Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angkuh tapi perduli
Pagi itu di ruang ICU, suasana terasa lebih hangat seiring kondisi Alina yang sudah membaik. Meski masih lemas, kulitnya tak lagi pucat, dan napasnya mulai kembali stabil. Perawat masuk untuk memeriksa kondisi terakhirnya sebelum dokter datang, memastikan bahwa Alina siap dipindahkan ke ruang rawat biasa.
Beberapa menit kemudian, Liam masuk, tampak dengan pakaian yang rapi meski wajahnya sedikit lelah. Alina terkejut saat melihat suaminya kembali di pagi hari.
Tatapannya masih sama, datar, sulit ditebak. Namun, ada sesuatu di sorot matanya yang berbeda, meski Alina tak begitu yakin apa itu.
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?" tanyanya tanpa banyak basa-basi, nadanya tetap dingin namun sedikit lebih lembut dibanding semalam.
"Sudah lebih baik. Dokter bilang aku bisa dipindahkan ke kamar biasa." sahut Alina, suaranya datar.
Liam hanya mengangguk, tak memberikan reaksi berarti.
Ia melipat kedua lengannya sambil mengamati alat-alat medis yang masih terhubung ke tubuh istrinya. Mereka terdiam sejenak, membiarkan keheningan pagi melingkupi mereka.
"Ingat, malam ini ada konferensi pers. Aku sudah meminta perawat untuk mempersiapkanmu. Kau akan keluar dari rumah sakit lebih cepat."kata Liam, suaranya tegas.
Alina menghela napas, ada keraguan di hatinya,
"Baik, aku mengerti," jawabnya pelan.
"Bagus," ujar Liam sambil melirik jam di pergelangan tangannya.
"Aku akan mengirimkan pakaian dan perlengkapan yang kau butuhkan. Pastikan kau siap."
Setelah berkata demikian, Liam berbalik untuk pergi, namun sejenak ia berhenti di depan pintu, memandang Alina dengan sorot mata yang hampir… ragu.
Alina menangkap tatapan itu, sedikit bingung. Sebelum ia sempat bertanya, Liam sudah kembali memasang wajah dinginnya.
"Hati-hati saat berjalan nanti," katanya singkat, seolah tak ingin kata-katanya terdengar peduli.
"Jangan sampai kita harus menunda acara hanya karena kondisimu yang belum pulih."
Alina menundukkan kepala, mengangguk kecil.
"Aku tahu apa yang harus ku lakukan"
Liam tak menjawab, hanya membuka pintu dan menghilang begitu saja.
...~~~...
Alina dipindahkan ke ruang perawatan biasa, di mana suasana sedikit lebih nyaman dan tenang. Ia menghabiskan waktu dengan beristirahat dan mencoba menenangkan pikiran sebelum konferensi pers nanti malam.
Dalam diam, pikirannya terus berputar, memikirkan kata-kata Liam dan sikapnya yang dingin namun tetap peduli. Ada bagian dari dirinya yang penasaran, ingin tahu alasan di balik sikap pria itu, campuran antara ketegasan, keacuhan, dan secercah perhatian yang nyaris tersamar.
Siang itu, seorang perawat masuk membawa beberapa perlengkapan yang dikirim oleh Liam. Alina memperhatikan pakaian yang tergantung rapi, memilih gaun muslimah sederhana namun anggun yang ia tahu mungkin sudah dipilih dengan teliti.
Tak lama setelah itu, seorang dokter datang untuk memeriksa kondisi Alina untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar bisa keluar dari rumah sakit.
"Nyonya Alina, kondisi Anda sudah stabil, tetapi ingatlah untuk tetap berhati-hati. Racun ular tidak sepenuhnya hilang dalam semalam, jadi istirahat tetap diperlukan," kata dokter tersebut dengan nada lembut.
Alina mengangguk, berterima kasih, lalu segera bersiap diri. Ia tahu dirinya tidak bisa terlalu lama berada di rumah sakit, Liam sudah memastikan ia memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan semuanya.
...~~~...
Malam itu, pukul menunjukkan 19:20, dan udara di luar terasa dingin, membawa aroma hujan yang baru saja reda.
Di dalam ruang rawat, Alina duduk di tepi ranjang dengan mengenakan gaun muslimah yang membalut tubuhnya dengan anggun.
Jari jarinya yang lentik saling betautan di atas pangkuan, meredam perasaan gugup yang merayap dalam hatinya Perlahan ia bangkit dan berjalan ke arah jendela menatap kerlip lampu lampu kota yang terlihat samar.
