangan, dan tiba-tiba akar-akar pohon mencuat dari tanah, melilit kaki ksatria itu dengan cepat. Sebelum ia sempat bereaksi, tubuhnya terangkat ke udara dan dilempar jauh ke belakang—menghantam pohon dengan suara keras.
"Dia seorang elf!" seru salah satu ksatria lainnya. "Hati-hati, mereka bisa mengendalikan elemen alam!"
Pertarungan pun dimulai. Para ksatria maju dengan senjata terhunus, mencoba menyerang Eirene dari segala arah. Namun, ia tetap tenang. Dengan gerakan tangan yang anggun, ia memanggil elemen-elemen alam untuk melindungi dirinya dan menyerang balik.
Salah satu ksatria mencoba menyerangnya dari depan, tetapi angin kencang tiba-tiba berhembus, mendorongnya mundur dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Dari sisi lain, seorang ksatria melemparkan tombak, namun tombak itu dihentikan di udara oleh akar-akar pohon yang muncul seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Ini kekuatan yang kau banggakan? Lemah," kata Eirene sambil menggerakkan kedua tangannya.
Tanah di bawah para ksatria mulai retak, dan akar-akar pohon muncul, melilit kaki mereka. Sebagian dari mereka berhasil memotong akar-akar itu, tetapi gerakan mereka menjadi lambat.
Salah satu ksatria melompat tinggi, mencoba menyerang dari udara. Eirene hanya melambaikan tangannya, dan bola api hijau muncul di udara, meledak tepat di depan ksatria itu. Ia terlempar ke tanah, tubuhnya hangus sebagian.
Namun, para ksatria tidak menyerah. Mereka mencoba membentuk formasi, menyerang Eirene secara bersamaan. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, dan tiba-tiba hujan panah es turun dari langit, memaksa mereka untuk mundur.
Aku menyaksikan semuanya dari tepi jurang, terlalu lemah untuk bergerak. Tubuhku terasa berat, dan pandanganku semakin kabur.
"Eirene..." gumamku pelan, merasa bersalah karena telah meninggalkannya. Ia datang menyelamatkanku, meskipun aku telah memilih kembali ke teman sekelasku.
Pertarungan terus berlangsung. Para ksatria mulai kehilangan semangat, menyadari bahwa kekuatan mereka tidak sebanding dengan kekuatan Eirene. Dengan gerakan terakhirnya, ia memanggil dinding tanah yang tinggi, memisahkan dirinya dan para ksatria.
"Kalian tidak akan menang," katanya dingin sebelum berbalik ke arahku.
Ia lalu berlutut di sampingku, memeriksa lukaku dengan ekspresi khawatir. "Kau benar-benar bodoh, Hayato," katanya dengan nada penuh teguran.
Aku mencoba tersenyum, meski rasa sakit membuat wajahku meringis. "Maaf, aku... terlalu naif."
Eirene menggelengkan kepala, kemudian membantuku berdiri. "Tidak ada waktu untuk menyesal. Kita harus pergi sebelum mereka berhasil menembus dinding itu."
Tampaknya para ksatria kesulitan untuk menembus dinding tanah yang dibuat oleh Eirene. Hingga akhirnya, aku berhasil selamat dari momen mematikan ini—semua berkat dirinya.
Suara langkah kaki kami perlahan memecah keheningan malam. Aku bersandar pada Eirene, tubuhku terlalu lemah untuk berjalan sendiri. Meski luka-luka di tubuhku berdenyut menyakitkan, ada sesuatu yang lebih berat daripada rasa sakit itu—rasa bersalah.
"Eirene..." Aku memanggil namanya pelan, hampir seperti bisikan.
Ia melirikku tanpa menghentikan langkah. "Apa?"
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku minta maaf karena meninggalkanmu."
Ia berhenti, membuatku terhuyung sedikit sebelum berhasil menyeimbangkan diri. Ia menatapku, matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan emosi yang sulit kumengerti.
"Kenapa kau meminta maaf?" tanyanya lembut.
"Aku seharusnya tidak meninggalkanmu di tenda itu. Aku berpikir bahwa aku harus membantu teman-teman sekelasku, tapi pada akhirnya..." Aku menundukkan kepala. "Aku salah. Aku terlalu naif. Aku tidak pantas mendapatkan bantuanmu setelah apa yang kulakukan."
Eirene tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya, menarikku agar tetap bergerak. "Aku tidak menyalahkanmu, Hayato. Aku paham kenapa kau melakukannya."
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya meresap. "Tapi... bukankah itu membuatmu kecewa? Aku meninggalkanmu begitu saja, padahal aku tahu kau satu-satunya yang ada di sisiku saat itu."
Eirene berhenti lagi. Kali ini, ia menatapku lebih serius. "Hayato, aku sudah tahu."
Aku mengernyit. "Tahu apa?"
Ia tersenyum samar, lalu mengangkat satu tangan dan menyentuh pipiku dengan lembut. "Bahwa kau adalah calon Raja Iblis."
Mataku melebar, tubuhku menegang. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Eirene mengangguk ke arah tas kecil yang tergantung di pinggangnya. "Pesan dari daun yang kau tinggalkan di dekat tenda. Kau menyebutkan sesuatu tentang 'pahlawan,' 'takdir,' dan 'kekuatan yang gelap'. Aku tidak bodoh, Hayato. Aku bisa menyimpulkan sendiri."
Aku menghela napas berat, merasa bebanku bertambah. "Lalu, apa kau membenciku sekarang? Setelah tahu siapa aku sebenarnya?"
Eirene tidak menjawab segera. Ia menatapku dalam diam, seolah mencari sesuatu di dalam mataku. Kemudian, tanpa peringatan, ia memelukku erat.
Tubuhku membeku. Aku bisa merasakan kelembutan tubuhnya, dinginnya udara malam bercampur dengan hangatnya pelukan itu.
"Kenapa aku harus membencimu?" suaranya terdengar bergetar. "Aku tidak peduli siapa kau, Hayato. Bahkan jika kau adalah calon Raja Iblis sekalipun... kau adalah satu-satunya orang yang memahamiku."
Aku merasa sesuatu yang hangat menetes di bahuku. Eirene menangis.