Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Anak Yang Lain?
"Kamu menampar anakku!" tunjuk Namira murka.
"Anak kita, Sayang," Castilo kembali berjuang setelah tadi cukup berhasil menenangkan istrinya.
"Enak aja anak kita. Dia anakku! Aku yang membesarkannya! Aku!" ucap Narima semakin lantang.
"Tapi kan karena gempuran benihku juga, Erik lahir di dunia. Kalau tidak ada aku, mana mungkin ada Erik," balas Castilo dengan entengnya, tapi sukses membuat mata Namira melebar.
Wanita itu segera mendekati Castilo dan memukul lengan kekarnya yang masih terbalut jas.
"Aduh! Sakit, sayang," protes Castilo pura-pura. Padahal pukulan Namira tidak terasa apa-apa.
'Kalau ngomong di depan anak tuh yang benar! Benah-benih benah-benih! Dari dulu otak kotornya nggak ilang-ilang!"
Castilo malah cengengesan tanpa rasa bersalah. "Kan anak kita sudah besar, Sayang. Dia juga pasti udah tahu, hal begituan. Iya kan, Rik? Atau kamu pernah melakukannya? Nanam benih pada cewek?"
Mata Erik langsung melebar. Apa lagi saat menyaksikan tatapan tajam Ibunya, membuat anak itu harus segera memberi klarifikasi.
"Nggak, Bu, nggak pernah! Sumpah!" Erik menunjukan dua jarinya.
"Usia kamu kan sekarang 21 tahun, Rik? Masa belum pernah?" dengan polosnya Castilo melempar pertanyaan yang seakan memprovokasi. Secara otomatis tangan Namira kembali mendarat dengan keras pada lengannya.
"Aduh!"
"Jangan samakan Erik dengan kamu! Erik tuh, tidak suka pacaran! Emangnya kamu, gonta ganti pacar tiap minggu!"
Castilo kembali cengengesan. "Tapi kan nanam benihnya cuma sama kamu, Sayang. Apa kamu nggak kangen ditanami benih lagi, agar Erik ..."
"Castilo!" teriak Namira kembali kencang. Sedangkan Erik hanya menggelengkan kepala, menyaksikan drama rumah tangga di depan matanya.
"Ayo, Rik, kita pulang! Ibu bisa gila, jika lama-lama berada di sini," Namira langsung menghampiri anaknya.
"Pulang kemana? Rumah itu sudah aku hancurkan," balas Castilo santai.
"Apa!" Namira tercengang, lalu dia menatap Erik.
"Iya, Bu. Semua utang kita juga udah dibayar lunas," ucap Erik.
"Astaga! Lalu barang-barang kita?" Namira terlihat panik.
"Barang-barang kita udah dikasihkan ke tetangga oleh Tuan Alex. Aku cuma bawa barang yang penting saja," jawab Erik lagi.
"Ya ampun!" Namira kembali menatap tajam Castilo. "Kenapa sih, kamu seenaknya kaya gini? Belum tentu juga aku mau tinggal sama kamu."
"Aku nggak peduli. Kalau nggak mau ya aku paksa," Castilo membalas dengan santainya.
"High!" Namira begitu kesal, tapi dia tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Namira memilih duduk di sofa sebelah lain. Castilo malah tersenyum gemas menyaksikan tingkah istrinya.
"Kamu sudah melihat kamarmu?" tanya Castilo pada anaknya.
"Belum, Tuan."
"Ayah!" Castilo langsung meralatnya.
"Jangan membentak anakku!" Namira tak terima.
"Astaga! Cuma mengingatkan doang, Sayang!"
Sedangkan Erik hanya tersenyum lebar.
"Kamar kamu ada di atas, pintu warna abu. Kalau nggak suka dengan desainnya, kamu bilang saja, nanti Ayah ganti," ucap Castilo.
"Tapi..." Erik menatap Ibunya.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Ini rumah kalian, jadi kalian mulai sekarang akan tinggal di sini," ujar Castilo.
Erik mengangguk pelan. Lalu dia pamit menuju lantai atas.
Erik heran, dalam rumah seluas dan sebesar itu, hanya ada dua kamar di lantai dua. Padahal di sana, Erik juga melihat beberapa ruangan, tapi yang berpintu hanya ada dua. Erik pun menuju ke pintu berwarn! abu-abu, sesuai arahan Castilo.
"Wahh!" Mata Erik agak berbinar begitu melihat bagian dalam kamar yang akan dia pakai untuk istirahat. Erik melangkah masuk dengan mata terus memperhatikan seluruh sisi kamar tersebut.