Pintu ruangan perlahan terbuka, Alina memutar badan menyaksikan siapa yang datang, yang ternyata sosok Liam yang berdiri di ambang pintu. Tubuhnya menjulang dengan balutan setelan rapi jaz berwarna hitam, wajahnya tampak seperti biasa, dingin dan datar. Namun, ada ketenangan yang meneduhkan dari cara ia berdiri, seolah menyiratkan bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.
"Sudah siap?" tanyanya, datar namun tegas.
Wanita bercadar biru lembut itu mengangguk, ia melangkah lebih dekat ke arah suaminya,
"Seperti yang kau lihat."
Liam mengangguk, ia menarik sudut bibirnya.
"Bagus, sekarang ikut aku..." Liam mengulurkan tangannya, sebuah isyarat yang membuat Alina terkejut sesaat. Dengan ragu-ragu, ia meraih tangan itu, merasakan genggaman Liam yang kokoh dan hangat, sesuatu yang terasa begitu asing namun memberinya rasa nyaman.
Sepasang manik itu menatap mata elang Liam, beberapa detik, waktu membiarkan mereka dalam tatapan yang membawa sedikit kehangatan di antara mereka.
"Aku tahu aku tampan, kau tak perlu merasa terpesona seperti itu." kata Liam, segera mengalihkan pandangan, ia tak ingin terlihat menikmati tatapan istrinya meski hatinya merasa sedikit bergetar.
Alina menautkan kedua alisnya, di balik cadarnya wajah cantiknya sedang merengut. Terpesona katanya, ya, Alina memang merasa sedikit terpesona oleh ketampanan suaminya, tetapi perasaan itu segera di patahkan oleh kenyataan yang ada.
"Jangan terlalu percaya diri! aku hanya..."
"Hanya apa?" Liam menatapnya, alis terangkat.
"Hanya tidak terbiasa dengan sentuhan seperti ini." Alina menunduk, melihat ke bawah tangannya yang diperban di genggam oleh Liam.
Liam mengikuti gerakan mata istrinya, ia menunduk lalu mendenguskan napas sebelum menatap Alina.
"Tidak terbiasa? Ya, aku juga, tapi genggaman ini hanya formalitas, tidak ada yang istimewa. Jadi bersikaplah profesional." ujar Liam, nadanya tak berubah, walau tak di pungkiri mata Alina membuat dadanya mendesir hangat.
"Sudah waktunya untuk pergi. Ayo!" serunya, sambil menarik tangan Alina dengan gerakan lembut, ia membantunya melangkah keluar dari ruangan, berjalan bersisian menyusuri lorong rumah sakit.
Liam melangkah tegas membawa Alina di genggamannya, langkahnya begitu cepat membuat Alina yang baru pulih seketika merasa lelah dan lemas.
"Liam..." Alina mendadak berhenti, langkah liam pun terhenti dan menoleh ke belakang tanpa melepas genggaman tangannya.
"Ada apa? kita harus cepat untuk mengejar jadwal!" desaknya.
"Kau jalan cepat sekali, kakiku rasanya mau patah."
Liam mendenguskan napas kasar,
"Jangan lebay, Alina. Tanganmu yang tergigit ular bukan kakimu."
Mata Alina menyipit tajam, di balik cadarnya wajahnya memerah kesal.
"Kau memang tidak berperasaan. Aku baru saja pulih dari racun ular bukan berarti aku bisa langsung bugar seperti sedia kala." ujarnya nadanya lebih keras.
Pria itu memandang istrinya tajam sebelum akhrinya mendengus napas pasrah.
"Astaga... Kau selalu saja merepotkanku!" ucapnya, ia mendekat dan tanpa banyak kata langsung meraih tubuh Alina dan mengangkatnya ke pelukan, membuat wanita bercadar setengah terkejut namun tetap membiarkan tindakan suaminya.
"Kau sendiri yang memintaku ke konferensi pers!" kata Alina nadanya masih terdengar kesal, matanya setengah mendelik menatap Liam.
Liam tersenyum sinis.
"Bahkan jika tidak sekalipun, kau tetap akan menyusahkanku. Lain kali kalau kau tidak mendengarkan kata suamimu lagi Alina, aku tak segan membiarkanmu berjuang sendiri." ucapnya, membuat Alina terbungkam.
Liam melanjutkan langkahnya menggendong Alina dengan tangan kokohnya. Ketika mereka tiba di lantai dasar, suara bisik-bisik mulai terdengar. Orang-orang yang mengenal pasangan itu terhenti sejenak, memandang dengan penuh perhatian, beberapa bahkan mengangkat ponsel untuk memotret dan merekam.
...[••••]...
...Bersambung........
Berikut ini adalah Outfit Liam dan Alina saat menghadiri Konferensi pers. 😍
Gimana, cocok gak? koment pendapat kamu yaa....💕
...
...
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.