Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Mencari Sang Pembeli
Valeska melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat. Kepalanya masih terasa pusing, dan pikirannya tak henti-hentinya memutar kejadian tadi malam. Di ruang tamu, dia mendapati kakaknya, Keenan, yang tampak santai menikmati rokok dan secangkir kopi di meja kecil.
"Abis dari mana, Val? Kok baru balik?" tanya Keenan tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponselnya.
Valeska menarik napas panjang, menyiapkan kebohongan kecil yang sudah ia pikirkan sejak perjalanan pulang. "Nginap di rumah teman," jawabnya singkat sambil terus berjalan menuju kamar.
Di depan pintu kamarnya, dia berhenti sejenak, melirik kakaknya. "Kak, bukannya istirahat? Kok malah main HP sih?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.
Keenan terkekeh kecil sambil mengangkat cangkirnya. "Belum ngantuk," jawabnya santai.
"Gimana mau ngantuk kalau ngopi terus," protes Valeska, lalu masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutup pintu. Tidak cukup hanya itu, ia mengunci pintu rapat-rapat.
Begitu aman, Valeska melepaskan tasnya ke atas tempat tidur dan langsung duduk di tepi ranjang. Tangan gemetarannya membuka amplop cokelat yang tadi pagi masih terasa seperti mimpi buruk. Tumpukan uang yang tebal kini berhamburan di tangannya, membuat jantungnya berdentum keras.
"Gue harus tahu … siapa yang udah ngambil keperawanan gue tadi malam," bisiknya pelan.
Dia meraih ponsel dari dalam tas, menggigit jarinya sambil mencari nama di kontak. Jemarinya sempat ragu sebelum akhirnya menekan tombol panggil.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara serak seorang perempuan menjawab.
"Halo, Val? Ada apa?" tanya suara itu, terdengar khas orang baru bangun tidur.
"Lo nggak sekolah, Vid?" Valeska malah balik bertanya.
"Lo sendiri juga nggak sekolah," balas Vidya dengan nada malas. "Gue masih pusing gara-gara acara tadi malam," tambahnya sambil menguap.
Valeska menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. "Vid, gue mau tanya. Tadi malam gue sama siapa?"
Ada jeda sejenak di ujung sana. Vidya seperti mencoba mengingat-ingat. "Bukannya lo abis dari party langsung ke bar sama Kak Sony?"
Nama itu membuat napas Valeska tercekat. "Kak Sony?" pikirnya. Apa mungkin ini uang dari Kak Sony? Tapi nggak masuk akal. Dari mana dia punya uang sebanyak ini?
"Halo? Val? Lo masih di sana?" Vidya terdengar bingung. "Lo udah di rumah kan?"
"Iya, baru tiba."
"Loh, nginep di mana lo?"
"Di bar."
"What?!" Vidya langsung terdengar panik. "Kok bisa? Lo mabuk parah apa gimana?"
Valeska menghela napas berat. "Gue sendiri nggak tau kronologinya kayak gimana," jawabnya jujur. Dia sendiri masih berusaha menyatukan potongan-potongan ingatan semalam. "Yaudah, gue telepon Kak Sony dulu," ucapnya akhirnya, mencoba mengambil langkah pertama.
"Eh, bentar-bentar! Ngapain lo telepon dia? Jangan-jangan tadi malam lo nggak sama dia, ya?" tebak Vidya dengan nada curiga.
"Nanti gue ceritain, Vid. Gue lagi pusing banget sekarang. Bye."
Tanpa menunggu tanggapan Vidya, Valeska memutus telepon. Tangannya langsung sibuk mencari kontak Sony dan memencet tombol panggil.
Nada sambung terdengar lama, tapi tidak ada jawaban. Dicobanya lagi, dan lagi, sampai akhirnya panggilannya kelima malah di-reject.
"Kenapa sih dia? Nyebelin banget!" geram Valeska sambil melempar ponselnya ke kasur.
Dia berdiri, mulai mondar-mandir di kamarnya. Di otaknya, hanya ada satu solusi. "Gue samperin aja kali ya ke distro?" gumamnya. Setelah beberapa detik, dia mengangguk sendiri.
Keputusan sudah dibuat. Kak Sony harus memberikan penjelasan. Kalau nggak, dia nggak akan tenang.
***
Valeska berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya rapi sebelum pergi. Crop top putih yang ia padukan dengan jeans belel tampak santai tapi tetap stylish, dilapisi hoodie pink yang lembut. Ia meraih topi putih dan kacamata oversized-nya, lalu mengenakannya untuk menyamarkan wajah. Sekilas, dia tampak seperti gadis biasa yang hendak jalan-jalan di akhir pekan, bukan seseorang yang tengah diliputi kegelisahan besar.
Sebelum keluar, Valeska melirik ke ruang tamu. Keenan, kakaknya, sudah tertidur dengan posisi setengah duduk. Ponselnya masih tergenggam erat, sementara rokok di asbak hanya tinggal abu.
Dengan hati-hati, dia mengarahkan kipas angin ke arah kakaknya supaya tidurnya lebih nyaman, lalu melangkah keluar rumah tanpa suara.
***
Perjalanan menuju distro tempat Sony bekerja memakan waktu sekitar dua puluh lima menit. Begitu tiba, Valeska berdiri sejenak di depan toko, menundukkan wajahnya agar terlindung bayangan topi. Setelah merasa cukup siap, dia mendorong pintu kaca, membiarkan lonceng kecil di atas pintu berdenting.
"Selamat dat—eh?"
Sony yang sedang berjaga di meja kasir, langsung terpaku ketika melihat siapa yang datang. Mata Valeska yang menusuk seperti belati membuatnya kehilangan kata-kata.
"Val?"
"Bisa bicara sebentar?" Valeska memotong dengan nada dingin.
Sony mengangguk tanpa banyak bicara, merasakan ada yang salah. Dia berjalan keluar, diikuti Valeska menuju gang kecil di samping toko. Di sana, ia menyalakan sebatang rokok, berharap asap tembakau bisa sedikit menenangkan syarafnya yang mendadak tegang.
"Ngapain lo ke sini, Val?" tanya Sony santai, mencoba terlihat tak peduli.
"Kenapa telepon gue gak lo angkat?" Valeska balas menatap tajam.
Sony mengangkat bahu. "Kan lo tahu gue lagi kerja."
Valeska mendengus, setengah puas dengan jawaban itu. Tapi dia belum selesai. Masih ada pertanyaan yang lebih mendesak. "Tadi malam, lo ngapain gue?"
Sony yang baru saja mengisap rokoknya, langsung tersedak. "Uhuk-uhuk!!" Batuknya terdengar begitu parah hingga Valeska yakin lelaki itu menyembunyikan sesuatu.
"Lo ngapain gue, anjir?!" Valeska mendekat, nadanya penuh tuduhan.
"Nggak, Val! Gue gak ngapa-ngapain lo, sumpah!" Sony melambaikan tangan panik, rokok di jarinya hampir jatuh.
"Jangan bohong, lo!" Kali ini, Valeska sudah mengepalkan tangan, siap melayangkannya ke wajah Sony.
"Sumpah, demi Tuhan!" Sony mundur satu langkah. "Gue gak sempat ngapa-ngapain lo. Keburu dia datang!"
Valeska menghentikan tangannya di udara, lalu memelototi Sony dengan bingung. "Dia? Siapa?"
Sony menggeleng, kelihatan seperti seseorang yang dipaksa mengingat sesuatu yang ingin ia lupakan. "Gue juga gak tahu, Val. Gak pernah lihat dia sebelumnya."
"Apa maksud lo?" Valeska menyipitkan mata, ekspresinya menuntut kejelasan.
Sony menarik napas panjang sebelum akhirnya bercerita. "Gue sebenarnya ... ya, awalnya mau main-main sama lo. Lo mabuk parah semalam. Tapi orang itu tiba-tiba datang dan mukul gue sampai gue pingsan. Setelah itu, gue gak tahu apa-apa lagi. Pas gue sadar, lo udah gak ada."
Valeska terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dapat. Sony, meskipun tampak seperti bajingan, terlihat ketakutan setengah mati. Dia tahu, lelaki itu tidak mungkin berbohong.
"Orangnya kayak gimana?" tanya Valeska akhirnya.
Sony memiringkan kepala, mencoba mengingat. "Tinggi, pakai baju rapi kayak orang abis pulang kerja, gaya bicaranya tegas. Oh, dan dia tampan."
"Tua?" potong Valeska.
Sony mengangguk pelan. "Kayaknya sih umur 30-an. Tapi gak setampan gue."
Valeska mendengus kesal. "Njir, om-om, dong?!"
"Emang ada apa, Val?" Sony memicingkan mata, sekarang gantian dia yang curiga. "Lo diapa-apain sama dia?"
Valeska langsung mengibaskan tangan, jelas tidak mau membahas itu. "Gue pulang dulu," katanya singkat, meninggalkan Sony begitu saja.
Sony hanya menatap punggung Valeska yang perlahan menghilang di tikungan, masih dengan rokok yang menggantung di bibirnya.
***
Valeska duduk di halte. Dia melamun dan mencoba mengingat wajah lelaki yang bersamanya tadi malam. Tapi, tetap saja dia lupa.
"Eergh!! Bisa gila gue kalau kayak gini? Gue harus cari kemana?" geramnya sambil menghentak-hentakkan kaki.
Di saat bersamaan tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Valeska mengernyit bingung, siapa pemilik mobil sport mewah warna hitam itu? Kenapa berhenti tepat di depannya?
***