"Ranjangnya seukuran dengan kamarku dulu," gumam Erik kagum. Di sana juga ada komputer dan perlengkapannya, beberapa lemari pakaian dan kamar mandi yang ukurannya lebih luas dari kamar tidurnya dulu.
Sepanjang mata memandang, hanya kekaguman yang terpancar dari mata anak muda itu. Apa lagi saat Erik membuka lemari, di sana sudah tersedia beberapa barang yang akan Erik gunakan.
"Bajunya merk kelas atas semua," gumam Erik. Selain baju santai, dalam lemari juga ada koleksi jam tangan, dasi, dompet, kacamata, baju kerja serta beberapa aksesoris penunjang ketampanan pria lainnya.
"Apa aku pantas memakai Jas seperti ini?" batin Erik bertanya-tanya sembari menyentuh jas warna hitam.
Setelah puas melihat isi lemari, Erik duduk di kursi yang menghadap komputer, lengkap dengan semua aksesorisnya. Di sana juga terdapat beberapa kamera yang harganya sangat fantastis.
Erik membuka laci dan di didalamnya ada beberapa ponsel mahal. "Kapan ayah membeli semua ini?" gumamnya sembari meraih ponsel dengan logo apel terbelah lima.
"Bagaimana kamarnya? Apa kamu suka?" suara Castilo tiba-tiba terdengar menggelar di telinga Erik.
Pemuda itu pun lantas menoleh, lalu dia mengangguk canggung.
"Kapan ..." Erik menjeda ucapannya dan dia nampak ragu untuk melanjutkan niatnya bertanya. "Ayah, menyiapkan ini semua?" akhirnya kata itu lolos dari mulut Erik.
Meskipun lirih, tapi Castilo masih bisa mendengarnya. Senyumnya terkembang sembari melangkah mendekati anaknya.
"Kalau kamar ini sih, Ayah menyiapkannya sudah sejak lama. Tapi kalau interior dan barang-barangnya, Ayah baru merubahnya saat hari kelahiranmu tahun ini. Setiap melihat benda yang berhubungan dengan hobby anak laki-laki, Ayah selalu teringat kamu. Jadi buat mengobati rasa kangen dan rasa bersalah, Ayah membeli ini semua."
Erik tersenyum sejenak, lalu matanya memperhatikan tangan Sang Ayah yang membuka salah satu laci di meja komputernya.
"Nih, uang jajan kamu," Castilo menyerahkan kartu berwarna hitam, membuat Erik tertegun.
"Ini ..." Erik ragu mengambilnya.
"Ambillah. Kartu ini sudah ayah siapkan sejak lama."
Erik dengan ragu menerimanya. Wajah anak muda itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagum yang melanda benaknya. Erik terdiam, dia menatap kartu itu dengan pikiran yang berkelana.
"Apa ada yang ingin kamu tanyakan?" sepertinya Castilo memahami sikap anaknya. Pria itu masih bersandar pada sisi meja, dengan tangan terlipat di dada.
"Apa Ayah dulu tahu, ketika rumah kakek kebakaran?" tanya Erik, dan Castilo mengangguk. "Lalu, kenapa Ayah sangat yakin kalau kami masih hidup? Bukankah dalam peristiwa, ditemukan tiga mayat?"
Sejenak Castilo tercenung. Tak lama kemudian pria itu tersenyum. "Karena cincin itu."
"Cincin?" Erik masih belum mengerti.
"Ya, karena cincin. Tidak ada satupun orang suruhan Ayah menemukan cincin itu. Dari sanalah, Ayah yakin kalau kalian masih hidup dan keyakinan Ayah terbukti bukan?"
Erik mengangguk pelan. "Kalau Ayah tahu itu bukan kami, kenapa Ayah tidak mengusutnya?"
"Bukannya Ayah tidak mengusutnya. Ayah hanya ingin fokus mencari kalian dulu, biar hati Ayah tenang. Ayah sudah mengumpulkan banyak bukti. Tinggal menunggu waktu saja untuk beraksi."
Erik kembali mengangguk, lalu dia menatap ke arah lain.
"Ayah tahu, banyak sekali yang ingin kamu tanyakan, Erik," terka Castilo.
Erik tersenyum tipis.
"Tanyakan saja. Akan ayah jawab semuanya sampai kamu puas."
Erik menghela nafas panjang. "Bagaimana dengan dua putra Ayah? Apakah mereka mau menerimaku?"