"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Balik Gulungan
Ki Rajendra setuju membantu Rangga dan membuka sebagian dari rahasia Tapak Angin Kendan. Ia menjelaskan bahwa ilmu itu bukan hanya tentang pengendalian angin, tetapi juga menyimpan energi keseimbangan yang bisa merusak jika digunakan secara keliru. Di tengah pelatihan, ancaman baru dari aliran hitam muncul, membawa pesan ancaman yang membuat perjalanan mereka semakin genting.
Malam menyelimuti Leuweung Manjang, dan suasana desa perlahan kembali tenang setelah serangan bandit yang berhasil digagalkan. Rangga duduk di dekat perapian kecil di rumah Ki Rajendra, memandangi gulungan Tapak Angin Kendan yang kini terbuka di hadapannya. Cahaya redup dari api memantulkan bayangan simbol-simbol kuno yang diukir dengan cermat di gulungan itu.
“Ilmu ini lebih dari sekadar teknik bertarung,” kata Ki Rajendra, suaranya tenang namun tegas. Ia duduk di seberang Rangga, tangannya terlipat di atas tongkat kayunya. “Tapak Angin Kendan adalah keseimbangan antara kekuatan alam dan hati manusia. Jika kau tidak memahami maknanya, kau hanya akan menjadi penghancur, bukan pelindung.”
Rangga mengangguk, mencoba mencerna kata-kata itu. “Lalu apa yang harus kulakukan untuk memahaminya?”
“Kau harus mendengarkan,” jawab Ki Rajendra. Ia mengulurkan tangan, menunjuk ke gulungan itu. “Setiap simbol di sini bukan hanya instruksi. Ia adalah panduan untuk menyelaraskan dirimu dengan angin, dengan energi alam.”
Ki Jayeng, yang duduk di sudut ruangan, menambahkan, “Inilah sebabnya Tapak Angin Kendan tidak bisa diajarkan sembarangan. Hanya mereka yang hatinya murni yang bisa membuka potensi penuhnya.”
Rangga mengamati gulungan itu dengan seksama. Di antara simbol-simbol rumit itu, ia melihat garis-garis yang tampak seperti aliran angin, mengarah pada sebuah lingkaran di tengah.
“Apa lingkaran ini?” tanyanya.
“Itu adalah inti,” kata Ki Rajendra. “Setiap penjaga memiliki bagian dari rahasia ini. Lingkaran itu menyimpan energi keseimbangan, tetapi kau hanya bisa mengaktifkannya jika semua penjaga menyatukan ilmu mereka.”
“Jadi, aku harus menemukan semua penjaga lainnya?”
Ki Rajendra mengangguk. “Betul. Dan itu tidak akan mudah. Tidak semua penjaga akan mempercayaimu. Beberapa mungkin bahkan telah jatuh ke dalam kegelapan.”
Larasati, yang duduk di dekat jendela, menatap mereka dengan ragu. “Kalau begitu, kita hanya punya sebagian dari ilmu ini sekarang?”
“Ya,” jawab Ki Rajendra. “Dan itu cukup untuk melindungi diri kalian, tapi tidak untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.”
Pelatihan dimulai keesokan paginya. Rangga berdiri di tengah lapangan kecil di belakang rumah Ki Rajendra, dikelilingi pohon bambu yang bergoyang lembut diterpa angin. Di depannya, Ki Rajendra berdiri dengan tenang, tongkatnya digenggam erat.
“Cobalah mendengarkan, Rangga,” kata Ki Rajendra. “Angin adalah temanmu. Ia bisa membimbingmu, jika kau mau mendengarkannya.”
Rangga memejamkan mata, mencoba merasakan angin yang berhembus di sekitarnya. Awalnya, ia hanya mendengar suara dedaunan yang berdesir. Tetapi perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—seperti irama lembut yang membimbing tubuhnya untuk bergerak.
“Bagus,” kata Ki Rajendra. “Sekarang, gunakan itu.”
Rangga membuka matanya dan melangkah maju. Ia menggerakkan tongkatnya, mengikuti irama angin yang ia rasakan. Dalam sekejap, pusaran angin kecil terbentuk di sekelilingnya, cukup kuat untuk menggoyangkan ranting-ranting bambu.
“Itu dia!” seru Ki Jayeng dari sisi lapangan. “Kau mulai memahaminya, Nak.”
Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang berat, disertai tawa dingin. Rangga menghentikan gerakannya, menatap ke arah hutan.
“Ada yang datang,” katanya dengan nada serius.
Dari balik bayangan pohon, muncul seorang pria berbadan besar dengan wajah penuh bekas luka. Di tangannya tergenggam sebuah kapak besar yang terlihat mematikan. Di belakangnya, beberapa pria berpakaian hitam mengikuti dengan senjata terhunus.
“Jadi, ini dia penerus Tapak Angin Kendan,” kata pria itu dengan nada mengejek. “Kalian pikir kalian bisa bersembunyi di desa kecil ini?”
Ki Rajendra melangkah maju, menghadapi pria itu tanpa rasa takut. “Kau tidak punya urusan di sini. Pergi sekarang, atau aku akan memastikan kau menyesal.”
Pria itu tertawa keras. “Kau pikir ancamanmu akan membuatku takut, orang tua? Aku di sini untuk mengambil gulungan itu, dan aku tidak akan pergi tanpa membawanya.”
Rangga maju, berdiri di samping Ki Rajendra. “Kau harus melewati kami dulu.”
“Bagus,” kata pria itu sambil mengangkat kapaknya. “Aku suka tantangan.”
Pertarungan pun dimulai. Pria berbadan besar itu menyerang dengan kapaknya, memukul tanah dengan kekuatan yang cukup untuk membuat debu berterbangan. Rangga menghindar dengan cepat, menggunakan tongkatnya untuk menangkis serangan berikutnya.
“Fokus, Rangga!” teriak Ki Rajendra. “Ikuti aliran angin!”
Rangga mencoba mendengarkan, membiarkan tubuhnya bergerak dengan irama yang ia rasakan. Ia menghindari setiap serangan dengan lebih lincah, lalu memanfaatkan momen untuk menyerang balik. Tongkatnya mengenai lutut pria itu, membuatnya terhuyung.
Sementara itu, Ki Rajendra dan Ki Jayeng melawan anak buah pria itu. Tongkat kayu mereka bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, melumpuhkan lawan satu per satu.
Larasati, yang bersembunyi di balik pohon, melihat seorang pria mendekatinya. Dengan keberanian yang mendadak, ia mengambil batu besar dan melemparkannya ke kepala pria itu, membuatnya jatuh ke tanah.
“Laras, tetap di sana!” seru Rangga, tetapi ia terpaksa kembali fokus pada pria berbadan besar yang kini menyerangnya lagi.
Dengan satu gerakan cepat, pria itu mengayunkan kapaknya ke arah Rangga. Tetapi kali ini, Rangga sudah siap. Ia memutar tongkatnya, menciptakan pusaran angin yang cukup kuat untuk mendorong pria itu mundur.
“Tidak mungkin!” teriak pria itu, mencoba menyerang lagi. Tetapi Rangga melancarkan serangan terakhir, memukul dada pria itu dengan keras hingga ia jatuh tersungkur.
Pria itu mencoba bangkit, tetapi Ki Rajendra mendekat dan menekan lehernya dengan tongkatnya. “Kau sudah kalah. Pergi sekarang, atau nyawamu berakhir di sini.”
Pria itu mendengus, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertemu lagi,” katanya sebelum menghilang ke dalam hutan.
Ketika suasana kembali tenang, Ki Rajendra menatap Rangga dengan tatapan bangga. “Kau telah membuktikan dirimu hari ini, Rangga. Tapi perjalananmu masih panjang.”
“Apa yang harus kulakukan sekarang, Ki?” tanya Rangga.
Ki Rajendra mengambil gulungan Tapak Angin Kendan, menunjukkan sebuah simbol baru yang muncul di atasnya. “Ini adalah petunjuk ke penjaga berikutnya. Kau harus pergi ke sana dan melanjutkan perjalananmu.”
Rangga mengangguk, meskipun ia tahu bahwa tantangan yang lebih besar menunggunya. Dengan semangat baru, ia bersiap untuk melangkah menuju jejak berikutnya.
Rangga berhasil memahami sebagian dari rahasia Tapak Angin Kendan dan mendapatkan petunjuk baru untuk menemukan penjaga lainnya. Namun, ancaman dari aliran hitam semakin nyata, membuat perjalanan ini semakin berbahaya.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya